December 17, 2013

Mending Mendung




Hari ini mendung, sayang.
Awan berhenti berarak diganti pekat yang amat sangat. Matahari juga enggan menunjukkan kuatnya, sepertinya Ia sedang beristirahat. Biar kelabu saja yang menaungi siang, pikirnya. Angin bergerak menggeliat dari selatan, dinginnya mampu membuat gigi bergemeretak seraya menemani daun-daun yang dipaksa jatuh dari tangkainya ke tanah. Semesta sedang bersepakat dalam pekat, bisikku.

Hari ini mendung, sayang.
Diamlah dalam rumah barang sebentar. Temani aku dengan secangkir teh yang dari wadahnya bisa aku lihat panasnya yang menguar. Duduklah di sebelahku, lingkarkan tanganmu ke belakang leherku dan kita ciptakan cerita kita hari itu. Biar saja dingin yang mengusik tulang. Selama tanganmu masih melingkar, dingin tidak akan membuatku gusar.

Hari ini mendung, sayang.
Tetaplah tinggal, jangan pergi. Aku tidak ingin melepaskan dekapanmu terlalu dini. Nanti aroma pinusmu tidak bisa aku ciumi lagi. Tetaplah seperti ini, jangan berganti. Aku percaya tidak ada lelaki lain yang mampu membuatku mabuk separah ini. Aku masih yakin, nona kesayanganmu masih tetap perempuan yang gemar menatap bulu matamu dari sebelah kiri. Perempuan itu disini.

Hari ini mendung, sayang.
Abaikan dering telepon yang ribut itu. Izinkan aku mendistraksimu dengan sebuah kecupan yang aku daratkan lembut ke pipimu. Lalu yang kau balas dengan kecupan kecil di keningku. Rasanya nyaman, mengetahui bahwa kau masih akan tetap duduk, tak beringsut sejengkal pun. Janji sayang, jangan pergi dari hadapanku.

Hari ini mendung, sayang.
Saat kau hinggap dipelukku sebelum mentari kembali datang. Lucu rasanya saat kau kembali pulang ke kandang, ke tempat awal kau datang. Kita bukan sesuatu yang menjanjikan. Kau dan aku bukan hal yang patut diperjuangkan. Pesanku untukmu, sayang... Datanglah hanya jika kau berniat untuk tinggal, bukan untuk pergi kemudian.

Hari ini mendung, sayang.
Hari dimana aku bisa menciumi aroma pinusmu tanpa bosan. Saat dimana kau melingkarkan tanganmu tanpa takut ketahuan. Mending mendung, bukan?


23.09 P.M.

Lucu rasanya.
Ketika mendung bisa membuatmu bercerita banyak.
Cerita tentang kisah yang belum pernah kau miliki.

December 11, 2013

Bukan Hujan Bulan Juni

Aku bukan seorang penggemar hujan. Ya, sebut saja begitu. Aku menganggap hujan tidak lebih dari sekedar butiran air yang menjatuhkan diri mereka dengan sengaja ke atas tanah, lalu meninggalkan genangan air setelahnya. Sesederhana itu aku mendefinisikan hujan. Jadi, izinkanlah aku untuk tidak menjadi satu dari banyak umat manusia yang memuja-muji harum aroma petrichor dan tetesan hujan yang mereka dramatisasikan menjadi sebuah senandung rindu.

Pagi itu hujan turun lagi di bulan Juni. Seingatku, kemarin hujan sudah jatuh. Ah, hujan yang berkepanjangan seperti ini membuatku rindu matahari. Ya, aku tidak lebihnya seperti anak SD yang sudah tidak sabar mendengar bel sekolah tanda pelajaran selesai; menunggu musim hujan berakhir, tentu saja.

Lelaki berpayung kuning itu sedang menantang hujan di luar sana. Aku memperhatikannya dari balik jendela dapur selagi aku mengaduk secangkir earl grey yang aromanya mengingatkan aku akan musim panas dan aroma bunga matahari. Ia terlihat kebingungan, seperti sedang kelimpungan mencari sesuatu. Kasihan, hujan sepertinya sedang tidak ingin bersahabat dengan siapapun. Anginnya terlalu kencang dan butiran-butiran air yang jatuh pun terasa menyayat kulit.

"Tuan? Hei, tuan berpayung?” panggilku dua kali karena hujan yang begitu deras seolah menelan bulat-bulat gema suara di sekitarnya. “Apa yang sedang kau lakukan? Ada yang bisa aku bantu?”

Lelaki berpayung itu menoleh ke arahku. Wajahnya pucat kedinginan, semoga saja Ia tidak terjangkit hipotermia.

“Aku… sedang… mencari… alamat rumah,” jawabnya terbata-bata.

Aku merasa iba terhadapnya. Walaupun payung kuningnya sedari tadi melindunginya dari guyuran air hujan, namun wajah dan badannya terlihat kuyup. Hujan meninggalkan bekas airnya di sekujur tubuh lelaki itu.

“Kemari, masuklah dulu ke dalam rumah. Hangatkan dulu tubuhmu, lalu aku akan membantumu mencari yang kamu cari.”

Aku mempersilakannya masuk dan duduk di ruang tamu. Lelaki itu nampak kepayahan. Yang Ia butuhkan sekarang hanya sebuah handuk kering dan minuman yang bisa menjaganya agar tetap hangat.

“Teh atau kopi?” tanyaku.

“Kopi. Terimakasih”

Dari balik dapur, aku bisa mendengar suara menggigilnya yang berusaha Ia tahan sebisa mungkin. Lihat apa yang bisa hujan perbuat bagi orang lain? Menghangatkan? Tidak, hujan hanya mampu membuat berjuta-juta anak Adam kedinginan di luar sana, lelaki berpayung itu salah satunya.

Aku meletakkan secangkir kopi di meja sambil memberikan kepadanya sebuah handuk kering. Ia mengucapkan terimakasih sekali lagi, aku memberinya senyuman sebagai balasan.

“Rainer.”

“Ya?” Aku mengernyit keheranan. Barusan, guruh menggelegar tanpa didahului petir sebagai pertanda. Seperti berusaha bersaing dengan suara dentingan hujan yang terjatuh di atas genteng rumah.

“Rainer, namaku Rainer. Kalau kamu?”

“Oh. Sorena,” sahutku sambil menjulurkan tangan. Lelaki berpayung yang tubuhnya kuyup itu membalasnya. Sambil tersenyum, aku kembali menyesap earl grey yang mendingin. Hanya pandangan dari lelaki itu yang entah mengapa terasa hangat. Ini kali pertama aku bertemu dengannya namun wajahnya terasa familiar. Seperti telah mengenalnya selama bertahun-tahun. Jika seandainya tiba-tiba ada yang bertanya mengapa, aku akan menjawab dengan entah. Entah apa yang membuat jantungku berdegup tak beraturan namun terasa nyaman di saat bersamaan – terasa seperti sebuah dekapan.

“Nama kamu bagus.”

“Terimakasih,” kataku. Lelaki itu hanya tertunduk saja tanpa berani menatap ke arahku. Bukan tidak sopan, dia malu. Sekilas aku melihat guratan di sisi kiri dan kanan bibirnya seperti tertarik. Dia tersenyum.

“Ibu seorang penggemar senja,” lanjutku. “Kata beliau aku dilahirkan tepat sebelum senja berlabuh. Menurut beliau, nama itu cocok untukku jadi aku menurut saja. Lagipula, saat kita bayi, kita bisa apa selain menerima nama yang sudah dipilihkan. Cukup percaya nama itu benar, itu saja sudah cukup.”

Lelaki itu mengangguk, sekali. Pendiam sekali.

“Jadi… hujan? Kau lahir saat hujan datang?”

Lelaki itu mendongakkan kepalanya, wajahnya penuh bias keheranan. “Uh, oh, tidak. Aku justru lahir ketika matahari sedang tinggi-tingginya. Tidak ada hujan sama sekali hari itu. Tapi, aku bangga dengan namaku. Seperti katamu, cukup percaya saja kalau itu benar.”

Guruh menggelegar sekali lagi di ujung cerita lelaki itu. Hujan sepertinya sedang tidak ingin berhenti dalam waktu dekat ini.

Aku berdiri menatap ke balik jendela. Jalanan sudah mulai tergenang. Menyebalkan.

“Seharusnya hujan sudah berhenti. Ini sudah bulan Juni. Kemana matahari?”

“Mungkin dia sedang tidur.”

Aku terkejut mendengar jawaban lelaki itu. Aku pikir aku hanya sedang berbicara dengan diriku sendiri, tidak menyangka dia akan menyahuti kalimat retorika barusan.

“Bangunkan dia,” balasku. “Bilang padanya, aku sudah merindukannya sejak Maret mulai beranjak.”

“Jangan salahkan matahari yang tidak datang di bulan Juni. Mungkin hujan yang tidak mau pergi.”

“Kenapa hujan tidak mau pergi? Suruh dia pergi. Ini sudah bulan Juni. Aku mau matahari.”

“Kenapa hujan tidak mau pergi? Entahlah. Mungkin Empunya Semesta belum mengingini hujan untuk pergi, mungkin Dia belum ingin mendatangkan matahari, atau mungkin hari ini bukan hari bulan Juni.”

Aku hendak menyanggah kalimatnya barusan namun otakku berhenti tepat di akhir kalimatnya. “Bukan bulan Juni”?

“Sorena, seperti kita yang tidak punya hak menolak sebuah nama, seperti itu hujan juga tidak tahu mengapa ia harus jatuh ke bumi. Awalnya mereka hanya genangan air di lautan yang terangkat ke atas, tanpa tahu mereka hanya dipersiapkan untuk jatuh ke bumi. Mereka tidak punya hak untuk menolak, mereka hanya percaya hal itu benar, itu sudah cukup.”

Dia bukan lelaki pemalu dan pendiam di awal aku menyuguhkan secangkir kopi untuknya. Kata-katanya barusan seolah melumatku dalam-dalam.

“Sepertinya hujan sudah mulai reda.” Lelaki itu berdiri, menatap ke luar jendela. Tidak mempedulikan aku yang masih ternganga.

“Terimakasih suguhan kopi dan handuk keringnya. Dan oh…”

Ia mengeluarkan sesuatu dari balik jaketnya yang masih setengah kering.

“Aku bermaksud memberikan segenggam bunga matahari ini ke rumah yang hendak aku datangi. Namun sepertinya, aku akan mencarinya lagi esok hari. Cuaca sedang tidak bersahabat.” Lelaki itu mengulurkan tangannya yang menggenggam erat 5 tangkai bunga matahari. “Untukmu, sebagai ucapan terimakasih.”

Aku menerima seikat bunga berwarna kuning itu. Tenggorokanku masih tercekat, sampai-sampai untuk mengucapkan terimakasih kembali kepada lelaki berpayung itupun aku tak sanggup. Sampai Ia memunggungkan punggungnya dan menghilang di balik kabut.

Udara di luar masih dingin, tinggal gerimis kecil yang masih bersahabat dengan awan pekat. Earl grey yang tinggal setengah cangkir juga sudah mendingin sedari tadi. Namun, kehangatan dari sorot mata lelaki itu masih tetap tinggal di dadaku. Wajahnya yang familiar juga masih belum lekang dari otakku. Dan satu lagi yang belum hilang, “bukan bulan Juni”?
***
Dia bukan seorang penggemar hujan. Ya, sebut saja begitu. Dia menganggap hujan tidak lebih dari sekedar butiran air yang menjatuhkan diri mereka dengan sengaja ke atas tanah, lalu meninggalkan genangan air setelahnya. Sesederhana itu dia mendefinisikan hujan. Jadi, izinkanlah dia untuk tidak menjadi satu dari banyak umat manusia yang memuja-muji harum aroma petrichor dan tetesan hujan yang kami dramatisasikan menjadi sebuah senandung rindu.

Aku mencintainya semenjak senja berlabuh di ufuk barat sampai gerimis kecil berjatuhan ke bumi yang mengharuskannya untuk segera pulang. Senja dan gerimis yang bertautan di taman 18 tahun lalu.

“Bantu aku membuat istana pasir. Kamu ambil pasir di sebelah sana, lalu kamu bawa kembali kesini. Nanti, setelah itu kita bisa bisa menghiasnya dengan bunga matahari bersama-sama. Oh iya, kamu mau main ayunan? Nanti kita main ayunan juga ya? Tapi jangan ajak aku main jungkat-jungkit, aku benci selalu berada di atas dan tidak bisa turun. Astaga, aku lupa. Namaku Sorena. Kamu?”

Namanya Sorena dan dia senang berbicara tentang dirinya sendiri. Pertemuan pertama kami begitu membekas di hati, setidaknya bagiku. Aku masih ingat bagaimana paras ayunya berpadu dengan semburat jingga yang menciptakan sebuah keindahan lugu seorang anak perempuan. Sayangnya, gerimis kecil membuat ibunya memanggil dari kejauhan memintanya segera pulang. Hari itu aku belajar bahwa senja sedang mengajarkanku untuk mencinta dan gerimis menunjukkan aku bagaimana cara merindu.

 Sorena, perempuan yang aku cintai sejak usiaku masih 8 tahun. Dimana seharusnya anak seumuranku lebih menyibukkan otaknya dengan pelajaran pecahan dibanding harus berurusan dengan rasa. Aku tidak tahu kalau sesuatu itu bernama cinta sampai aku melihatnya menangis di depan pusara ibunya. Aku masih tidak tahu kalau sesuatu itu bernama cinta sampai aku merasa aku harusnya mendekat kepadanya dan mendekapnya, menghangatkan dalam sebuah pelukan. Aku masih tidak tahu kalau sesuatu itu bernama cinta sampai aku sadar bahwa dia lebih nyaman bersandar dalam pelukan laki-laki lain. Aku masih tidak tahu kalau sesuatu itu bernama cinta sampai aku patah hati.

Aku patah hati sedangkan Sorena masih punya hati lain untuk dicintai.

Namun, hati laki-laki itu jahat. Ia permainkan hati Sorena tinggi-tinggi hanya untuk dibanting dengan keras ke tanah. Selebihnya, laki-laki itu meminta hati perempuan lain untuk menjadi pendamping hatinya sampai mati. Padahal, hati Sorena dan lelaki itu juga pernah berikrar yang sama di depan altar, berikrar sehidup semati.

Sorena yang malang. Hatinya patah di bulan Juni. Emosinya meletup-letup sebanding dengan injakan pedal gas di mobil yang disetirnya malam itu. Pohon yang berdiri tanpa dosa di pinggir jalan ditabraknya tanpa aba-aba. Sorena terluka. Kepalanya berdarah, parah. Terlalu banyak darah, di setir, tempat duduk, kaca depan, dashboard. Darah dimana-mana. Lantunan doa aku komat-kamitkan sepanjang perjalanan ke rumah sakit untuk menyusulnya. Jangan bawa Sorena pergi dulu, Tuhan.

Anterograde amnesia. Begitu kata dokter yang menangani Sorena. Waktu itu telinga dan otakku sedang tidak siaga. Dokter di hadapanku mencecarku dengan begitu banyak istilah medis yang aku bahkan lupa untuk mengejanya kembali. Hilang ingatan, singkatnya. Hilang ingatan tanpa kemampuan untuk menciptakan memori baru, jelasnya. Aku tersenyum dalam sebait doa. Terimakasih untuk tidak jadi membawanya pergi, ucapku.

Disinilah aku sekarang, di setiap pagi walau bulan berganti masih di tempat sama aku berdiri. Aku yang berinisiatif untuk menciptakan memori baru bagi Sorena walau rasanya percuma. Perempuan itu tidak akan mengingatku meski hari kemarin kami sudah saling bertukar nama, dan hal itu terus berulang di tiap pagi. Memori hari kemarin hanya akan tersimpan sampai Ia memejamkan mata, namun begitu Ia membuka mata di pagi hari yang diingatnya hanya bulan Juni. Ya, memori Sorena yang malang terhenti di bulan Juni.

 Desember bukan Juni. Hujan seperti tidak ingin berhenti untuk sekedar beristirahat dari penatnya. Kasihan Sorena, Ia akan selalu mengira hujan datang di bulan Juni. Bulan dimana seharusnya Ia dapat menyaksikan bunga mataharinya bermekaran di taman. Dan aku hanya akan menjadi lelaki berpayung kuning yang dijamunya dengan kopi hangat, yang diberikannya sebuah handuk kering untuk mengeringkan rambutku yang basah dan yang memberikannya bunga matahari di ujung pertemuan kami. Seperti itulah dia akan mengingat dan juga melupa tentang aku.

Sudah hampir 20 hari berhujan aku mempecundangi diriku di depan rumahnya ditemani hipotermia yang belakangan ini sering datang terlalu dini. Tubuhku sudah berteriak, menyuruhku untuk beristirahat di hari berhujan bulan Desember. Napasku pendek-pendek dan tak jarang aku kehilangan oksigen untuk dihirup. Ini bukan pertanda yang bagus. Bukan pertanda bagus bagi pagi Sorena. Jika aku sakit, kepada siapa dan apa dia akan menumbuhkan memori baru?

Namanya pneumonia dan ia menggerogoti paru-paruku pelan-pelan. Napasku masih pendek-pendek dan kadang diselingi dengan batuk berdarah, namun aku tetap menguatkan tekadku untuk bangun di tiap pagi. Menyusun adegan baru perkenalan kami di setiap harinya. Aku tidak akan bosan jika hanya bertukar nama dengan Sorena, mendengarkannya bercerita tentang dirinya sendiri atau bahkan memperhatikannya menyesap secangkir earl grey kesukaannya. Bagaimana aku bisa bosan dengan suatu keindahan yang aku dambakan sejak lama?

Hujan lagi di lain pagi di bulan Desember. Bukan, bukan hujan bulan Juni. Bagi Sorena, mungkin hujan ini hujan bulan Juni dan dengan secangkir earl grey di tangannya Ia akan merutuki datangnya hujan yang tidak mau berhenti. Seperti hujan yang tidak bisa menolak ke bagian bumi sebelah mana ia akan jatuh dan menggenang, seperti itu aku tidak punya hak untuk menolak kesempatan yang diberikan Tuhan untuk menemani Sorena di setiap pagi dan aku lebih dari sekedar bahagia melakukannya lagi dan lagi. Ternyata, kadang untuk bahagia, kita tidak harus melakukan hal yang benar-benar benar, cukup percaya itu benar. Ironis? Iya. Namun, dalam otakku masih ada sejuta adegan yang bermain-main lucu, menunggu untuk aku pentaskan di depan perempuan yang membenci hujan itu. Semoga aku masih punya sejuta hari untuk memainkan setiap perannya satu per satu.


Payung kuningku masih teronggok di dekat pintu, seperti penasaran cerita macam apalagi hari ini yang aku reka hanya untuk berkenalan dengan perempuan di seberang jalan itu, perempuan yang masih membenci hujan. Senja masih datang beberapa jam lagi namun gerimis sudah sedari tadi menjejakkan dirinya ke bumi. Hari ini aku belajar, selalu ada rindu dan cinta yang tersemat di setiap waktu walau hanya beberapa yang mampu menafsirkannya di setiap butiran air dan kepingan oranye lewat lantunan semesta. Dan izinkan aku untuk menjadi satu dari berjuta umat manusia yang mendramatisasikan melodi hujan menjadi sebuah senandung rindu.

December 5, 2013

Once Upon a Time



We grow up.
People separated.
Heart torn apart.
We grow up.

We were innocence.
In the mornings when we think about nothing but our friends' names and what kind of game that we were going to play along.
In the afternoons when we were climbing the biggest tree around the block.
In the evenings when we were trying to catch fireflies in the fields, not far from home.
And later at nights when we cuddled in our bed and there's always someone who covered us up with a warm blanket.
We were innocence.

We are here.
Growing up, surrender to the time that makes us older than yesterday.
Trying to standing with our own two feet.
Sometimes we stumble and fall.
Sometimes, somehow, some thing drag us down to the core.
We cry, we grasp for air.
We wish that we won't be suffocated.
By the thing that we called as monster that chained us down and hide on the back of our mind.
It stays, won't go.
Then say,
"We are here."

Scared? Me too.
But, don't you remember?
At least, we were innocence.
Once upon a time.

When monster was only an antagonist character from bedtime stories..

November 13, 2013

Hati-Hati Punya Hati



Hati-hati kalau kamu jatuh hati.
Hati-hati nanti kamu bisa patah hati.

Kalau masih punya hati,
hati-hati saja.

Kalau sudah tidak ada hati,
jangan beri hati,
apalagi main hati.
Kasihan nanti ada hati yang mati.

Hatinya belum mati.
Beri saja sedikit waktu lagi.
Mungkin nanti,
jika dia sudah selesai tata hati
lalu berbagi hati dengan sang pemerhati hati.

November 6, 2013

How to Love a Girl who Writes


For a girl who writes is a double-threat: she is well read, yet creates worlds of her own as well. If you find a girl who writes—find her charming, wish to court her—there are a few things you should know.
Be prepared for her to leave you.
Not for long, but there will be those moments where she’s mumbling and she gets that look in her eyes and you know you’ve lost her. An idea, a character, a song has caught hold and she must capture it; she’ll be back. Even better, she’ll come back and tell you all about it.
If you love a girl who writes, please be patient. She can walk into the library and remember exactly which shelf Neil Gaiman is tucked away on, but more often than not, she can’t find her shoes. She knows 40 different words for rain across seven different languages, but she won’t always remember to buy more milk. She’ll have a list going, but it may become cluttered with ideas and random phrases, with future book titles and character names.
Sometimes she will be late because she pulled over to jot something down in her Moleskine or had to re-write something just one more time. You’ll be glad for her attention to detail as time goes on, I promise.
Tell her, gently, when her pen chewing has left a little ink beside her mouth, and make her go outside when she’s furrowing her brow after an unsuccessful wrestling match with words. Remind her that though she loves them, there is a whole world beyond to revel in, to re-fuel and return to them restored. (Embrace her love of alliteration; it makes her happy, even if it seems a bit silly at times.)
She will not always tell you how she feels out loud.
And even if she does, trust to the fact that she’s rolled it around in her brain (and possibly her journal) for quite some time before she comes out with it. Her words are her tools, her armor. She’s best with them when she can shift and spin them on the page. In her throat, sometimes they get caught and fall out all at once—or worse—slide back down and vanish until they flow through her fingers into her next story.
She will send you a song, a sonnet or start a philosophical argument with you. It’s her way of flirting with you. It’s like the writer girl combination of a hair toss and licking her lips. Play along.
Inevitably, you will show up in her pages (hopefully when she isn’t angry with you). If you love a writer, you will be immortal. She will capture you for all time as she remembers you walking with snowflakes gently falling in your hair, or the way you looked at her right before the last time you kissed. She’ll use a turn of phrase—or an inside joke—to include you in her work.
Brush up on your Shakespeare and, please, have your own opinions. Though she’s tickled when they match her own, she’ll love the parry and thrust of a good debate. And if you want to win her heart for good, know your way around a semi-colon.
I’ll let you in on a secret: she likes her alone time.
As much as she loves you, she won’t mind when you head out adventuring on your own, so long as you return and tell her stories before she falls asleep. She loves having time to get lost in her world of words, and sometimes forgets to stop to eat, or shower or spend time with people. The world on the page is as real and important to her as the “real” world. So if she bursts into tears over her cup of Genmaicha, don’t take it personally. She finally realized how to end her story and is going to miss her characters terribly.
If you want to give her a gift, think metaphor—not cliche. Skip the roses and give her daisies. Better yet, send her some of her favorite tea or a book that made you think of her. Give her bits of stardust and remind her that life is much more than just words on a page. Remind her that some of the best stories are collaborations. Write her letters and she’ll keep them forever. Write her a sonnet and she’ll keep you as well.
If you find a girl who writes, sift through all of her scraps of paper, half-filled journals and half-drunk cups of tea and take her by the hand. Gently ask her to set aside her laptop and return to the land of the living—for at least an hour or two—to dance and play.
(After all, that’s where all the best stories come from in the first place.)
But perhaps most importantly of all, if you love a girl who writes, read.

P.S: The words are not my mind. The original is here

November 3, 2013

Yellow


by: Coldplay




Look at the stars
Look how they shine for you
And everything you do
Yeah they were all yellow

I came along
I wrote a song for you
And all the things you do
And it was called yellow

So then I took my turn
Oh what a thing to have done
And it was all yellow

Your skin
Oh yeah your skin and bones
Turn into something beautiful
You know you know I love you so
You know I love you so

I swam across
I jumped across for you
Oh what a thing to do

Cause you were all yellow
I drew a line
I drew a line for you
Oh what a thing to do
And it was all yellow

Your skin
Oh yeah your skin and bones
Turn into something beautiful
And you know
For you I'd bleed myself dry
For you I'd bleed myself dry

It's true
Look how they shine for you
Look how they shine for you
Look how they shine for
Look how they shine for you
Look how they shine for you
Look how they shine

Look at the stars
Look how they shine for you
And all the things that you do


P.S: Halo, aku masih ingat warna kesukaanmu.

Kamu Tahu Sesuatu?



Aku mau beri tahu.
Itupun kalau kamu mau tahu.
Kalau kamu tidak tahu dan tidak ingin tahu, juga tidak apa.

Kamu tahu?
Aku masih ingin tahu,
segala sesuatu tentang kamu.

October 30, 2013

I Don't Know What I can Save You From

by: Kings of Convenience




You called me after midnight,
must have been three years since we last spoke. 
I slowly tried to bring back,
the image of your face from the memories so old. 
I tried so hard to follow, 
but didn't catch the half of what had gone wrong,
said "I don't know what I can save you from."

I asked you to come over, and within half an hour,
you were at my door.
I had never really known you,
but I realized that the one you were before, 
had changed into somebody for whom
I wouldn't mind to put the kettle on. 
Still I don't know what I can save you from.


October 29, 2013

Mayer's Quote

The saddest kind of sad is the sad that tries not to be sad. You know, when sad tries to bite its lip, not cry, smile and go, 
“No, I’m happy for you.” 

That’s when it’s really sad.

The Faith



Doa-doa yang terpanjatkan di tiap tengah malam itu masih mengimani namamu di setiap liriknya.
Seakan jemari yang masih menutup mengamini setiap harapan yang terlontar.
Semoga ada yang mendengar sebuah sisipan di antara hingar bingar.
Sesungguhnya gentar di tiap bait yang berjajar.
Tak kurang diselingi kelakar pada tiap ujar.
Cepatlah kelar,
agar tidak terlantar.

October 25, 2013

Cold Coffee (Ed Sheeran)



Your coffee was cold.
It's been there more than an hour without you took a sip from the cup.
Your eyes stuck.
As they kept staring at the same silhouette.

Then she left, and you did too.

I was thirsty but I hated my earl grey.
"I want coffee. The black one. With ice."

I sat down in the corner of the coffee shop.
"Are we supposed to feel hope?"
I asked the brain but it died, and the heart itself went numb.
Better to lit up the cigarette as I'm waiting a cup of cold coffee to come.


P.S: For zine collaboration with Adrea Kristatiani

October 24, 2013

Only Hope (Switchfoot)



Aku masih mengatupkan tanganku,
memasukkanmu dalam lantunan kecil permohonan tengah malam.
Tapi kamu,
tiada hentinya menengadahkan tanganmu,
melayangkan sebait harapan untuknya.
Untuk perempuan berpita dan bermata biru.

Ironis miris ya, tuan bertopi fedora?
Tragis..

P.S: For zine collaboration with Adrea Kristatiani

October 21, 2013

Her Morning Elegance (Oren Lavie)



Tuan bertopi fedora, mari kita bermain.
Bermain-main tentang perasaan kita saja, bagaimana?
Sekali ikut, tidak bisa keluar seenaknya.
Aku tunggu. Disini. Di sudut kedai kopi, tempat biasa aku memperhatikanmu dari jauh.
Kemari, jangan takut. Aku tidak menggigit.
Tidak boleh curang, itu saja peraturannya.
Berani?

Jangan lama-lama biarkan aku bermain sendiri.
Atau aku akan dianggap aneh.
Mau ya?
Aku tidak memaksa, sekiranya luangkanlah waktu.
Di satu pagi saja.

P.S: For zine collaboration with Adrea Kristatiani

Three Times a Lady (Lionel Richie)



I wanted to see you, this morning.
I sat on the exact same place like the first time we met,
or the first time I saw you across the table, even you hadn't look at me back.

I put my lipstick on, as red as drowning blood.
I wear my vintage and fancy clothes with a thin head band along with a white flower to amaze you.
I look a lot like a sweet girl, while yesterday I was a sloppy one.
A fedora and a headband, I love how that sounds in my head.

Clock's ticking but you weren't there.
You let my earl grey became bitter.
It seems like the universe didn't want us to meet each other, yet.

P.S: For zine collaboration with Adrea Kristatiani

October 19, 2013

Falling in Love at the Coffee Shop (Landon Pigg)



Tuan bertopi fedora menyalakan cerutunya.
Menghisapnya, lalu menghembuskannya dalam bentuk O.
Sesekali membalik koran apabila berita yang menarik sudah selesai Ia baca,
atau, memang Ia sengaja melewatkan berita yang menurutnya biasa.
Jam tangan Rolexnya ditengoknya sering-sering, setiap 15 menit sekali.
Saat matanya tidak terpaku pada koran, Ia menatap ke arah pintu masuk, lalu koran lagi.
Kopi hitamnya disesapnya perlahan.
Sepertinya dia penyuka rasa pahit, karena tidak satupun gula batu dimasukkannya ke dalam cairan kafeinnya.

Aku tidak sedang mengarang cerita.
Percaya tidak percaya, aku memintamu percaya saja.

Itu karena aku mengamatinya,sedari awal aku melihat topi fedora itu bertahta di kepalanya.
Itu karena aku memperhatikannya, sedari awal Ia menyalakan cerutunya dengan pematik.
Itu karena aku menyukainya, sedari awal Ia memutuskan duduk bersebrangan dengan mejaku di sudut kedai kopi pagi itu.

Coklat tiramisuku masih sisa separuh, aku habiskan dulu.
Kamu... Jangan kemana-mana ya tuan bertopi fedora.

P.S: For zine collaboration with Adrea Kristatiani

October 18, 2013

The Ecclesiastical Journey



Hello there
Can I see You in the morning with a perfect back?

October 16, 2013

Date A Girl Who Writes



Date a girl who writes. Date a girl who understands both the simplicity and the depth of the written word. Date a girl who lists one of her heroes as a philosopher or poet. Date a girl who writes because she is a born storyteller.

You’ll learn that the only way she knows what she’s thinking or feeling is through writing. She’ll be articulate and poetic, without the slightest ego.

The girl who writes will have a collection of lists at any given time, not only to-do lists, but life lists; a bucket list, a list of her favorite things, a list of quotes that inspire her.

As a writer she will be a natural listener. So tell her stories. You will begin to recognize what’s important to her or what she wonders about through her writing. She finds writing the only way to explore some of life’s greatest mysteries. So talk to her about your thoughts and ideas. She will revel in them.

With this, she will love to read. She is inspired, enlightened and learned by literature. Read her book suggestions and talk about them with her. She feels satisfied and connected when someone enjoys the same literature as her. Read together.

Date the girl whose voice is so moving that you can hear it in her written words. Spend quality time with her to the point where you almost, but not fully, understand her love for words. She will explain it to you: “I love the twist and tangle of words as they enflame human emotions.” Respect her passion. She will write for a living because she will not know how to make a living sans writing. She believes in passion and when she discovers it within you, she will forever believe in you.

The girl who writes will possess a perspective all her own. As a writer she continually explores her own mind, heart and soul—because of this she is self-aware and introspective. She will have spent time and need more time spent in other worlds—metaphorically and physically. Take her on adventures. Her writing will speak to universal truths…show her the world.

Date a girl who writes because the infinite abilities of her vast mind will astonish you day after day. The way she thinks about the world—as if a short trip to the grocery store has the potential to hold as much meaning as a backpacking trip across Asia—is unparalleled. Learn from her. Realize that the simplest tasks—and words—can, and often do, hold the deepest meaning.

By dating a girl who writes you will discover that there are no goodbyes. She will write about you and she will write to you. Her handwritten letters will captivate you and scare you all in one breath. Be happy that she knows how to tell you what she’s feeling and thinking with precision and grace—that is a luxury in most relationships.

Don’t get frustrated with her when she desires to write about everything that happens between you two—it relaxes her. You may feel like you’re losing her to her writing but you must understand that she writes what she knows, encased in imagination. So be thankful when you identify with a character she has created. You are the chief inspiration in her life—and she will always be drawn back to you. She is independent in her mind yet recognizes the necessity and beauty of experience and relationships.

Date a girl who writes because she understands and appreciates her own worth so fully that she can confidently write about why you should date her.

When you are ready, propose to her in a way that challenges her writing. Give her a moment to write about that can only be shown, rather than told, through words. Let her know how you feel in the best arrangement of words you can conjure up. She will be thrilled by your valiant efforts to connect with her.

For your wedding, the girl who writes will carefully craft her own vows. They will leave you speechless—managing to capsulate your time together thus far into a tightly woven tale of two strangers becoming one.

Marry the girl who writes because she understands that one doesn’t succeed at writing—it is a continual, ever-evolving, growing craft of experience and practice…just like your marriage. And when you’re ready to have children, they will benefit from her gift of writing. They will be well educated (if not for good genes) on the proper usage of grammar and literary devices.

Marry a girl who writes and she’ll teach your children the value of words—the most powerful weapon used by mankind. She will instill in them the same passion that she was born with and that you have come to know as second nature…because with the combined passions of your family, you have the power to change the world.

Before she speaks, her mind inscribes her thoughts into words—lying in the empty space between her eyes and the atmosphere. So know that if you argue—which you will—she’ll be able to keep things sensible, calm and mature. She will read her own works so many times that she will look to you for reassurance of sanity. Reassure her.

The girl who writes knows that the power of the written word can transcend time and space. This is why she will keep a journal of your lives together. And when you are old and gray she will present it to your grandchildren as a way to inspire, encourage and challenge them to live a life so spectacular that it, too, must be documented.

Find a girl who writes because you deserve someone who will motivate you and humble you each and every day. You deserve to learn from the teachings of your own great writer that eloquent words are essential to human life. If her mind bursts into flames with an idea at 3 a.m. on a Saturday morning, let her write…because chances are, you lit the spark. And for her, the only thing that will be better than writing about the love you share is living the love you share.


P.S: Not mine. The original writing is from here

October 13, 2013

Sampai Kita Bertemu Lagi



Oh, hai tuan.
Tidak menyangka akan bertemu denganmu disini.
Topi fedora hitam masih saja menjadi kesayanganmu.
Kau tampak tampan, masih seperti hari kemarin.

Hendak kemana gerangan tuan?
Dua buah koper coklat jinjing sudah siap di kiri dan kananmu.
Kau letakkan begitu saja, sementara kau duduk membaca surat kabar yang datang pagi itu.

Ada kabar hangat apa pagi ini tuan?
Adakah tentang aku dan kau di koran pagi itu?
Tentang kita yang mendentingkan gelas tanpa sisa ampas
Tentang kita yang berbagi cerita di balik bilik.
Tentang kita yang sempat mencumbu, yang membuat malam cemburu.
Tentang kita yang... ah, sudahlah.
Sepertinya kau tidak ingat akan semuanya, bukan?

Sedang diburu waktu, tuan?
Aku melihatmu yang tanpa henti menatap waktu yang tersangkut di pergelangan tanganmu.
Apa yang sedang kau tunggu, tuan?
Atau, apa yang sedang kau biarkan berlalu?
Entahlah, aku tidak mau tahu.
Simpan saja untukmu sendiri.

Sudah mau pergi, tuan? 
Kau bangkit berdiri dan mulai menjinjing kedua koper coklatmu yang sedari tadi kau abaikan.
Topi fedora hitammu miring, tapi kau tak peduli.
Kalau saja kau mengingatku, aku tidak akan seperti orang asing yang membetulkan letak fedoramu.
Jadi aku putuskan diam saja dan mematung dari sini,
melihat punggungmu menjauh.

Aku ingat kau hendak kemana, tuan.
Ke suatu tempat di kaki langit. Mencari sebuah petualangan. Mencari sesuatu. Mencari hati baru, katamu waktu itu.
Entah hati siapa yang hendak kau cari, entah hati siapa yang akan kau temukan.
Hati-hati saja, tuan...
Cari hati yang memperhatikan.

Pesanku satu, untukmu tuan.
Tidak untuk kau letakkan pada hatimu.
Singkat saja...
tolong lekatkan baik-baik aku di memori otakmu.

Itu saja, 
terimakasih dan selamat jalan, tuan.

October 7, 2013

Winter Winds

by: Mumford & Sons



As the winter winds litter London with lonely hearts
Oh the warmth in your eyes swept me into your arms
Was it love or fear of the cold that led us through the night?
For every kiss your beauty trumped my doubt

And my head told my heart
"Let love grow"
But my heart told my head
"This time no
This time no"

We'll be washed and buried one day my girl
And the time we were given will be left for the world
The flesh that lived and loved will be eaten by plague
So let the memories be good for those who stay

And my head told my heart
"Let love grow"
But my heart told my head
"This time no"
Yes, my heart told my head
"This time no
This time no"

Oh the shame that sent me off from the God that I once loved
Was the same that sent me into your arms
Oh and pestilence is won when you are lost and I am gone
And no hope, no hope will overcome

And if your strife strikes at your sleep
Remember spring swaps snow for leaves
You'll be happy and wholesome again
When the city clears and sun ascends

And my head told my heart
"Let love grow"
But my heart told my head
"This time no"

And my head told my heart
"Let love grow"
But my heart told my head
"This time no
This time no"


"The hardest battle is between your heart and your head." - Anonymous

Mencari dan Menemukan

men-ca-ri v  berusaha mendapatkan (menemukan, memperoleh)

Apa namanya masih mencari apabila yang dicari masih belum ingin ditemukan?


me-ne-mu-kan v  mendapatkan sesuatu yang belum ada sebelumnya

Apa namanya masih menemukan apabila yang ditemukan tidak seperti yang dicari?


P.S. Semoga kita saling menemukan dan dipertemukan ya?
Tepat saat kita berdua sudah lelah mencari...

October 4, 2013

If I were a Psychopath



If I were a psychopath...
I would open up your head skeleton.
Take your brain out from its shell,
cut through your hippocampus because the neuroscientists say that it is the part where it holds memories.

Then I would start using my both point fingers and middle fingers to feel the structure of your brain's vein.
Follow the path of the branch arteries,
while the brain itself starts turned grey.

With my gloves on, I would dig deep to the middle area.
Trying to looking for something that I might find.
Even I'm not sure what I was hoping for to get.

Easy, dear.
Your eyes would not see what kind of crime I did to you,
because it closed as I turned the radio on, playing the lullaby of death.
You wouldn't feel the pain that I cause,
because you have a dysfunctional sense of agony.
Your ears would not hear a thing,
even I screamed my lungs out, murmured the words that you never wanted to hear.

After all, I was only granted your wish...
of not letting you know the truth.

I'm sorry, dear...
My apologize for cutting your brain into pieces.
I was looking for my name inside,
whether it has ever crossed your mind or not.

Thank you, dear...
My gratitude for letting me scattered the brain on the surgery table.
I didn't use the scalpel to slice each part,
because I didn't want to harm you by creating a huge damage.

Well, are we even now?
We both ruined each other's brain.
What makes us different is...
You don't have to be a psychopath to ruin mine.

October 1, 2013

Selendang Jingga

"Jangan sekalipun mengingini sesuatu yang bukan milikmu."

Tiap intonasi dan ritme perkataan Ayah, gadis kecil rekam dengan jelas di kepalanya. Seakan otaknya terhegemoni bahwa apapun yang keluar dari mulut Ayahnya adalah suatu hal yang bijak dan patut untuk dipercayai tanpa harus mempertanyakan kebenarannya. Di bagian kepalanya yang kecil, gadis kecil masih berpikir bahwa Ayahnya selalu benar, apapun itu.

Hanya saja, merekam perkataan Ayah dan melaksanakannya di kehidupan nyata jelas merupakan 2 hal yang berbeda. Dan, tentu saja dengan tingkat kesulitan yang berbeda pula.

Pagi itu, Ibu mengajak gadis kecilnya berbelanja ke pusat kota. Hari itu ibu ingin membeli baju bagus, katanya. Entah apa definisi bagus di pikiran Ibu, jadi gadis kecil itu hanya mengikutinya saja dari belakang.

Hampir sejam mereka berdua memutari setiap sudut butik baju yang tersedia, kaki gadis kecil itu mulai pegal.

"Ibu, masih lama jalan-jalannya?"

"Sebentar ya sayang, nanti Ibu belikan es krim kalau Ibu sudah dapat baju yang Ibu cari. Kalau kamu lelah, duduk saja disana. Ibu mau lihat-lihat baju disini dulu," rajuk Ibu seraya menunjuk ke arah bangku di dekatnya.

Gadis kecil itu menurut saja. Kepegalan kakinya sudah tidak bisa ditolerir lagi. Percuma saja beradu argumen dengan Ibunya, tidak akan menemukan titik temu. 

Tinggi bangku yang tidak sebanding dengan tinggi badannya membuat kaki kecilnya berayun-ayun di atas marmer. Jemari kakinya terasa nyeri, sepatu warna merah jambunya Ia lepas begitu saja. Tinggallah kaos kaki putihnya yang masih menggantung. Lega, pikirnya. Kesepuluh jemarinya perlu bernapas juga.

Sembari matanya mengikuti kemana arah Ibunya pergi dan menghilang di balik butik, gadis kecil itu melemparkan tatapan matanya ke seluruh penjuru sudut bangunan. Barang-barang mewah yang dijajakan tidak pelak membuatnya terkesima. Namun, hampir semua orang di kota ini memiliki barang mewah. Bukankah hal itu menjadikan barang mewah tidak lagi mewah? Dan hal itu membuat barang-barang mewah itu tidak lagi special.

Matanya lelah, Ia mengantuk. Hampir sesaat sebelum Ia memejamkan mata, pandangannya terpaku pada sebuah selendang berwarna jingga. Selendang itu melenggang indah di atas pohon kayu plastik di etalase toko. Mata gadis kecil itu berbinar. Belum pernah Ia melihat selendang seanggun dan seindah itu. Beberapa orang lalu lalang melewati selendang yang sengaja dijajakan di bagian toko paling depan. Mereka sama sekali tidak melirik, bahkan mungkin untuk mengamati keindahannya dari dekat saja mereka enggan.

Gadis kecil itu mengenakan sepatu merah jambunya. Ia berlari kecil ke arah etalase butik dimana selendang jingga itu singgah. Ia lupa pada ibunya yang masih tersesat di dalam butik baju yang sepertinya Ibunya pun tidak ingin diselamatkan oleh siapapun kecuali dirinya sendiri.

Gadis kecil itu terpana di depan etalase kaca yang saat ini menjadi pembatas antara dirinya dan selendang jingga itu. Demi Tuhan, Ia ingin sekali memilikinya. Warna jingga mungkin bukan warna kesukaannya, bahkan juga bukan warna yang cocok untuk dipadankan dengan warna merah jambu yang biasa Ia pakai sehari-hari.

Gadis itu berpikir keras. Terlalu keras untuk gadis seusianya yang saat itu sedang bertarung dengan keinginannya dan pundi-pundi uang koin di kantung bajunya. Uangnya tidak cukup.

Ia melihat dan menghapal lagi deretan angka yang tertera di dekat selendang jingga itu. Untuk sebuah selendang seanggun selendang jingga itu, angka-angka tersebut bukanlah sebuah jumlah angka yang sedikit. Namun, tetap saja... Koin-koin yang tersembul dari balik kantung bajunya setidaknya hanya cukup untuk membeli setangkai permen.

Gadis itu menelan pil kekecewaan saat Ia melihat seorang perempuan dewasa sedang mengagumi keindahan selendang itu dari dekat. Perempuan itu nampak cantik ketika Ia mengalungkan selendang jingga itu di lehernya. Tentu saja, selendang itu yang membuat perempuan itu nampak lebih cantik, walaupun sebenarnya perempuan itu tidak sedang terlihat cantik.

"Kamu kemana saja? Ibu khawatir. Jangan sekali-sekali pergi jauh-jauh dari Ibu. Mengerti?"

Pekikan tinggi Ibunya membuyarkan lamunan gadis kecil itu. Namun, Ia tidak peduli. Telunjuk mungilnya meminta Ibunya melihat apa yang dia lihat. Selendang jingga.

"Kamu mau selendang berwarna jingga itu?"

Gadis kecil itu mengangguk pelan.

Ibunya tersenyum simpul.

"Gadis kecil, selendang jingga itu tidak cocok untukmu. Kamu masih terlalu kecil untuk mengenakannya."

"Tapi, aku suka..."

Ibunya tersenyum lagi. Memang harus banyak senyuman yang dikeluarkan untuk membujuk seorang gadis kecil.

"Suka juga bukan berarti kamu harus memilikinya."

"Tapi aku mau ibu... Belikan aku..." rengeknya.

"Setahu ibu, jingga juga bukan warna kesukaanmu kan? Nanti kamu menyesal."

Gadis kecil itu mulai mengeluarkan jurus pamungkasnya. "Mau Ibu... Mau... Aku suka..." Ia mulai bersandiwara sambil mengeluarkan tetesan air mata dari sudut kelopaknya.

"Kita cari di toko lain saja ya? Kita cari warna yang sama dan selaras dengan warna merah jambu kesukaanmu. Coba pikir, warna apa saja yang sama dengan warna merah jambu?" sahut Ibunya sambil menggandeng tangan putri kecilnya.

"Jingga," jawabnya singkat.

Ibunya tersenyum lagi, "bagaimana dengan warna putih? Atau warna creme? Oh, Ibu tahu. Merah kan warna kesukaanmu."

Gadis kecil itu tertarik saat Ibunya menyebut kata "merah". Iya, dia lebih suka warna merah daripada jingga.

"Tapi selendang itu bagus, aku suka."

"Iya, bagus memang. Ibu setuju. Tapi kalau warnanya tidak sama dengan warna merah jambu yang biasa kau pakai, nantinya hanya kau gantungkan saja di dalam lemari. Kasihan kan?"

Gadis kecil itu menatap Ibunya dalam-dalam.

"Jadi," katanya lagi, "daripada selendang jingga itu kau beli lalu kau acuhkan di dalam lemari, ada baiknya biarkan orang lain yang memilikinya. Seseorang yang cocok dengan warna jingganya."

"Mau membeli selendang saja sesulit itu ya bu?"

Ibunya tertawa kecil, "Tentu saja. Kalau memilih baju tidak sesulit itu, kita tidak akan berada di gedung ini selama 3 jam."

Gadis kecil itu tertawa renyah. Ibunya selalu saja bisa mencairkan suasana.

Tiba-tiba saja Ia ingat rekaman intonasi dan ritme perkataan Ayah.

"Jangan sekalipun mengingini sesuatu yang bukan milikmu."

Memang benar, melaksanakan perintah Ayahnya tidak semudah merekam intonasinya. Tapi Ibunya juga benar. Hanya karena gadis kecil itu menyukai sesuatu yang dilihatnya, bukan berarti Ia harus memilikinya. Banyak pertimbangan yang harus dipikirkan matang-matang. Yaa, seperti membeli sebuah selendang misalnya.

Ayah dan Ibunya selalu benar. Gadis kecil itu sampai heran. Harus berapa banyak perkataan-perkataan bijak lainnya yang harus Ia telan bulat-bulat untuk menjadi dewasa. Setidaknya, Ia sadar tidak akan selamanya Ia menjadi seorang gadis kecil. Suatu saat nanti Ia akan tumbuh menjadi seorang perempuan dewasa. Seorang perempuan yang cocok mengalungkan selendang di lehernya. Entah yang berwarna jingga atau mungkin warna lainnya.

"Jadi, kamu mau es krim rasa apa?" tanya Ibunya pada gadis kecil yang tangan kirinya masih berayun dalam gandengan tangan wanita favoritnya.