April 14, 2014
Tentang Perpisahan dan Sebuah Labirin tanpa Cahaya
Saya selalu merasa takut dengan kematian. Lucu ya? Tidak, saya tidak menganggapnya lucu. Saya malah merasa aneh karena masih berkutat dengan pemikiran seperti itu. Kolot. Entah mengapa kita harus merasa takut dengan kematian itu sendiri padahal semenjak kita lahir ke dunia ini, kita sebenarnya sudah menerima konsekuensi dasar, bahwa kita nantinya juga akan mati. Jadi, sebenarnya apa yang harus ditakutkan?
Well, mungkin bukan kematian yang saya takutkan sebenarnya. Mungkin lebih kepada perpisahan itu sendiri. Ya, saya selalu merasa sedih ketika harus berpisah dan mengalami sendiri sebuah perpisahan. Entah dengan apa atau siapa. Rasanya selalu ada bagian kosong yang menganga beberapa detik setelah perpisahan itu terjadi. Karena itu saya benci ucapan "Selamat Tinggal" atau "Selamat Jalan". Perpisahan itu sudah begitu memilukan, tidak bisakah kita berucap "Sampai Kita Berjumpa Lagi"?
Beberapa hari yang lalu, saya mendapat kabar yang mengejutkan. Guru agama saya waktu di SMA meninggal dunia. Saya kaget ketika menerima kabar itu. Setengah tidak percaya. Saya pikir kuasa dan mukjizat Tuhan dapat menjamah beliau. Namun, mungkin Tuhan berkehendak lain. Iya, manusia hanya bisa berencana namun Tuhan yang mempunyai kehendak.
Saya membacanya dari salah satu status Facebook adik kelas saya waktu di SMA. Untuk 10 menit ke depan, saya tidak merasakan apa-apa. Saya tidak tahu harus bereaksi apa. Apakah saya harus menangis saat itu juga untuk menghormati kepergian beliau? Atau saya sesungguhnya harus bersukacita karena akhirnya beliau tidak merasakan sakit lagi dan malah bersama Tuhan di surga? Saya bingung.
15 menit kemudian, tanpa keputusan dan musyawarah antara otak dan kelenjar air mata saya, akhirnya saya meneteskan sebutir air mata. Saya tiba-tiba merasa terharu, sedih. Bukan perasaan terpaksa untuk menangis. Saya sedih ketika mengenang beliau. Saya sedih perpisahan itu harus terjadi.
Saya kembali mengingat masa-masa SMA dimana setiap pelajaran agama kami dilaksanakan setiap hari Jumat ketika teman-teman yang lain mengadakan sholat Jumat. Kami memilih ruangan kelas yang terpencil dan disanalah kami memulai ritual kami. Berdoa sebelum pelajaran dimulai, mendengarkan Firman Tuhan, menyimak beliau yang dengan semangatnya mewartakan kabar baik bagi kami. Selain seorang guru agama di salah satu SMA Negeri tempat saya belajar, beliau juga seorang Pendeta. Jadi, untuk berkhotbah tentunya bukan hal yang sulit bagi beliau.
Beliau orang yang menyenangkan. Untuk orang seumurannya, dapat bergaul dan berbaur dengan anak-anak SMA ingusan seperti kami tentunya tidak semua orang mampu melakukannya. Saat-saat dimana hormon kami masih dipenuhi dengan kelabilan dan idealisme yang tinggi yang selalu menganggap setiap pendapat yang kami utarakan benar adanya, beliau malah menjadi orang pertama yang selalu memberikan jalan keluar. Rasanya seperti berputar-putar di sebuah labirin raksasa sampai sebuah cahaya menuntunmu untuk menemukan titik akhir. Kurang lebih seperti itulah penggambaran saya tentang beliau.
Sejenak menoleh ke belakang, lalu sadar bahwa sebenarnya saya hidup di masa ini, detik ini juga. Saya merasa malu. Rasanya saya kembali terperangkap di dalam sebuah labirin raksasa. Namun, kali ini saya kehilangan cahaya itu. Gelap? Iya. Saya buta arah. Saya merasa kehilangan cahaya saya yang telah menuntun saya untuk berdekatan dengan Yang Kuasa selama kurang lebih 3 tahun. Saya tidak berlari di dalam labirin, saya memutuskan untuk mendekam di dalamnya. Karena saya takut saya salah ambil arah. Bagaimana nanti kalau arah yang saya ambil malah menjauhkan diri saya sendiri dengan titik akhir. Dimana saya akan berakhir?
Seketika, saya merenung. Kepergiannya yang tiba-tiba seakan-akan memberitahu seberapa jauh saya sekarang dengan titik akhir. Jauh. Amat sangat jauh sekali. Dan bebalnya saya dengan otak sebesar bakpau yang saya punya, saya malah memutuskan untuk berhenti. Saya tahu saya mengecewakannya. Saya tahu saya mengecewakan guru saya. Beliau pasti merasa amat malu muridnya tidak mampu keluar dari labirin yang dibuatnya sendiri.
Sekarang beliau sudah tiada. Cahaya itu sudah pergi. Tugasnya sudah selesai.
Benar kata beliau waktu itu. Ketika saatnya berkhotbah di hadapan kami di salah satu sudut kelas diteriknya siang. Katanya,"semua ada masanya. Tidak ada yang terlalu cepat, tidak ada yang terlalu terlambat. Tuhan menjadikan segala sesuatu indah pada waktunya."
Sampai kita berjumpa lagi, Pak Ary.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment