December 25, 2014

Selamat Natal, Jiwa yang Hilang. Lekaslah Pulang..





Selamat Natal.”

“Aku ingin salju.”

“…”

Iya. Kau tak salah dengar. Aku ingin salju.”

“Dan aku harap kau tak sedang berkhayal. Kita hidup di bagian bumi paling tropis dan  kau 
mengharap salju turun.”

Salah?”

“Itu mustahil.”

Ku dengar tidak ada yang mustahil.”

“…ya tapi ini berbeda.”

“Apa yang berbeda?”

Caramu meminta. Tidak seklise itu.”

“Jadi jika ingin meminta kepada-Nya harus melalui beberapa syarat dan ketentuan yang berlaku? Birokrasi penuh?”

Bukan birokrasi yang penuh, tapi iman.”

“Kalau imanku penuh, maka salju akan segera turun?”

“Dari mana kau tahu kalau imanmu sudah penuh?”

“Aku tahu saja. Berharap dan berdoa. Cukup kan?”

Tidak.”

Lalu?”

Iman.”

“Aku sudah punya iman.”

“Kau harus punya iman sebesar biji sesawi dulu baru kau bisa memindahkan gunung.”

“Aku punya iman lebih besar. Seluas lautan… oh tidak, seluas samudera.”

“Kalau begitu, seharusnya salju sudah turun sedari tadi bukan?”

“Omong kosong.”

Selamat Natal. Semoga lekas pulang.”

Siapa?”

Jiwamu yang hilang.”

December 15, 2014

Cobalah untuk Tidak Terlalu Peduli

Belakangan ini saya sempat dibuat lara dengan beberapa postingan di media sosial tertentu yang mengangkat tentang masalah agama, fanatisme, dan keyakinan. Maafkan sebelumnya, namun mungkin tidak seharusnya saya ikut turut campur dengan apa yang mau teman-teman saya lakukan tentang apa yang mau dilakukannya di media sosial miliknya, apa yang mau disukainya atau apa yang mau dibagikannya kepada teman-temannya yang lain.

Namun, keyakinan itu masalah yang sensitif.

Kita tidak pernah tahu akan ada berapa orang yang tersakiti hanya karena beberapa postingan yang terlalu menyudutkan atau tidak terbukti kebenarannya.

Saya tahu, mungkin saya tidak layak berbicara seperti ini, namun bagi saya pribadi, hal seperti ini tidak perlu diperbincangkan di hadapan publik. Agama, bagi saya, adalah sebuah privasi; sebuah persoalan personal antara seorang umat dengan Tuhannya. Apalagi jika membandingkan keyakinan dan beradu siapa yang lebih benar. Pada akhirnya, semua akan buang-buang waktu saja.

Karena ketika kita membicarakan keyakinan, hal itu lebih seperti menarik 2 garis sejajar yang tidak akan pernah bertemu. Jadi, mau diskusi sampai pagi ataupun 1000 tahun lagi, saya rasa kita semua akan tetap berpegang teguh pada apa yang akhirnya kita percayai.

Saya percaya atas apa yang saya percayai begitu pula saya juga menghormati atas apa yang mau anda percayai. Karena sebuah kepercayaan dan sebuah keyakinan sebenarnya adalah urusan hati dan spiritual yang seharusnya lepas dari campur tangan orang lain.

Maka, cobalah untuk tidak terlalu peduli.

December 10, 2014

Dari Perempuanmu

Lelakiku,

Aku sudah lama mempersilakanmu masuk lewat pintu utama yang sudah sekian lama kuncinya selalu aku genggam sendiri. Membiarkanmu duduk di tempat yang kau mau dan merelakan dinding rumahku kau hiasi dengan beribu corak dan pola. Memberimu hak mengatur lukisan di dinding bahkan menjadikanmu tuan yang singgah dalam peraduan.

Sayang, mencintaimu tak semudah mengartikan puisi Gibran, wahai lelakiku. Aku membiarkanmu merobek separuh hati yang aku berikan begitu saja. Lalu kau meremukkan dan menjatuhkannya tanpa ampun sekalipun aku berteriak memintamu untuk berhenti, dan menengok.

Tengoklah rasa sakit yang aku pendam dalam sunyi.
Tengok air mata yang aku biarkan jatuh dalam pelukan gravitasi bumi.
Tengok aku yang berdiri mematung di depan pintu yang kita huni, yang entah kapan kau pergi untuk kembali disini.

Aku mencintaimu lebih awal bahkan sebelum embun tahu daun mana yang akan menjadi tempatnya menghabiskan pagi. 
Aku mencintaimu lebih awal dibanding ikan-ikan yang berlomba berenang untuk menjadi yang pertama sampai ke hilir. 
Aku mencintaimu lebih awal daripada bulan yang terlambat mengutarakan perasaannya pada lautan. 
Aku mencintaimu lebih awal bahkan sebelum Ia datang dan memelukmu dalam  mendung dan bimbang.

Lelakiku, 

mungkin aku terlalu mencintaimu sampai-sampai aku mati rasa pada nyeri dacemburu,
mungkin aku terlalu mencintaimu sampai-sampai merelakan nona kecilmu memanggilmu tuan dan membiarkan kalian bertemu dalam dinginnya malam,
mungkin aku terlalu mencintaimu karena aku masih ingin mendambamu lebih lama lagi, sekalipun kau juga masih ingin mendambanya sekali lagi.

Dari yang masih mencintamu,

Perempuanmu.



P.S. Inspired from : I'm not the Only One

December 9, 2014

Penjaga Logika



masih senja yang sama di bulan Desember yang basah
masih dengan daun yang dengan tulus menampung air hujan
dan masih dengan katak yang menari di atas riak dan gelombang
masih ada aku dengan imajiku menunggu yang tak kunjung datang

masih dengan payung kuning yang membuatku teduh
masih berdiri dan menanti hingga jenuh
dan masih dengan sebentuk hati yang dibiarkan utuh tak tersentuh
masih aku yang sama sampai nanti hari ketujuh

masih percaya dengan waktu yang tak pernah terlambat
masih sekalipun hujan jatuh di atas selokan yang tersumbat
dan masih dengan beban di pundak yang semakin berat
masih aku yang yakin sang penjaga logika semakin dekat