April 25, 2014

Paper Hearts



Goodbye love, you flew right by love

Remember the way you made me feel
Such young love but
Something in me knew that it was real
Frozen in my head

Pictures I’m living through for now
Trying to remember all the good times
Our life was cutting through so loud
Memories are playing in my dull mind
I hate this part paper hearts
And I’ll hold a piece of yours
Don’t think I would just forget about it
Hoping that you won’t forget about it

Everything is gray under these skies
Wet mascara
Hiding every cloud under a smile
When there’s cameras
And I just can’t reach out to tell you
That I always wonder what you’re up to

Pictures I’m living through for now
Trying to remember all the good times
Our life was cutting through so loud
Memories are playing in my dull mind
I hate this part paper hearts
And I’ll hold a piece of yours
Don’t think I would just forget about it
Hoping that you won’t forget

I live through pictures as if I was right there by your side
But you’ll be good without me and if I could just give it some time
I’ll be alright

Goodbye love you flew right by love

Pictures I’m living through for now
Trying to remember all the good times
Our life was cutting through so loud
Memories are playing in my dull mind
I hate this part paper hearts
And I’ll hold a piece of yours
Don’t think I would just forget about it
Hoping that you won’t forget

April 15, 2014

The Dream Wedding

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered! 

“Love is our true destiny. We do not find the meaning of life by ourselves alone. We find it with another.”- Thomas Merton

Aku mematut diriku di depan cermin. Memperhatikan setiap riasan yang menempel di wajahku layaknya kanvas yang dilukis seorang masterpiece. Aku perhatikan setiap detailnya dengan teliti. Mulai dari bulu mata palsu yang bertengger di pinggir kelopak mataku, yang ukurannya cukup tebal sehingga untuk berkedip rasanya butuh usaha ekstra. Belum lagi perona pipiku. Warna peach ini rasanya terlalu pucat. Aku terlihat lebih seperti mayat hidup daripada seorang pengantin perempuan. Apa perlu aku tambahkan sedikit lagi supaya pipiku terlihat lebih cerah. Tapi bagaimana nanti kalau aku malah terlihat seperti badut yang mau pergi ke pesta ulangtahun?

“Tahan napas.”

Aku menahan napas, mengikuti perintah Nora yang berada di belakangku. Ia sedang berusaha menutup resleting gaun pengantinku. Oh, Tuhan. Semoga dietku selama 6 bulan kemarin memberikan hasil yang memuaskan.

“Duh, Kay. Kok nggak bisa ditutup sih. Kamu gendutan ya?”

Aku membelalakan mata. Panik.

“Relax, sweetheart. I’m just playing with your mind.” Nora terkikik geli sembari dengan mudahnya menutup resleting gaunku.

“Nora, nggak lucu,” gumamku kesal. “Ini bukan waktu yang tepat buat bercanda.”

Nora malah terpingkal melihatku kesal. Aku mengernyitkan dahi. Ada yang salah dengan saraf adik perempuanku satu-satunya ini. Di saat aku mengalami panic attack di hari pernikahanku, ia malah tidak hentinya bercanda dan tertawa.

“Nervous?”

“How could you be not nervous on your wedding day?”

Jelas sekali aku gugup. Ini pertama kalinya aku menikah dan pastinya aku berharap ini untuk yang terakhir, tentu saja. Karena ini semua serba pertama jadi mana aku tahu apa yang harus aku lakukan. Untung saja aku dan Eric sepakat menyewa Wedding Organizer untuk mengurus segalanya. Setidaknya aku menciptakan sendiri pernikahan impianku. Menikah di pinggir pantai sambil disaksikan beberapa pasang mata orang-orang terdekat. Thanks God, The Bay has it all.


Berawal dari melihat foto promo The Bay di Facebook page, aku sontak berteriak kegirangan dalam hati. Memasang “Make it Happen” sebagai taglinenya seolah memberikan aku kesempatan untuk mewujudkan pernikahan impianku di tepi pantai.

Menurutku, pernikahan itu hal paling romantis. Ketika dua orang anak manusia bersepakat bersama sampai maut memisahkan, well, tidak ada hal lain yang lebih sakral dari itu bukan? Diiringi deburan ombak sebagai latar belakang musiknya dan aroma air laut yang selalu mempunyai kekhasannya sendiri, menambah kesan bahwa alam juga ikut bersorak menyetujui. Dank, I’m such a cheesy.

“Udah cantik, Kay. Nggak usah diapa-apain lagi. Riasannya udah sempurna,” kata Nora ketika melihatku gelisah sendiri di depan meja rias. Adik perempuanku itu seakan tahu apa yang sedang aku pikirkan.

“Alis mataku udah simetris? Kalo nggak simetris kan nggak lucu, Nora. Nanti dipikirnya aku nggak bisa dandan yang bener,” ujarku. “Blush on nya kurang tebel nggak? Apa ketebelan? Duh, Nora. Aku nggak pengen kelihatan kayak hantu yang mukanya pucat atau badut yang mau dateng ke pesta anak umur 5 tahun.”

Aku terduduk di depan meja rias. Dari balik pantulan kaca, aku bisa melihat Nora berkacak pinggang di belakangku sembari memutar bola matanya. Aku sadar aku bisa jadi begitu menyebalkan ketika gelisah seperti ini.

“Kayla Sosromiharjo, dengerin aku.” Nora meletakkan kedua tangannya di bahuku. “Mau kamu pakai piyama sambil bawa boneka anjing kesayanganmu buat jalan di altar, Eric nggak bakalan komentar. Ujung-ujungnya dia juga bakalan bilang I do.”

Aku mendengus kesal. Nora ada benarnya juga.

“Dianya sih nggak komentar. Bapak ibunya yang komentar macem-macem. Calon mantu macam apa dateng ke pernikahannya sendiri kayak mau pesta piyama.”

Nora tertawa geli mendengar ucapanku barusan.

“Jujur ya Kay, aku masih nggak habis pikir kenapa si Eric masih pengen nikahin kamu.”

“Eh, kok gitu ngomongnya? Kok kamu malah nggak dukung aku nikah sama Eric?” Aku terkesiap.

“I’m your little sister. It’s not like I’m going to support you all the time, right?” Nora menghela napas. “Bukan maksudnya membuka luka lama sih Kay. Tapi apa yang sudah kamu lakuin ke Eric setahun yang lalu itu bukan hal yang gampang buat dilupain lho. Mangkannya aku bilang aku masih heran aja sama Eric kenapa dia masih bisa mutusin buat nikahin kamu setelah kejadian itu.”

Aku terdiam. Apa yang diutarakan Nora barusan sebenarnya juga sudah mengusikku sedari awal Eric meminta aku untuk menikah dengannya. Tapi, aku masih belum ada nyali untuk menanyakan itu padanya langsung. Lagipula, rasanya aneh saja ketika kekasih yang kamu cintai setengah mati dan kalian sudah menjalin hubungan selama lebih dari 4 tahun masih memintamu menikah dengannya ketika tahu kalau kau sudah mengkhianatinya.

Aku memang bukan orang yang sempurna. Aku akui itu. Komitmen merupakan momok terbesar bagiku sejak dulu. Tidak heran kalau jangka waktu hubunganku dengan para pria mantan kekasihku itu tidak lebih dari 3 bulan, hanya seumur jagung. Herannya, Eric mampu menepis itu semua. Aku sendiri tidak menyangka akan bersama dengannya sampai 4 tahun lebih. Mungkin karena itu, aku butuh penyegaran. Rasa bosan itu dosa paling jahat yang pernah aku punya. Eric adalah sosok pria sempurna yang tidak pernah berhenti memberikan sayangnya untukku, bahkan setelah ia tahu aku berselingkuh darinya. Oleh karena itu, aku merasa seperti pendosa besar yang sudah tidak layak punya harapan untuk diampuni lagi.

***

1 tahun yang lalu

“Eric… Maaf…” kataku lirih.

Kami berdua berada di dalam mobil, terdiam semenjak tadi. Tidak ada seorangpun yang berani memunculkan suara ke permukaan. Aku tahu kami berdua sedang kalut dengan pikiran masing-masing.

“Kenapa sih Kay? Ada yang salah ya dari aku? Aku kurang apa?”

Kali ini giliran suara Eric yang terdengar lirih di telingaku. Demi Tuhan, aku tidak sanggup melihat matanya. Aku tidak sanggup melihat mata orang yang aku cintai itu terluka karena tindakan bodohku.

“Engga, Eric. Kamu nggak salah apa-apa. Yang salah itu aku.”

“Kamu nggak bahagia sama aku? Kamu sudah bosen ya sama aku?”

Tangisku meledak begitu saja. Rasanya aku ingin jatuh ke pelukan Eric, membenamkan wajahku ke dadanya. Aku rela meneriakkan kata maaf berkali-kali sebanyak apapun yang dia inginkan. Aku hanya ingin Eric tahu aku menyesal.

Tiba-tiba aku merasakan tangannya mengusap kepalaku perlahan, seperti berusaha menghentikanku menangis. Eric memang tidak pernah suka melihatku menangis, ia pernah berucap itu kepadaku. Sekarang, ia malah menarik tubuhku ke pelukannya. Rasanya hangat. Tapi aku masih belum bisa menghentikan tangisku, malah kian menjadi.

“Kay, bilang ke aku kalau kamu nggak bahagia sama aku. Tapi, tolong. Jangan selingkuh dari aku. Rasanya sakit, Kay…”

***

“Eh, malah bengong.”

Suara Nora membangunkanku dari lamunan.

“Udah, omonganku yang barusan nggak usah dipikirin. Kan akunya yang heran, kok kamunya yang malah kepikiran. Mestinya aku dong yang kepikiran,” ujarnya sambil setengah tertawa.

Aku tahu Nora berusaha mencairkan suasana tapi aku masih terbayang kejadian setahun yang lalu. Aku belum bisa tertawa.

“Aduh Kay, udah deh. Repot nih punya kakak perempuan yang super sensitif. Apa-apa masuk ke otak, terus dipikirin,” kata Nora. “Eh iya, kayaknya ada yang kurang deh, Kay.”

“Ha? Apa yang kurang Nora?”

Perkataan Nora barusan berhasil menyita perhatianku.

“Kalung ibu. Kalung ibu yang mutiara itu lho Kay. Udah aku kasih ke kamu bukan sih? Itu kan something borrowed mu.”

“Belum. Aku nggak nerima apa-apa kok dari tadi.”

“Ah yang bener, Kay?” Air muka Nora berubah pias.

“Beneran, Nora. Kamu taruh mana tadi?” Aku mulai panik.

“Tadi seingetku udah aku kasih ke kamu jadi tinggal kamu pakai.”

“Engga, Nora. Duh, udah tinggal 15 menit lagi nih. Gimana kalau kalungnya nggak ketemu.”

Nora mulai memutar otak.

“Aku coba cari di kamar ibu ya? Kamu cari disini. Nanti kalau udah ketemu, saling kasih kabar aja, ya? Oke?” kata Nora sambil berlari keluar.

Kalau urusan sama Nora pasti ada saja masalahnya. Aku heran, sepertinya anak itu memang terlahir dengan bakat sebagai pembawa masalah.

Aku mulai mencari di atas kasur. Tidak ada. Tumpukan baju ganti juga tidak luput dari mataku. Tidak ada juga. Di atas meja rias, nihil. Kali ini giliran laci meja rias yang aku geledah seperti seorang perampok. Kalung mutiara itu tetap tidak ada. Tapi, aku menemukan sesuatu yang lain. Sebuah amplop.

“Kayla. Thanks, God. Akhirnya ketemu nih,” sahut Nora tiba-tiba tanpa mengetuk pintu.

Biasanya aku akan berteriak ke arah Nora karena ia gemar membuka pintu seenaknya tanpa mengetuk terlebih dahulu, namun tidak kali ini. Perhatianku teralihkan pada sebuah amplop putih yang diperuntukkan untukku.

“Nora…” kataku seraya menunjukkan amplop itu padanya.

“Dari siapa?”

Aku menggeleng perlahan. “Eric?” tebakku tiba-tiba.

Wajah Nora berubah peduli. Kami berdua tidak tahu isi amplop itu tentang apa, namun seolah-olah Nora dan aku menyimpan hipotesa yang sama. Sebuah perkiraan yang paling dibenci di muka bumi ini ketika hari pernikahan.

Eric melarikan diri dari pernikahan. Eric tidak jadi menikah denganku. Hanya 2 topik itu saja yang bermain-main lucu di kepalaku. Entah yang mana, intinya sama saja. Eric tidak akan ada di depan altar untuk menungguku mengucap janji bersamanya.

“Kay, coba buka deh. Biar kita tahu isinya.”

Aku sudah mulai berkaca-kaca. Riasanku tinggal di ujung tanduk, menunggu untuk menjadi berantakan. Aku tidak akan menyalahkannya kalau Eric membatalkan pernikahan ini. Ia punya banyak alasan untuk tidak melakukannya. Setidaknya sedari awal, hal itu merupakan alasan yang paling logis. Apa benar Eric sesakit hati itu sampai dia tega untuk mempermalukanku di depan keluargaku sendiri?

Aku membuka amplopnya, lalu suratnya perlahan. Aku benar-benar belum siap.

_________________________________________________________________________________
Dear Ms. Kayla Sosromiharjo.

I know you worried about how you look today. But, believe me. You look beautiful even I haven't seen you yet today. You will always look beautiful no matter what the circumstance is.

Kayla, we both know what had happened in the past. I never consider it as a mistake. Instead, I took it as a lesson; for me and for you. Look where we are now. We grow because of it and we realized that we actually need each other to create happiness. Without you, I'm not complete. And now that I found you, I feel as whole. It’s the feeling that I've never felt towards anyone else before. You turned my world upside down and I think my heart beats only for you.

Kayla, I made promises to myself. From the second you walk down the aisle, I promise you that we would never look back in the past, we look up to the future. I promise you that I will love you endlessly even your hair starts to turn gray. I promise you that your happiness will always come first. I can only promise you that, I hope those promises would be enough.

What you did in the past is your history. Your future will be my responsibility.

Sincerely, your husband-soon-to-be

xoxo

P.S: I really can’t wait to change your last name :)
_________________________________________________________________________________

“Kay, apaan isinya? Jangan nangis dong. Kamu bikin aku takut deh.”

Aku menggeleng.

“Ini tangis bahagia, Nora. Nanti kamu bakal ngerti. Now, will you let me get married?”

***


Langit Bali pukul 5 terlihat bersahabat. Dekorasi yang sudah disiapkan di pinggir pantai menambah kesan romantis. Kursi-kursi kayu berbantal putih memberikan kenyamanan tersendiri bagi para tamu. Desir ombak tidak pernah kehilangan suaranya, terlihat berlari-lari menggapai ombak di depannya. Hari ini jauh melebihi ekspektasiku tentang sebuah pernikahan impian.

Aku tidak menyangka akan merasa terharu seperti ini saat berdiri di depan altar bersama Eric, pria yang aku cintai, pria yang aku kira akan meninggalkan aku, pria yang masih mampu memberi maaf atas kesalahan terbesar yang pernah aku lakukan. Namun sekarang, kami berdua sama-sama menggenggam tangan masing-masing, menikmati momen sakral pernikahan kami.

Kami bertukar sepasang cincin, emas kecil yang saat ini melingkar di jari manis tangan kanan kami berdua. Lalu pendeta mulai mengucapkan janji-janji pernikahan seperti yang biasa terdengar di aula altar gereja. Bergantian, aku dan Eric menyahutinya dengan “aku bersedia”. Senyuman kebahagiaan terasa melekat dan tidak mau pergi dari wajah kami.

“You look beautiful,” ucap Eric perlahan di sela-sela pendeta berbicara.

“Thank you,” sahutku malu-malu layaknya anak perempuan yang baru bertemu teman lawan jenisnya.

“Dan sekarang saya sahkan kalian berdua sebagai sepasang suami istri.”

Semua orang bersorak sambil bertepuk tangan. Aku bisa mendengar seruan dan eluan mereka yang turut berbahagia bersama kami. Aku masih menatap ke arah mata pria itu, sepasang mata sayu nan sendu dengan bulu mata lentik bertengger di atasanya. Sepasang mata yang selalu mampu membuatku jatuh cinta setiap harinya.

Eric benar. Kebahagiaan itu milik kami berdua. Jika satu saja rasanya tidak akan lengkap, maka berdua terasa penuh. Dan kalau menjadi bahagia saja sesederhana bersama dengannya, aku berjanji tidak akan menukarnya dengan yang lain.


April 14, 2014

Tentang Perpisahan dan Sebuah Labirin tanpa Cahaya



Saya selalu merasa takut dengan kematian. Lucu ya? Tidak, saya tidak menganggapnya lucu. Saya malah merasa aneh karena masih berkutat dengan pemikiran seperti itu. Kolot. Entah mengapa kita harus merasa takut dengan kematian itu sendiri padahal semenjak kita lahir ke dunia ini, kita sebenarnya sudah menerima konsekuensi dasar, bahwa kita nantinya juga akan mati. Jadi, sebenarnya apa yang harus ditakutkan?

Well, mungkin bukan kematian yang saya takutkan sebenarnya. Mungkin lebih kepada perpisahan itu sendiri. Ya, saya selalu merasa sedih ketika harus berpisah dan mengalami sendiri sebuah perpisahan. Entah dengan apa atau siapa. Rasanya selalu ada bagian kosong yang menganga beberapa detik setelah perpisahan itu terjadi. Karena itu saya benci ucapan "Selamat Tinggal" atau "Selamat Jalan". Perpisahan itu sudah begitu memilukan, tidak bisakah kita berucap "Sampai Kita Berjumpa Lagi"?

Beberapa hari yang lalu, saya mendapat kabar yang mengejutkan. Guru agama saya waktu di SMA meninggal dunia. Saya kaget ketika menerima kabar itu. Setengah tidak percaya. Saya pikir kuasa dan mukjizat Tuhan dapat menjamah beliau. Namun, mungkin Tuhan berkehendak lain. Iya, manusia hanya bisa berencana namun Tuhan yang mempunyai kehendak.

Saya membacanya dari salah satu status Facebook adik kelas saya waktu di SMA. Untuk 10 menit ke depan, saya tidak merasakan apa-apa. Saya tidak tahu harus bereaksi apa. Apakah saya harus menangis saat itu juga untuk menghormati kepergian beliau? Atau saya sesungguhnya harus bersukacita karena akhirnya beliau tidak merasakan sakit lagi dan malah bersama Tuhan di surga? Saya bingung.

15 menit kemudian, tanpa keputusan dan musyawarah antara otak dan kelenjar air mata saya, akhirnya saya meneteskan sebutir air mata. Saya tiba-tiba merasa terharu, sedih. Bukan perasaan terpaksa untuk menangis. Saya sedih ketika mengenang beliau. Saya sedih perpisahan itu harus terjadi.

Saya kembali mengingat masa-masa SMA dimana setiap pelajaran agama kami dilaksanakan setiap hari Jumat ketika teman-teman yang lain mengadakan sholat Jumat. Kami memilih ruangan kelas yang terpencil dan disanalah kami memulai ritual kami. Berdoa sebelum pelajaran dimulai, mendengarkan Firman Tuhan, menyimak beliau yang dengan semangatnya mewartakan kabar baik bagi kami. Selain seorang guru agama di salah satu SMA Negeri tempat saya belajar, beliau juga seorang Pendeta. Jadi, untuk berkhotbah tentunya bukan hal yang sulit bagi beliau.

Beliau orang yang menyenangkan. Untuk orang seumurannya, dapat bergaul dan berbaur dengan anak-anak SMA ingusan seperti kami tentunya tidak semua orang mampu melakukannya. Saat-saat dimana hormon kami masih dipenuhi dengan kelabilan dan idealisme yang tinggi yang selalu menganggap setiap pendapat yang kami utarakan benar adanya, beliau malah menjadi orang pertama yang selalu memberikan jalan keluar. Rasanya seperti berputar-putar di sebuah labirin raksasa sampai sebuah cahaya menuntunmu untuk menemukan titik akhir. Kurang lebih seperti itulah penggambaran saya tentang beliau.

Sejenak menoleh ke belakang, lalu sadar bahwa sebenarnya saya hidup di masa ini, detik ini juga. Saya merasa malu. Rasanya saya kembali terperangkap di dalam sebuah labirin raksasa. Namun, kali ini saya kehilangan cahaya itu. Gelap? Iya. Saya buta arah. Saya merasa kehilangan cahaya saya yang telah menuntun saya untuk berdekatan dengan Yang Kuasa selama kurang lebih 3 tahun. Saya tidak berlari di dalam labirin, saya memutuskan untuk mendekam di dalamnya. Karena saya takut saya salah ambil arah. Bagaimana nanti kalau arah yang saya ambil malah menjauhkan diri saya sendiri dengan titik akhir. Dimana saya akan berakhir?

Seketika, saya merenung. Kepergiannya yang tiba-tiba seakan-akan memberitahu seberapa jauh saya sekarang dengan titik akhir. Jauh. Amat sangat jauh sekali. Dan bebalnya saya dengan otak sebesar bakpau yang saya punya, saya malah memutuskan untuk berhenti. Saya tahu saya mengecewakannya. Saya tahu saya mengecewakan guru saya. Beliau pasti merasa amat malu muridnya tidak mampu keluar dari labirin yang dibuatnya sendiri.

Sekarang beliau sudah tiada. Cahaya itu sudah pergi. Tugasnya sudah selesai.

Benar kata beliau waktu itu. Ketika saatnya berkhotbah di hadapan kami di salah satu sudut kelas diteriknya siang. Katanya,"semua ada masanya. Tidak ada yang terlalu cepat, tidak ada yang terlalu terlambat. Tuhan menjadikan segala sesuatu indah pada waktunya."


Sampai kita berjumpa lagi, Pak Ary.