July 25, 2014

Tentang Semesta dan Doa



Jika semua doa kita dikabulkan Tuhan,
apakah kita sudah siap?

Saya belum.
Iseng-iseng saya menanyakannya kepada teman-teman saya, mereka menjawabnya dengan nada lantang. Siap, kata mereka tanpa ragu-ragu.
Lalu mengapa tinggal saya sendiri yang masih ragu untuk membiarkan Tuhan mengabulkan doa saya?
Bukannya, setiap saya berdoa, selalu ada sejumput harapan agar doa saya dikabulkan olehNya?
Jadi, apa yang sebenarnya membuat saya belum siap untuk menerima segala sesuatu yang dikabulkan oleh Tuhan yang notabenenya adalah permintaan-permintaan saya?

Jadi begini, mungkin kira-kira alasannya seperti ini...

I always believe that everything that had happened, that is happening and the one that is going to happen are not just a coincidence. Saya tidak pernah percaya kebetulan.

Semesta punya jam waktunya sendiri untuk memunculkan setiap peristiwa demi peristiwa, dan herannya, entah bagaimana caranya, 1 kejadian kecil yang terjadi akan berdampak pada kejadian yang lain. Semacam efek domino, kurang lebih seperti itu saya menyebutnya. Saat peristiwa A berdampak pada peristiwa B yang mana menyebabkan peristiwa C terjadi.

Beda dengan Edward Lorenz yang menyebutkan tentang The Butterfly Effect. Dimana di dalam chaos theory, disebutkan jika Lorenz percaya sebuah kepakan sayap kupu-kupu di hutan belantara Brazil dapat berakibat tornado di belahan dunia lainnya.

Mengerikan? Tidak, itu menakjubkan.

Tentang bagaimana sebuah peristiwa kecil yang sedang terjadi saat ini akan berdampak pada peristiwa besar di kemudian hari.

Mungkin karena itu saya menjawab kalau saya belum siap.
Saya belum siap jika semua permohonan saya dikabulkan, karena itu akan merusak segala rencana tatanan semesta yang ada. Tidak hanya pada saya, namun bisa jadi pada orang yang bahkan tidak saya kenal.

Dan lagipula, bukankah lebih menyenangkan seperti ini? Menerka-nerka kapan sesuatu yang kita harapkan akan terjadi serta menebak-nebak apakah permohonan kita akan dikabulkan atau tidak.
Semesta itu seperti teka-teki yang menuntut untuk dipecahkan. Namun semakin kita berusaha memecahkan teka-tekinya, semakin kita malah terbawa ke dalam permainannya yang membingungkan.

Lalu, apakah itu berarti saya berhenti berdoa dan menunggu semesta untuk memunculkan peristiwa-peristiwanya yang absurd begitu saja?

Tentu saja tidak.

Karena berdoa tidak seklise itu.
Karena berdoa tidak seperti rangkaian panjang susunan domino yang ketika satu batangnya dijatuhkan, maka yang belakangnya ikut runtuh.

Karena berdoa lebih dari sekedar menunggu sebuah permohonan untuk dikabulkan.
Karena berdoa membuat saya mampu mendengar suara-suara semesta dari dalam.

July 14, 2014

Did it Hurt?

"Did it hurt?"

I heard someone asked. Her voice chirped as a morning sound. I did not find the agony or misery within. She asked me like she wanted to know how it feels to be hurt.

"Did it hurt?"

She asked me once again. This time, her voice echoed inside my head. The curiosity trapped in the rhythm that mumble in the air. She sounded desperate.

"Did it hurt?"

I looked up to where the voice came. I wiped the tears that roll down on my cheeks, rubbed my eyelids that got tired pushing the water to fall. My eyes turned red, and so did my nose. No doubt, I think I beat Rudolph's on Christmas.

"No, it doesn't hurt. I'm okay."

She took a minute to digest what I had said. She looked confused as she narrowed both of her eyes, thinking.

But then she whispered softly as soft as the snowflakes in winter.

"You know everything is gonna be okay in the end. It always will be."

...then she took off. Leave me with a few footprints inside my brain and a question that I had answered before.

"Did it hurt?"

I hoped she would get back and ask me one more time because I think I gave her the wrong answer...