June 15, 2014

Yours Truly

June 15th, 2014.

Dear Papa,

   Sudah hampir seperempat abad usiaku mengenalmu, seorang pria paruh baya yang tak pernah gentar menerjang waktu. Aku mungkin bukan seseorang yang penuh perhatian, namun aku senang mempedulikan hal-hal kecil. Seperti rambutmu yang mulai memutih dan dahimu yang penuh kerutan. Waktu membuatmu nampak tua, namun di mataku kau tak ubahnya seorang lelaki yang akan selalu membuat perempuan kecilnya jatuh hati. Iya, kurang lebih seperti itu Pa. Kau berhasil membuatku jatuh hati sedari pertama aku bertemu dunia.

   Aku masih ingat waktu usiaku masih 3. Aku gemar mencabik helai demi helai rambut di kepalamu. Kau hanya menyeringai seraya menahan sakit. Maaf Pa, aku tidak bisa menutupi kegiranganku saat kau biarkan aku duduk di atas pundakmu. Semua yang kulihat dari atas pundakmu nampak berbeda. Mainan-mainanku terlihat lebih kecil dari biasanya. Menyenangkan sekali menjadi tinggi dan besar dalam sekejap. Aku sampai bisa melihat koleksi bukumu di lemari kaca paling atas. Walaupun aku tak tahu pasti yang mana buku favoritmu, aku tahu kau seorang yang gemar membaca. Lagipula, berada di ketinggian seperti itu tidak serta merta membuatku takut. Karena aku juga tahu, kau tidak akan membiarkanku jatuh.

   Ada masa dimana memasuki tahun ke 6 usiaku. Kau begitu sering mengajakku berkendara kemana saja di akhir minggu. Untuk sekedar berjalan di taman atau menuruti rengekanku untuk membeli permen kapas. Sebelum akhirnya kau memutuskan untuk pulang karena hari beranjak gelap, kau biarkan aku duduk di pangkuanmu, di belakang kemudi. Memperbolehkanku memutar setir ke kiri dan kanan. Lihat Pa, ini sungguh menyenangkan! Bak pembalap profesional aku berkonsentrasi penuh dengan apa yang ada didepanku, seolah aku tidak akan membiarkan seorangpun mendahuluiku. Seketika ruangan sempit beroda 4 itu hanya menggaungkan gelak tawa kita yang beradu. Aku tahu Pa, tidak peduli seberapa banyak permen kapas yang kita beli ataupun seberapa jauh taman yang kita datangi, kau akan selalu membawaku pulang.

   Usiaku 7 dan teman-temanku saling memamerkan sepeda barunya. Mereka berkeliling dari satu gang ke gang berikutnya sembari membunyikan bel. Aku terpekur di sisi jendela sembari berandai menjadi seorang yang mahir bersepeda. Sayangnya, aku selalu menjadi seorang pesimis yang tidak pernah percaya kaki kecilku sanggup menjejak tanah ketika aku sudah duduk di atas sadelnya. Lalu di suatu sore, kau rela memberikan satu senja di hari Minggumu untuk menemani dan menyemangatiku. Padahal setumpuk kertas di atas meja kerjamu merajuk ingin diurus. "Papa percaya kamu bisa," katamu sembari menjulurkan tanganmu ke arahku. Aku tersenyum haru ketika kau menggandengku. Papa tahu? Kau akan selalu ada di urutan teratas di daftar orang yang percaya aku mampu melakukan apapun.

   10 tahun berlalu. 17 bukan angka favoritmu. Aku tidak lagi berwujud putri kecil yang gemar kau gamit tangan kanannya ataupun seorang perempuan mungil yang kau dudukkan di atas pundakmu. Jam malam kau terapkan. Tak jarang aku melanggarnya dan tak jarang pula aku melihatmu duduk tertidur di sofa. Yang aku lakukan hanya menjaga suara derap kakiku agar tidak membuatmu bangun karena aku sedang tidak ingin menjawab cercaan pertanyaan ketika kau tahu aku baru pulang. Maaf untuk setiap kekecewaan yang aku buat, Pa. Tapi aku tahu, kau akan selalu ada bagiku untuk menjauhkanku dari segala godaan.

   Sudah hampir seperempat abad usiaku mengenalmu, seorang pria paruh baya yang tak pernah gentar menerjang waktu. Kau tidak pernah berhenti membuatku jatuh hati padamu setiap harinya. Sayangnya, kerap kali aku membuatmu patah hati dan seringkali aku membuatmu kecewa. Maaf untuk setiap detik yang terbuang percuma ketika aku tanpa sengaja membuatmu terluka dan marah. Maaf pula untuk setiap pernyataan kasih sayang yang selalu tertunda. Kau mungkin tahu kalau aku bukan bagian dari kumpulannya yang pandai menyatakan perasaan. Yang mungkin kau tak tahu, aku selalu mengingat segala hal kecil yang kau lakukan bagiku. Karena aku percaya, kau tidak akan membuat anak perempuanmu patah hati.

   Banyak-banyaklah tertawa, Pa. Karena suara tawamu adalah alunan melodi favoritku yang pernah semesta izinkan untukku mendengarnya.

   Selamat Hari Ayah, Pa.

   Aku menyayangimu.


Yours truly,


Anak perempuanmu.