May 26, 2013

The Prayers

"Selamat pagi, bodoh."

Aku masih mengatupkan kedua kelopak mataku seraya menempelkan gadget berlayar sentuh itu ke telinga kananku. Separuh nyawaku masih melayang-layang entah dimana, belum sepenuhnya kembali ke raga yang saat ini terperangkap, enggan beranjak dari atas kasur. Sedangkan separuhnya lagi masih mencoba menerka-nerka suara dari seberang.

Suaranya familiar, berirama elektrik seperti suara yang beberapa hari lalu tertanam semenjak obrolan kami di taman.

"Hm... Iya. Pagi, dungu."

Dia terkekeh dari kejauhan. Tidak menyeramkan. Malah lebih mirip seperti bunyi alarm di pagi hari yang membangunkan aku dari mimpi yang semalaman sudah aku rangkai. Suara tawanya masih seperti ayam goreng; renyah.

"Kamu tidak terbiasa bangun sepagi ini ya? Suaramu masih bau bantal," lanjutnya lagi dengan suara kekehan yang sepertinya tidak pernah habis dia keluarkan. Mungkin rasa syukur di pagi hari lebih tepat dipanjatkan kepada yang Empunya waktu, yang mana Ia masih mau menghendaki pagi datang dan mempersilakan aku mendengarkan suara yang sedari malam kemarin aku harapkan.

Aku melirik ke arah jam dinding. Jarum detik dengan sigapnya menghitung waktu yang berganti kian cepat bagiku, berbeda dengan jarum jam yang masih belum beranjak dari angka 5. Aku mengusap-usap mata, berusaha menjauhkannya dari kotorannya yang membuatnya melekat, tak mau terbuka.

"Kenapa?" tanyaku asal.

Di seberang hanya terdengar gumaman lagu I Will Follow You Into the Dark, tanpa memperdulikan pertanyaanku. Lelaki itu gemar sekali menyenandungkan lagu-lagu Death Cab for Cutie. Mungkin dari situ kesamaan kami bermuara, berujung pada perkenalan yang lebih manis.

"Sedang apa kamu?" tanyanya polos.

Aku berdecak. Bukan kagum, namun kesal. Pertanyaan macam apa yang dilayangkan di pagi buta sesaat setelah aku membuka mata; apa yang sedang aku lakukan? Aku sedang mencoba mengumpulkan ke-8 nyawaku lainnya yang entah sedang berada dimana saat ini. Aneh.

"Aku habis sembahyang," jawabnya lagi yang seolah tidak memperdulikan pertanyaannya di awal, "tiba-tiba langsung teringat kamu." Laki-laki itu terkekeh. "Aku jadi malu."

Aku tersenyum simpul dari balik selimut. Bisa aku bayangkan mukanya yang memerah sembari tangan kirinya menutupi wajahnya yang tersipu malu. Aneh.

"Terimakasih," sahutku. "Terimakasih sudah mengingatku sepagi ini."

"Aku memasukkanmu ke dalam doa. Tidak apa-apa kan?" selorohnya.

Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Antara terharu dan tersanjung dengan pernyataannya barusan. Entah polos atau terlalu jujur, aku tidak tahu harus menyebutnya apa kali ini. Namun, aku bukan seseorang yang gemar memperdebatkan hal kecil. Siapa aku layak mempertanyakan setiap doa yang sedang dibumbungkan tinggi ke angkasa?

"It's okay," jawabku singkat.

Kami terdiam untuk beberapa saat. Bukannya kami tak tahu harus berkata apa dan membahas apa, namun pikiran kami seolah sedang bereaksi sendiri-sendiri. Ini bukan diam yang canggung, ini diam yang penuh dengan reaksi.

"Uhm..." lelaki itu mulai membuka suara. "Bukannya kamu harus pergi sembahyang juga hari ini?"

"Oh, iya. Aku hampir lupa hari ini hari Minggu," ujarku sambil menepuk dahi. Jam dinding yang masih terpatri diam di kamar aku lirik. Tarian-tarian jarum di atas angka itu mulai menunjukkan hampir pukul setengah 6 pagi. Itu berarti, kurang lebih 30 menit sebelum akhirnya aku bersiap mengenakan baju yang layak untuk berkunjung ke rumahNya pagi itu.

"Titipkan salam. Dariku. Untuk Tuhan mu."

Ada perasaan nyeri setelahnya. Rasa itu seperti kali pertama ibu mengajariku memotong wortel. Aku yang terlalu bersemangat berada di dapur untuk pertama kalinya, harus merelakan jari telunjukku mengucurkan darah karena sayatan tajam dari pisau dapur. Waktu itu aku kurang berhati-hati memperhatikan bentuk dan rupa wortel. Aku berpikir jari telunjukku serupa dengan wortel yang akan aku potong. Alhasil aku menangis sekencang-kencangnya sambil berharap kucuran darah tidak terbuang percuma dari telunjuk anak perempuan yang berusia 6 tahun.

Rasanya yang hampir sama membuatku ingin menangis. Tapi, aku bukan anak perempuan 6 tahun yang sedang belajar memotong wortel lagi. Anak perempuan itu sudah menjelma menjadi seorang gadis di usia awal 20-an. Usia dimana aku mulai mengerti bahwa dengan menangis tidak akan menyelesaikan masalah.

"Iya, nanti salammu aku sampaikan. Tenang saja," jawabku sambil tersenyum pahit dari balik selimut. "Kalau nanti aku memasukkanmu ke dalam doa, tidak apa-apa?" tanyaku tanpa aba-aba.

Lelaki itu terkekeh dari seberang. Aneh.

"Kenapa harus kenapa-kenapa? Itu tadinya yang ingin aku pinta darimu. Tapi, aku takut meminta terlalu banyak, karena itu, aku pikir sebatas salam saja akan cukup."

Aku ikut terkekeh mendengar pengakuannya. Aneh. Seakan baru kali ini aku bertemu dan bercakap dengan seseorang yang mampu membuatku jatuh dan terbang lagi dalam durasi waktu yang hampir bersamaan. Aneh. Pernyataan-pernyataanya yang cukup absurd membuatku seolah aku sedang berbicara dengan diriku sendiri. Aneh.

"Hei, jangan lupa."

"Salam kan? Iya, pasti aku sampaikan."

"Bukan," katanya." Katupkan tanganmu rapat-rapat supaya Tuhan mu bisa mendengar doamu," guraunya.

Aku tersenyum. "Kalau begitu, buka tanganmu lebar-lebar supaya doamu juga cepat sampai," sahutku dengan nada konyol.

Lalu kami berdua terkekeh bersamaan sebelum akhirnya Ibu meneriaki namaku untuk cepat bergegas dan turun dari kasur.

May 22, 2013

O' Death

"Death leaves a heartache no one can heal." - Anonymous





Oh, Death, оh Death, oh Death,
Won't you spare me over til another year

But what is this, that I cant see
with ice cold hands taking hold of me

When God is gone and the Devil takes hold,
who will have mercy on your soul

Oh, Death, оh Death, oh Death,
No wealth, no ruin, no silver, no gold
Nothing satisfies me but your soul

Oh, Death,
Well I am Death, none can excel,
I'll open the door to heaven or hell.

Oh, Death, оh Death,
my name is Death and the end is here...

May 20, 2013

Are You Ready or Not?

" Kamu pernah jatuh cinta?"

Aku baru saja selesai menengguk sebotol teh sebelum akhirnya kata-kata absurd itu terlontar dari bibirnya. Hampir saja cairan beraroma melati dan madu itu melompat jauh dari mulutku.

"Uhm, belum," jawabku singkat sambil mengusap daerah nostril. Bukan karena udara malam itu terlalu dingin untuk berada di taman dengan cahaya lampu yang seadanya, namun aku berusaha menutupi sesuatu darinya. Berharap Ia tidak mengetahuinya.

"Kenapa? Takut?" tanyanya tak putus-putus.

Aku tertawa kecil. "Kenapa harus takut? Aku cuman belum siap," jawabku sambil mengedikkan bahu.

Dalam sekejap Ia menoleh ke arahku setelah beberapa lama Ia berkutat dengan pemandangan lampu taman dan bunga bakung yang ada di hadapannya. Penasaran dengan jawabanku. Mungkin?

Aku salah tingkah. Lagi-lagi aku -secara tidak sadar- mengusap daerah nostril yang entah, mungkin hidungku sudah mulai memerah karenanya. Bukan hal yang mudah menatap kedua bola mata teduh itu, yang dihiasi dengan sepasang bulu mata lentik. Hanya Tuhan yang tahu seberapa suka aku memperhatikan kedua matanya.

"Mana ada orang jatuh cinta butuh kesiapan? Jatuh cinta itu tanpa aba-aba."

Aku terkesiap mendengar jawabannya. Menarik.

"Memang itu jatuh cinta? Yakin bukan cuman sekedar suka?"

Laki-laki itu tampak terdiam sebentar. Sedang bersiap untuk mencari sanggahan yang dapat diperdebatkan mungkin. Setidaknya, fase diamnya membuatku memperhatikan lebih. Cara Ia menggaruk dahinya, yang aku tahu tidak sedang gatal. Ia hanya sedang mencoba untuk berpikir. Lucu.

"Tahu. Kamu bisa tahu saja. Menurutku..."

"Entahlah, mungkin aku bukan orang yang gampang jatuh cinta. Menurutku..."

Dia terkekeh. Suara tawanya gurih dan renyah. Tidak, aku tidak sedang membicarakan sepotong ayam goreng. Suara tawanya mungkin alasan kedua kenapa aku bisa suka berada di dekatnya. Untuk membuatnya tersenyum dan tertawa seperti saat ini bukan merupakan perkara yang mudah. Banyak kesiapan yang harus dipersiapkan. Bersiap untuk tidak membiarkan kedua lututku bergetar hebat, misalnya.

"Kalau menurutku sih kamu cuman takut. Aku tidak percaya kalau ada orang yang belum siap jatuh cinta."

Dasar keras kepala.

"Aku bukan takut. Kalau aku takut untuk sekedar jatuh cinta, aku mungkin tidak akan berada disini sekarang. Cinta itu terlalu rumit. Butuh kesiapan khusus kalau memang benar-benar siap." Aku menghela napas, mencoba menyelaraskan oksigen yang masuk dan yang harus diburu keluar guna menyampaikan pendapatku. "Love is such a strong word and I guess I'm one of those who can't easily accept the way it is."

"Jadi, kamu benar-benar belum pernah jatuh cinta?"

"Belum."

"Kapan kamu siap?"

"Entah. Mungkin nanti, mungkin beberapa tahun lagi."

"Darimana kamu tahu kalau kamu siap?"

"Kalau aku dipertemukan dengan orang yang tepat."

"Darimana kamu tahu dia orang yang tepat?"

"Yah nantinya akan tahu dengan sendirinya."

Dia mengangguk-anggukan kepalanya seperti sedang mencerna segala jawaban yang baru Ia dapat dariku. Anak-anak rambut yang berada di sekitaran pangkalnya ikut bergerak ke atas dan ke bawah, naik dan turun. Belum lagi sehembusan angin yang melewati kami yang seakan mencoba menyibakkan rambut laki-laki itu di hadapanku. Oh, aku kelewatan batas. Maaf, aku terlalu suka memperhatikan hal-hal kecil seperti itu. Nampak menyenangkan memperhatikan sesuatu yang bahkan tidak dipedulikan orang lain.

"Jadi, bisa dibilang kamu jatuh cinta tanpa aba-aba kan?" lanjutnya sambil menyeringai. Bisa aku lihat senyum kemenangannya terpancar dari balik sunggingan bibir mungilnya.

Aku terdiam. Tiba-tiba saja aku tidak tahu harus menyanggah apa lagi.

"Kamu tidak bisa memilih dengan siapa kamu jatuh cinta, kamu bisa jatuh cinta dengan siapa saja. Kalau kamu beralasan siap tidak siap, menurutku itu bukan jatuh cinta. Cupid sendiri tidak peduli apakah kamu siap atau tidak kalau tiba-tiba Ia menghujamkan panahnya ke arah kalian berdua. Menurutku, siap atau tidak, kamu harus siap. And out on the street are so many possibilities to not be alone."

Death Cab for Cutie? Aku tidak tahu dia tahu soal Death Cab for Cutie.

"Memang kamu pernah jatuh cinta?"

"Uhm, belum."

"Kenapa? Takut?"

Laki-laki itu terdiam. "Mungkin aku juga belum siap," jawabnya malu-malu.

Kami berdua terbahak di taman malam itu, hanya tinggal beberapa gelintir orang dan pasangan yang ada disana. Aku berani bertaruh, mereka tidak sedang menikmati malam seseru kami.

Angin malam mulai berhembus sepoi-sepoi sambil membawa lalu cerita kami di hari itu. Kami tertawa lalu kembali bertukar pandang tentang sesuatu yang tidak dianggap penting oleh orang kebanyakan. Tapi, hal itu menyenangkan. Setidaknya, aku bisa terus memperhatikan segala hal kecil dari dirinya seraya mengungkap sedikit harapan dari dalam kepada semesta supaya Cupid dapat menghujamkan panahnya ke arah kami berdua.

Maksimum 30 Kata #2

Namanya takdir dan dia lucu. Menjauhkan saat keduanya saling mendoakan. Mempertemukan saat keduanya tak saling berharap. Namanya takdir dan dia lucu, sekali.

May 13, 2013

Dear B

Yang terbaik adalah ketika aku masih mampu mengingatmu, kemudian mendeskripsikanmu benar-benar, dan menciptakan lagi sosokmu dalam alter egoku. Karena tidak ada yang mampu membunuh ingatan sebaik sang waktu. Karena tidak ada yang mampu mencipta ingatan sebaik kamu, dalam memoriku.

Yesterday


"Yesterday all my trouble seemed so far away. Now it looks as though they're here to stay.
Oh, I believe in yesterday." – The Beatles



"What makes you today is something that had happened to you yesterday."

The little girl with red ribbon keeps telling herself the same words, over and over again.
Because that's what she believes.
She believes in yesterday, she just doesn't believes in history.
She believes that everything happens for a reason, she just doesn't believes in coincidence.
She believes in love, she just doesn't believes it would be an easy thing to figure out.

She always does that. She is an easy believer, call her that.
She also believes why it has to be red ribbon upon her head, why not blue? or pink?
Because she believes that red refers to her stories.
Every inch stories she had gone through.
Every stories that had made her to be more woman than she was.

Stories about wrath and regret and how it scratch her heart and the wounds make the blood won't stop bleeding, till today.
Tales about sins, much sins that she creates in order to gain answers from The Almighty.
Then, a bunch of narratives and descriptions about disappointments and fears, and how to put the fake but delicate face under her nose.

Those were not nice, not even once.
But that's real, that happens and that's what the reality is all about.
Sometimes the world is becoming a cruel place.
It was set to shake us, and it succeed to make her faith unsteady.
It wasn't her choice to feel this way.

It's just.. that's what happens when promises broken.
She is an easy believer, call her that.
But once, the promises you made got broken, you will find yourself struggling to deal with the little girl with red ribbon.
Because yesterday has made her becoming a creature that howls at night.

Bloom


by The Paper Kites



In the morning when I wake
And the sun is coming through,
Oh, you fill my lungs with sweetness,
And you fill my head with you.

Shall I write it in a letter?
Shall I try to get it down?
Oh, you fill my head with pieces
Of a song I can't get out.

Can I be close to you?
Ooh-oo-oo-ooh, ooh (simile).
Can I be close to you?
Ooh, ooh.

Can I take it to a morning
Where the fields are painted gold
And the trees are filled with memories
Of the feelings never told?

When the evening pulls the sun down,
And the day is almost through,
Oh, the whole world it is sleeping,
But my world is you.

Can I be close to you?
(Ah) ooh (aah), ooh (aah).
Can I be close to you?
(Ah) ooh (aah), ooh (aah).

*whistling*

Can I be close to you?
(Ah) ooh (aah), ooh (aah).
Can I be close to you?
(Ah) ooh (aah), ooh (aah).

Can I be close to you?
Ooh, ooh...



STUPID FEELINGS

May 11, 2013

Goodbye Stranger

Stranger would still be a stranger if you do not let them come into your life.
...and I'm here like to say goodbye to my stranger, my one stranger.
The lovely one.

He once became a stranger.
Then I called him a stranger.
Now I said goodbye as a stranger.
Later we are going to be strangers, together.
No greetings.
No goodbyes.

That may a better picture to have.

Goodbye stranger, it's been nice.
Goodnight stranger, hope you sleep well.

May 9, 2013

Maksimum 30 Kata #1



Malam itu, dalam imajiku. Ia menanggalkan kecupan lembut di pipi kiriku dan meninggalkan rona merah setelahnya. Jantungku berdegup aneh, tak beraturan. Lututku lemas. Aku malu, namun masih terpejam.

May 6, 2013

Could You Sense Death?



It is when you feel your tears rolled down in a sudden, without reason.
It is when you feel your heart beats faster.
It is when you feel you need the arms of your old man wrapped you, make you feel warm.
It is when you feel the saddest fear crawled towards you.
It is when you feel the need to prevent something bad to happen.
It is when you feel your nightmare does exist.
It is when you feel the smell of goodbye.

Could you sense death?
Because apparently, the little girl with red ribbon could.

Pronouns

"Stumble and fall with the head spin I got.
My mind's with you but my heart's just not." - Ed Sheeran

We is pronouns.
So does I and You are also pronouns.
She and Him either,
though they are not belong together.

Not like You and I or Them and Us, 
She belongs to He and Him belongs to Her.
Which someday, They turns into Ours and Theirs
Then,
She would change into Hers with He,
Him shifted as His along with Her,
and that is where the story is going to end.

She and Him are not belong together.
Because they are not in the same sentence,
or...
Because they are not on the same page,
or...
Maybe because they are just not on the same book.

It's Time

“Life will break you. Nobody can protect you from that, and living alone won’t either, for solitude will also break you with its yearning. You have to love. You have to feel. It is the reason you are here on earth. You are here to risk your heart. You are here to be swallowed up. And when it happens that you are broken, or betrayed, or left, or hurt, or death brushes near, let yourself sit by an apple tree and listen to the apples falling all around you in heaps, wasting their sweetness. Tell yourself you tasted as many as you could.”
Louise Erdrich, The Painted Drum LP

“The emotion that can break your heart is sometimes the very one that heals it…”
Nicholas Sparks, At First Sight

“Someday you’re gonna look back on this moment of your life as such a sweet time of grieving. You’ll see that you were in mourning and your heart was broken, but your life was changing…”
Elizabeth Gilbert

A life-long blessing for children is to fill them with warm memories of times together. Happy memories become treasures in the heart to pull out on the tough days of adulthood.
― Charlotte Davis Kasl

The Warning!

Forgive me before,
May is an exception.

May would full with rotten feelings.
It would be nasty and disgusting.
Of course not in a positive way.
You would be disgusted, with the words even with the author.
I warn you not to read the May postings.
I warn you once, I warn you twice.
You are going to see the sins.
All of them, the 7 deadly sins will be come out to terrify you and give you terror.
The anger, the hate, the wrath, the gloomy feelings, the curse word, the tears, the regret, and the redemption.
Go, before it chases you.
Run, before it gets you.

Forgive me before,
but May is an exception.

Absurdity



She is not a saint.
She was a complete sinner, and maybe she still is.
She has this belief, that a little girl with a red ribbon lives within her.
She writes her thoughts in every chances and gaps.
She creates her own world in her mind.
She has what-so-called a sudden wonderland everytime she looks upon the morning dew.
She loves words and likes to turn it into ballads.
She is a beautiful paradox with simple complexities.
She is the absurdity.
She is just she.


N.B: The little girl illustration is from this web

May 1, 2013

Hello May, Goodbye May



Hello May.
Here we are. We meet again.
You're back and you're alone.
But still, the memory that we made remains.
It was the broken one and it still taste the same.
It's bitter than mud.

Hi, May.
I asked you once, "Don't change."
And I was started to like you.
You bring the new horizons of future hope.
You teach me that friendship will never last.
Though,
In the same month you were stabbed me with your knife that you hid behind your back.
I was bleeding.
I rolled into puddle of blood and you were not there to save me.
You stood still, May.
You ignored me and not giving any excuse for me to say my last words.
You were a murderer but you admit that you did nothing.
I was being left in the alley of darkness and the black clouds surrounded me.
And you were there, holding your knife that covered with red.

Goodbye, May.
If you can hear me now, this is my last words to you.
The last words that I didn't have a chance to utter between my dying breath.
I liked you once, hell, I loved you once.
You made me to know the new values of friendships.
I can't hate you, even if I want to.
The memory is still broken and I still couldn't cope with my half feeling.
Help me to mend it.
Before you leave again and June comes.

In Memoriam, B.
who came in the same month he gone.