December 25, 2014

Selamat Natal, Jiwa yang Hilang. Lekaslah Pulang..





Selamat Natal.”

“Aku ingin salju.”

“…”

Iya. Kau tak salah dengar. Aku ingin salju.”

“Dan aku harap kau tak sedang berkhayal. Kita hidup di bagian bumi paling tropis dan  kau 
mengharap salju turun.”

Salah?”

“Itu mustahil.”

Ku dengar tidak ada yang mustahil.”

“…ya tapi ini berbeda.”

“Apa yang berbeda?”

Caramu meminta. Tidak seklise itu.”

“Jadi jika ingin meminta kepada-Nya harus melalui beberapa syarat dan ketentuan yang berlaku? Birokrasi penuh?”

Bukan birokrasi yang penuh, tapi iman.”

“Kalau imanku penuh, maka salju akan segera turun?”

“Dari mana kau tahu kalau imanmu sudah penuh?”

“Aku tahu saja. Berharap dan berdoa. Cukup kan?”

Tidak.”

Lalu?”

Iman.”

“Aku sudah punya iman.”

“Kau harus punya iman sebesar biji sesawi dulu baru kau bisa memindahkan gunung.”

“Aku punya iman lebih besar. Seluas lautan… oh tidak, seluas samudera.”

“Kalau begitu, seharusnya salju sudah turun sedari tadi bukan?”

“Omong kosong.”

Selamat Natal. Semoga lekas pulang.”

Siapa?”

Jiwamu yang hilang.”

December 15, 2014

Cobalah untuk Tidak Terlalu Peduli

Belakangan ini saya sempat dibuat lara dengan beberapa postingan di media sosial tertentu yang mengangkat tentang masalah agama, fanatisme, dan keyakinan. Maafkan sebelumnya, namun mungkin tidak seharusnya saya ikut turut campur dengan apa yang mau teman-teman saya lakukan tentang apa yang mau dilakukannya di media sosial miliknya, apa yang mau disukainya atau apa yang mau dibagikannya kepada teman-temannya yang lain.

Namun, keyakinan itu masalah yang sensitif.

Kita tidak pernah tahu akan ada berapa orang yang tersakiti hanya karena beberapa postingan yang terlalu menyudutkan atau tidak terbukti kebenarannya.

Saya tahu, mungkin saya tidak layak berbicara seperti ini, namun bagi saya pribadi, hal seperti ini tidak perlu diperbincangkan di hadapan publik. Agama, bagi saya, adalah sebuah privasi; sebuah persoalan personal antara seorang umat dengan Tuhannya. Apalagi jika membandingkan keyakinan dan beradu siapa yang lebih benar. Pada akhirnya, semua akan buang-buang waktu saja.

Karena ketika kita membicarakan keyakinan, hal itu lebih seperti menarik 2 garis sejajar yang tidak akan pernah bertemu. Jadi, mau diskusi sampai pagi ataupun 1000 tahun lagi, saya rasa kita semua akan tetap berpegang teguh pada apa yang akhirnya kita percayai.

Saya percaya atas apa yang saya percayai begitu pula saya juga menghormati atas apa yang mau anda percayai. Karena sebuah kepercayaan dan sebuah keyakinan sebenarnya adalah urusan hati dan spiritual yang seharusnya lepas dari campur tangan orang lain.

Maka, cobalah untuk tidak terlalu peduli.

December 10, 2014

Dari Perempuanmu

Lelakiku,

Aku sudah lama mempersilakanmu masuk lewat pintu utama yang sudah sekian lama kuncinya selalu aku genggam sendiri. Membiarkanmu duduk di tempat yang kau mau dan merelakan dinding rumahku kau hiasi dengan beribu corak dan pola. Memberimu hak mengatur lukisan di dinding bahkan menjadikanmu tuan yang singgah dalam peraduan.

Sayang, mencintaimu tak semudah mengartikan puisi Gibran, wahai lelakiku. Aku membiarkanmu merobek separuh hati yang aku berikan begitu saja. Lalu kau meremukkan dan menjatuhkannya tanpa ampun sekalipun aku berteriak memintamu untuk berhenti, dan menengok.

Tengoklah rasa sakit yang aku pendam dalam sunyi.
Tengok air mata yang aku biarkan jatuh dalam pelukan gravitasi bumi.
Tengok aku yang berdiri mematung di depan pintu yang kita huni, yang entah kapan kau pergi untuk kembali disini.

Aku mencintaimu lebih awal bahkan sebelum embun tahu daun mana yang akan menjadi tempatnya menghabiskan pagi. 
Aku mencintaimu lebih awal dibanding ikan-ikan yang berlomba berenang untuk menjadi yang pertama sampai ke hilir. 
Aku mencintaimu lebih awal daripada bulan yang terlambat mengutarakan perasaannya pada lautan. 
Aku mencintaimu lebih awal bahkan sebelum Ia datang dan memelukmu dalam  mendung dan bimbang.

Lelakiku, 

mungkin aku terlalu mencintaimu sampai-sampai aku mati rasa pada nyeri dacemburu,
mungkin aku terlalu mencintaimu sampai-sampai merelakan nona kecilmu memanggilmu tuan dan membiarkan kalian bertemu dalam dinginnya malam,
mungkin aku terlalu mencintaimu karena aku masih ingin mendambamu lebih lama lagi, sekalipun kau juga masih ingin mendambanya sekali lagi.

Dari yang masih mencintamu,

Perempuanmu.



P.S. Inspired from : I'm not the Only One

December 9, 2014

Penjaga Logika



masih senja yang sama di bulan Desember yang basah
masih dengan daun yang dengan tulus menampung air hujan
dan masih dengan katak yang menari di atas riak dan gelombang
masih ada aku dengan imajiku menunggu yang tak kunjung datang

masih dengan payung kuning yang membuatku teduh
masih berdiri dan menanti hingga jenuh
dan masih dengan sebentuk hati yang dibiarkan utuh tak tersentuh
masih aku yang sama sampai nanti hari ketujuh

masih percaya dengan waktu yang tak pernah terlambat
masih sekalipun hujan jatuh di atas selokan yang tersumbat
dan masih dengan beban di pundak yang semakin berat
masih aku yang yakin sang penjaga logika semakin dekat

September 2, 2014

Ketika Bulan Mengecup Lautan



Bulan gundah, Ia sedang merindu. Namun, dipendamnya rindunya itu erat sepert seorang anak kecil yang menggenggam jemari tangan ibunya karena takut tersesat. Bulan tak ingin rindunya jatuh dan terberai. Ia juga tak ingin menguliti rindunya selembar demi selembar. Ia ingin rindunya utuh, tak berkurang massa dan beratnya namun bilapun bilangan massa dan berat dari rindunya bertambah itupun tak mengapa. Bukan sesuatu yang harus dirisaukan. Namun untuk saat ini bulan gundah. Ia sedang merindu.

Ialah lautan, sang penambah beban pada rindu sang bulan. Selalu diperhatikannya lautan  pada tiap gelap yang  menyelimuti angkasa dari tempatnya berada. Bulan mengagumi lautan dalam hening. Hampir tak pernah ada tegur sapa dari sang bulan kepada pujaannya. Karena itu, rindu yang dikantonginya dalam pundi-pundi semesta berubah dan menjelma menjadi rasi-rasi bintang. Harapnya, semoga lautan tahu bahwa tiap konstelasi bintang dari sudut utara sampai selatan, baik yang menyerupa penunjuk arah maupun deretan gugusan zodiak, mampu mencuri hati Ia yang menjadi tempat bernaung dewa Neptunus.

Bulan gundah karena Ia sedang merindu. Ia ingin menciptakan sebuah kisah bagi dirinya dan lautan yang dipujanya dalam diam. Sudah ratusan kisah Ia dengar dari bibir manusia tentang cerita cinta alam dan semesta. Pernah Ia menguping dongeng seorang ayah kepada anak perempuannya tentang matahari yang terlalu jatuh hati pada bulan sehingga ia rela mati di tiap senja datang agar bulan dapat menghela napas kehidupannya yang pertama. Atau cerita bualan tentang lautan yang tetap mencintai garis pantai, sampai-sampai lautan tak pernah berhenti surut hanya untuk dapat mengecup garis pantai yang selalu menolaknya agar menjauh. Namun tak pernah satupun Ia dengar sebuah kisah tentang dirinya dan lautan. Maka dari itu, Ia ingin menciptakan sebuah kisah. Ia tak terlalu pedulikan gunjingan ataupun sebuah cerita penghantar tidur seperti apa yang akan manusia-manusia itu perbincangkan di bawah sana tentangnya dan pujaannya.

Bulan tak punya kalender, Ia bahkan lupa menghitung. Bulan hanya terus berotasi pada porosnya sembari beredar mengelilingi bumi dan bersama bumi beredar mengelilingi matahari. Entah tanggal berapa hari ini, namun Ia merasa wujudnya nampak sempurna bila dilihat dari bumi. Bulan nampak besar dan megah, Ia terlihat begitu dekat. Sedekat itupula dirinya dengan lautan yang dipujanya.

Sayangnya, dalam sekejap Ia merasa ragu. Ada berjuta alasan tersembunyi mengapa dirinya dan lautan tak pernah menjadi sebuah cerita penghantar tidur, dan kini Ia mengetahuinya. Sedekat apapun kedudukan bulan terhadap lautan, mereka berdua begitu jauh satu dengan yang lainnya. Seperti halnya 2 garis asymptote yang tak peduli seberapapun dekatnya, tidak akan bisa bertemu. Bulan kembali gundah, karena rindunya sudah terasa begitu berat. Sudah berpuluh-puluh rasi bintang di langit malam Ia ciptakan pada setiap rindu yang tak terbalas. Kini, ketika waktu mempertemukan mereka begitu dekat, bulan kehilangan keyakinannya. Mungkin nanti, 29,5 hari lagi Ia akan kembali tampak besar dan megah. Namun untuk kali ini, biarlah Ia mengurungkan niatnya untuk menyapa sang lautan.

Dibiarkannya tubuhnya perlahan mulai terbenam di garis batas lautan. Ia tenggelam dengan beban rindu yang masih Ia panggul. Berat, membuatnya tenggelam lebih cepat. Namun, Ia tidak muncul 29,5 hari sekali dengan wujud yang besar dan megah lalu semua kesempatan itu terbuang sia-sia begitu saja, pikirnya. Bulan bergegas, nalarnya sudah mati. Tak dihiraukannya seruan ikan-ikan kecil dari dasar laut yang melarangnya untuk menyentuh lautan. Ia mendekat ke arah aroma air laut lalu dalam sekejap ditandaskannya wujudnya pada horizon di gelap malam. Tak disangka, lautan pun membalasnya, tak menolaknya sedikitpun. Deburan ombak yang keras seolah menyoraki semesta yang mengizinkan mereka berdua untuk saling mengecup. Yang bulan tak ketahui adalah ketika rasi-rasi bintang yang menghiasi langit malam itu tiba-tiba menghilang. Satu demi satu. Ia sadari kali ini hanya dirinya yang bersandar pada tiang malam yang kelam. Sendirian.

"88 rasi bintang. Aku menghitungnya. Terimakasih."

Belum sempat bulan membalas ucapan terimakasih sang lautan, matahari menyuruhnya untuk berganti. Tenggelamlah Ia pada peluk pujaannya yang telah Ia tukar dengan rindu di pundaknya. Matahari sudah tak sabar memberi tahu manusia bahwa pagi sudah menunggu di ufuk timur.

Bulan pergi tanpa pamit. Namun Ia berjanji untuk kembali lagi dengan wujudnya yang besar dan megah untuk lautan. Kini, terciptalah sudah sebuah kisah bagi bulan dan lautan. Sebuah kisah tentang bulan yang merindukan peluk lautan sehingga dibiarkannya rindunya melayang di langit malam membentuk konstelasi bintang beraneka ragam. Sebuah kisah yang dibiarkan mengambang pada kelamnya malam, yang diceritakan diam-diam. Sebuah kisah tentang ketika bulan mengecup lautan.

August 27, 2014

Tentang sebuah Pintu



Aku percaya kalian pernah membukakan pintu. Entah pintu dari kayu, pintu besi atau pintu tua yang berderit apabila daunnya dibuka terlalu lebar. Pintu manapun yang pernah kalian buka, tujuannya hanya satu; mempersilakan si pengetuk untuk masuk.
Lucunya, sebagai si pembuka pintu, tentunya kita tidak punya hak untuk memilih siapa yang sekiranya akan mengetuk pintu. Kita hanya diberikan satu kesempatan, apakah kita akan mempersilakan si pengetuk untuk masuk atau hanya akan membiarkannya terantuk kedinginan lalu pergi. Mungkin membiarkannya berkelana, mencari pintu yang memberinya kesempatan untuk sekedar tinggal dan berteduh.
Saat seseorang mengetuk pintu kita, kita selalu punya kesempatan itu. Karena itu, bentuk pintu yang kita kehendaki pun berbeda-beda. Ada yang memasang kunci pengaman dobel, ada pula yang menginginkan lubang pengintip, namun tak jarang pula satu kunci sudah cukup untuk memberikan rasa aman.
Pintu itu pertahanan pertama kita. Sebelum si pengetuk menggedor pintu dan sebelum kita memilih untuk mempersilakannya masuk, kita memastikan dengan sangat apakah si pengetuk itu memang layak untuk masuk ke dalam rumah kita. Nyatanya, ini bukan masalah siapa yang layak; kita yang membukakan pintu atau pengetuk yang menggedor pintu berharap kita memberinya kesempatan. Namun ini masalah apakah rumah yang kita persilakan sudah layak untuk dijadikan sebuah tempat untuk bertamu?

Aku tidak memintamu untuk segera membukakan pintu kepada siapapun pengetuk yang menumpukan jari-jarinya diatas daun pintumu, tidak.
Aku memintamu untuk menyiapkan rumahmu serapi dan seindah yang kau inginkan. Mungkin kau ingin menambahkan lukisan bergambar perempuan Bali di tengah ruangan atau sekedar vas kaca berhiaskan bunga chrysanthemum dan membiarkan aroma mawar dari pengharum ruanganmu menyemarakkan ruang tamu milikmu. Rumah itu milikmu.
Dan bila suatu hari nanti datang seorang pengetuk yang ingin singgah dan kau memberinya kesempatan untuk tinggal dan berteduh di dalam, pastikan pintumu terbuka cukup lebar untuk mempersilakannya masuk, namun tidak terlalu lebar untuk membiarkannya berlalu.

Selamat membukakan pintu.

August 13, 2014

Kalau Saja..



Kalau saja permohonan dikabulkan semudah balon melambung ke angkasa,
aku akan berlari secepat kilat ke penjual balon, memintanya untuk memberiku kepunyaannya yang terbaik.

Kalau saja permohonan dikabulkan semudah balon melambung ke angkasa,
aku berharap semoga Commulus, Stratus dan Cirrus bersepakat dengan matahari untuk tidak memperlambatnya.

Kalau saja permohonan dikabulkan semudah balon melambung ke angkasa,
aku ingin heliumku tidak habis massanya sebelum ia sampai ke tangga ketujuh.

Kalau saja permohonan dikabulkan semudah balon melambung ke angkasa,
aku menyilangkan jari agar ia tidak pecah di negeri antah berantah.

Kalau saja permohonan dikabulkan semudah balon melambung ke angkasa,
semesta mungkin akan bersorak karena warna langit tak lagi hanya biru.

Kalau saja permohonan dikabulkan semudah balon melambung ke angkasa,
mungkin aku akan memohon agar kamu...

Ah, sudahlah.

August 4, 2014

What is Your Deepest Dream?

"What is your deepest dream?"

"You mean.. dream dream?"

"Yeah, something that you really wanted to happen in your life. Something that needed to be done before you die. Something that... define who you are. What is it?"

"Uhm... That's a tough question... Uhm.. Let me think.."

"Okay, take your time."

"Alright, there are so many things I really want to do before I die, obviously..."

"Just one."

"What? I have a lot of things going on through my mind right now. I don't get enough with just one.."

"Just one. Thank you."

(glared) "Ugh! Fine. I want to... travel around the world before I die. England, Greece, Russia..."

"Russia is at war. You don't want to get yourself killed."

"It should be done 5 years from now. No one like to be at war for a long time."

"Yeah right. Say that to the World War II's soldiers. It occured for 6 years. From 1 September 1939 to 2 September 1945. Stalin, Hitler, Mussolini. They really made a good story back then."

"Good story, my ass! What's wrong with you. Many innocent people killed just to prove what? Victory? Land? You forgot about The Holocaust?"

"Woo, okay. Easy there, tiger. I said it made a good story but not a good history. See? Calm down. It's not like I approved what they did back then."

"But, still. You're a psycho."

(smirked) "Correction. Your psycho."

(hit his left arm) "Stop it. You sound so cheesy."

"You haven't answered my question."

"I have. Travelling around the world. That's my dream."

"No. That's everybody's dream. I asked about your deepest dream. Go on. I'll let you think."

"Why couldn't you just agree with everything I said?" (continue thinking)

"I agree.. to disagree with you."

(ignoring his utterances) "I want to... make a book. No! Not just a book, but a bestseller book. That's my deepest dream."

"Interesting. Why?"

"Because I want people to read what's on my mind."

"You expect them to be your mind-reader?"

"No. Not like that. It's more like I feel 'readable' when I'm writing something. You know what I mean? I mean, talking is not my specialty. I got nervous and sometimes when it goes worse, I sttutered. And, still.. people don't get what I said. Isn't it ironic? I want people to know what I meant but I couldn't do the talking."

"Yeah. It's just sad."

"Yeah.. I know right?" (exhaled)

"So just that? That's why you want to write a bestseller book? Just so people can 'read' you?

"Nope. I want them to criticize me too."

"It's a bestseller book, you said. Why would people want to criticize a bestseller book?"

"It's a bestseller book, but not a perfect book. I would like to read their review about my book. They can put it on the blog or Facebook, maybe Twitter. I want to know how it feels to have something and change people's lives. By writing a book, I guess?

"Like J.K Rowling and her Harry Potter series? Mitch Albom and his melancholy stories series?"

"Yap. Just like that. But it's not easy, I know. I'm not a good writer. Sometimes I got stuck and stop writing. I hate that when it happens. You know, it feels like you have million words inside your head but you can't let it out. The words inside my head are my demons, so if I coudn't let them out, they will start to do some evil things."

"Do they eat your brain?"

"Ha ha funny."

"It's never easy."

"What? Your joke?"

"To have dream and make it happen, it's never easy."

"Yeah, I know. It doesn't even take a 'genius' like you to tell me that thing."

(laughed) "You don't have to be so sarcastic. But I like your dream. You always surprised me. I like that." (smiled)

"Yeah, I like me too." (smiled)

(stroked her hair) "Don't give up, okay? I always believe that you're gonna be a great writer someday."

"Aw, that's sweet. Thank you."

"Thank you to you too."

"What? I didn't do anything."

"Before you told me about your deepest dream, I haven't know what mine is yet."

"You didn't know your deepest dream?"

"But now I know. Thanks to you." (smiled)

"So, what is your deepest dream?"

(thinking) "..to be your first reader and your biggest fan."




Sometimes we just need someone to talk to late at night.
Talking about the most random and the silliest things.
Someone who can make you still awake until 3 in the morning.



July 25, 2014

Tentang Semesta dan Doa



Jika semua doa kita dikabulkan Tuhan,
apakah kita sudah siap?

Saya belum.
Iseng-iseng saya menanyakannya kepada teman-teman saya, mereka menjawabnya dengan nada lantang. Siap, kata mereka tanpa ragu-ragu.
Lalu mengapa tinggal saya sendiri yang masih ragu untuk membiarkan Tuhan mengabulkan doa saya?
Bukannya, setiap saya berdoa, selalu ada sejumput harapan agar doa saya dikabulkan olehNya?
Jadi, apa yang sebenarnya membuat saya belum siap untuk menerima segala sesuatu yang dikabulkan oleh Tuhan yang notabenenya adalah permintaan-permintaan saya?

Jadi begini, mungkin kira-kira alasannya seperti ini...

I always believe that everything that had happened, that is happening and the one that is going to happen are not just a coincidence. Saya tidak pernah percaya kebetulan.

Semesta punya jam waktunya sendiri untuk memunculkan setiap peristiwa demi peristiwa, dan herannya, entah bagaimana caranya, 1 kejadian kecil yang terjadi akan berdampak pada kejadian yang lain. Semacam efek domino, kurang lebih seperti itu saya menyebutnya. Saat peristiwa A berdampak pada peristiwa B yang mana menyebabkan peristiwa C terjadi.

Beda dengan Edward Lorenz yang menyebutkan tentang The Butterfly Effect. Dimana di dalam chaos theory, disebutkan jika Lorenz percaya sebuah kepakan sayap kupu-kupu di hutan belantara Brazil dapat berakibat tornado di belahan dunia lainnya.

Mengerikan? Tidak, itu menakjubkan.

Tentang bagaimana sebuah peristiwa kecil yang sedang terjadi saat ini akan berdampak pada peristiwa besar di kemudian hari.

Mungkin karena itu saya menjawab kalau saya belum siap.
Saya belum siap jika semua permohonan saya dikabulkan, karena itu akan merusak segala rencana tatanan semesta yang ada. Tidak hanya pada saya, namun bisa jadi pada orang yang bahkan tidak saya kenal.

Dan lagipula, bukankah lebih menyenangkan seperti ini? Menerka-nerka kapan sesuatu yang kita harapkan akan terjadi serta menebak-nebak apakah permohonan kita akan dikabulkan atau tidak.
Semesta itu seperti teka-teki yang menuntut untuk dipecahkan. Namun semakin kita berusaha memecahkan teka-tekinya, semakin kita malah terbawa ke dalam permainannya yang membingungkan.

Lalu, apakah itu berarti saya berhenti berdoa dan menunggu semesta untuk memunculkan peristiwa-peristiwanya yang absurd begitu saja?

Tentu saja tidak.

Karena berdoa tidak seklise itu.
Karena berdoa tidak seperti rangkaian panjang susunan domino yang ketika satu batangnya dijatuhkan, maka yang belakangnya ikut runtuh.

Karena berdoa lebih dari sekedar menunggu sebuah permohonan untuk dikabulkan.
Karena berdoa membuat saya mampu mendengar suara-suara semesta dari dalam.

July 14, 2014

Did it Hurt?

"Did it hurt?"

I heard someone asked. Her voice chirped as a morning sound. I did not find the agony or misery within. She asked me like she wanted to know how it feels to be hurt.

"Did it hurt?"

She asked me once again. This time, her voice echoed inside my head. The curiosity trapped in the rhythm that mumble in the air. She sounded desperate.

"Did it hurt?"

I looked up to where the voice came. I wiped the tears that roll down on my cheeks, rubbed my eyelids that got tired pushing the water to fall. My eyes turned red, and so did my nose. No doubt, I think I beat Rudolph's on Christmas.

"No, it doesn't hurt. I'm okay."

She took a minute to digest what I had said. She looked confused as she narrowed both of her eyes, thinking.

But then she whispered softly as soft as the snowflakes in winter.

"You know everything is gonna be okay in the end. It always will be."

...then she took off. Leave me with a few footprints inside my brain and a question that I had answered before.

"Did it hurt?"

I hoped she would get back and ask me one more time because I think I gave her the wrong answer...

June 15, 2014

Yours Truly

June 15th, 2014.

Dear Papa,

   Sudah hampir seperempat abad usiaku mengenalmu, seorang pria paruh baya yang tak pernah gentar menerjang waktu. Aku mungkin bukan seseorang yang penuh perhatian, namun aku senang mempedulikan hal-hal kecil. Seperti rambutmu yang mulai memutih dan dahimu yang penuh kerutan. Waktu membuatmu nampak tua, namun di mataku kau tak ubahnya seorang lelaki yang akan selalu membuat perempuan kecilnya jatuh hati. Iya, kurang lebih seperti itu Pa. Kau berhasil membuatku jatuh hati sedari pertama aku bertemu dunia.

   Aku masih ingat waktu usiaku masih 3. Aku gemar mencabik helai demi helai rambut di kepalamu. Kau hanya menyeringai seraya menahan sakit. Maaf Pa, aku tidak bisa menutupi kegiranganku saat kau biarkan aku duduk di atas pundakmu. Semua yang kulihat dari atas pundakmu nampak berbeda. Mainan-mainanku terlihat lebih kecil dari biasanya. Menyenangkan sekali menjadi tinggi dan besar dalam sekejap. Aku sampai bisa melihat koleksi bukumu di lemari kaca paling atas. Walaupun aku tak tahu pasti yang mana buku favoritmu, aku tahu kau seorang yang gemar membaca. Lagipula, berada di ketinggian seperti itu tidak serta merta membuatku takut. Karena aku juga tahu, kau tidak akan membiarkanku jatuh.

   Ada masa dimana memasuki tahun ke 6 usiaku. Kau begitu sering mengajakku berkendara kemana saja di akhir minggu. Untuk sekedar berjalan di taman atau menuruti rengekanku untuk membeli permen kapas. Sebelum akhirnya kau memutuskan untuk pulang karena hari beranjak gelap, kau biarkan aku duduk di pangkuanmu, di belakang kemudi. Memperbolehkanku memutar setir ke kiri dan kanan. Lihat Pa, ini sungguh menyenangkan! Bak pembalap profesional aku berkonsentrasi penuh dengan apa yang ada didepanku, seolah aku tidak akan membiarkan seorangpun mendahuluiku. Seketika ruangan sempit beroda 4 itu hanya menggaungkan gelak tawa kita yang beradu. Aku tahu Pa, tidak peduli seberapa banyak permen kapas yang kita beli ataupun seberapa jauh taman yang kita datangi, kau akan selalu membawaku pulang.

   Usiaku 7 dan teman-temanku saling memamerkan sepeda barunya. Mereka berkeliling dari satu gang ke gang berikutnya sembari membunyikan bel. Aku terpekur di sisi jendela sembari berandai menjadi seorang yang mahir bersepeda. Sayangnya, aku selalu menjadi seorang pesimis yang tidak pernah percaya kaki kecilku sanggup menjejak tanah ketika aku sudah duduk di atas sadelnya. Lalu di suatu sore, kau rela memberikan satu senja di hari Minggumu untuk menemani dan menyemangatiku. Padahal setumpuk kertas di atas meja kerjamu merajuk ingin diurus. "Papa percaya kamu bisa," katamu sembari menjulurkan tanganmu ke arahku. Aku tersenyum haru ketika kau menggandengku. Papa tahu? Kau akan selalu ada di urutan teratas di daftar orang yang percaya aku mampu melakukan apapun.

   10 tahun berlalu. 17 bukan angka favoritmu. Aku tidak lagi berwujud putri kecil yang gemar kau gamit tangan kanannya ataupun seorang perempuan mungil yang kau dudukkan di atas pundakmu. Jam malam kau terapkan. Tak jarang aku melanggarnya dan tak jarang pula aku melihatmu duduk tertidur di sofa. Yang aku lakukan hanya menjaga suara derap kakiku agar tidak membuatmu bangun karena aku sedang tidak ingin menjawab cercaan pertanyaan ketika kau tahu aku baru pulang. Maaf untuk setiap kekecewaan yang aku buat, Pa. Tapi aku tahu, kau akan selalu ada bagiku untuk menjauhkanku dari segala godaan.

   Sudah hampir seperempat abad usiaku mengenalmu, seorang pria paruh baya yang tak pernah gentar menerjang waktu. Kau tidak pernah berhenti membuatku jatuh hati padamu setiap harinya. Sayangnya, kerap kali aku membuatmu patah hati dan seringkali aku membuatmu kecewa. Maaf untuk setiap detik yang terbuang percuma ketika aku tanpa sengaja membuatmu terluka dan marah. Maaf pula untuk setiap pernyataan kasih sayang yang selalu tertunda. Kau mungkin tahu kalau aku bukan bagian dari kumpulannya yang pandai menyatakan perasaan. Yang mungkin kau tak tahu, aku selalu mengingat segala hal kecil yang kau lakukan bagiku. Karena aku percaya, kau tidak akan membuat anak perempuanmu patah hati.

   Banyak-banyaklah tertawa, Pa. Karena suara tawamu adalah alunan melodi favoritku yang pernah semesta izinkan untukku mendengarnya.

   Selamat Hari Ayah, Pa.

   Aku menyayangimu.


Yours truly,


Anak perempuanmu.

May 21, 2014

I don't Think I could Lose Anything Else

Barangkali playlist  saya sudah bosan memutar lagu yang sama selama hampir 3 hari ini. Kalau saja ia punya nyawa mungkin ia akan berpikir, “Gimme a break! This song? Again?” Dan selanjutnya, saya mungkin akan memberikan senyum masam saya untuknya. Kalau ditanya alasan, saya bisa saja menjawab, “Lagunya enak.”, “Sabar dikit lah. Minggu depan paling juga udah ganti lagu lagi.”  atau “Shut up.”

Bukankah kita semua juga seperti itu. Ada saat dimana kita memutar playlist tanpa peduli lagu apa yang sedang dimainkan dan membiarkan telinga kita menelan mentah-mentah setiap melodi yang didengungkan. Ada juga waktu dimana kita bermaksud untuk mendengarkan lagu namun jempol kanan tak urung berhenti menekan tombol forward, seolah otak dan telinga kita tidak dalam kata mufakat. Saya di posisi berikut; repeating the same song, over and over again. Been there, right?



It tells about a one-night stand love where the guy still wanted the girl to stay with him.

Nope, I’m not doing a one-night stand love if it’s that what you’re thinking. Sebagai pendengar, kita juga punya hak untuk menginterpretasikannya menurut asumsi kita sendiri bukan. Bagi saya, ini lebih tentang meminta seseorang untuk tetap tinggal. Memintanya untuk tidak meninggalkan kita karena ketika mereka beranjak, yang tertinggal bersama kita hanyalah kenangan dan mungkin segelintir rasa takut. Takut untuk berhadapan dengan kenyataan bahwa tanpa mereka, hari tidak akan pernah sama lagi. And how are you gonna cope with that?

Saya orang yang percaya bahwa kebahagiaan adalah sesuatu yang kita ciptakan sendiri. We create our own happiness. Kita sendiri yang mengizinkan perasaan kita untuk merasakan bahagia. Anehnya, di setiap perasaan bahagia itu datang, saya tak henti-hentinya berpikiran buruk. How much time do I have left to feel this? Karena sayangnya, saya juga orang yang percaya bahwa kebahagiaan itu tidak kekal. Cepat atau lambat semuanya kembali fana.

Meminta mereka untuk tetap tinggal dan tidak pergi adalah cara saya untuk tetap bahagia. Namun saya juga tahu, setiap orang mempunyai waktunya sendiri untuk bersama saya. Ada yang hanya beberapa bulan, dan mungkin ada yang sampai berpuluh-puluh tahun. Semakin lama orang tersebut bersama saya, semakin besar luka yang harus saya hadapi nantinya kalau-kalau waktu mereka bersama saya habis. Dan saya selalu mempersiapkan diri saya untuk itu. Walaupun kenyataannya, sesiap apapun saya, jika waktunya tiba saya tidak akan siap.

Some people struggle to let others in and they mistaken by the society as an introvert and a weirdo. But maybe they just can’t bear with the pain whenever those people walk away from their lives, it always leaves a big scar in their heart; something they need to cope with, not only for few days but for the rest of their lives.

I don't want you to leave, will you hold my hand?

May 10, 2014

I Want to Know What it's Like

Everything changes and I wasn't prepared for this.
I thought I could handle the pain because I've been here before, exactly on the same spot years ago.
Well, it didn't.
I still feel the agony and it stings even more.
I thought I have been prepared for this.
How to control the tears so it wouldn't stream down on my cheek, but it's hard.
How to set the brain so it would only think about the happy things ahead, but it's hard.
It's harder..
And now I just feel so small and what's happening now is beyond my power.
I'm powerless.

So, may I ask You?
When is the miracle happen?
Does it happen after I sent my prayers to You?
If it does, so be it.
I would like to see it.
I want to know what it's like.

April 25, 2014

Paper Hearts



Goodbye love, you flew right by love

Remember the way you made me feel
Such young love but
Something in me knew that it was real
Frozen in my head

Pictures I’m living through for now
Trying to remember all the good times
Our life was cutting through so loud
Memories are playing in my dull mind
I hate this part paper hearts
And I’ll hold a piece of yours
Don’t think I would just forget about it
Hoping that you won’t forget about it

Everything is gray under these skies
Wet mascara
Hiding every cloud under a smile
When there’s cameras
And I just can’t reach out to tell you
That I always wonder what you’re up to

Pictures I’m living through for now
Trying to remember all the good times
Our life was cutting through so loud
Memories are playing in my dull mind
I hate this part paper hearts
And I’ll hold a piece of yours
Don’t think I would just forget about it
Hoping that you won’t forget

I live through pictures as if I was right there by your side
But you’ll be good without me and if I could just give it some time
I’ll be alright

Goodbye love you flew right by love

Pictures I’m living through for now
Trying to remember all the good times
Our life was cutting through so loud
Memories are playing in my dull mind
I hate this part paper hearts
And I’ll hold a piece of yours
Don’t think I would just forget about it
Hoping that you won’t forget

April 15, 2014

The Dream Wedding

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered! 

“Love is our true destiny. We do not find the meaning of life by ourselves alone. We find it with another.”- Thomas Merton

Aku mematut diriku di depan cermin. Memperhatikan setiap riasan yang menempel di wajahku layaknya kanvas yang dilukis seorang masterpiece. Aku perhatikan setiap detailnya dengan teliti. Mulai dari bulu mata palsu yang bertengger di pinggir kelopak mataku, yang ukurannya cukup tebal sehingga untuk berkedip rasanya butuh usaha ekstra. Belum lagi perona pipiku. Warna peach ini rasanya terlalu pucat. Aku terlihat lebih seperti mayat hidup daripada seorang pengantin perempuan. Apa perlu aku tambahkan sedikit lagi supaya pipiku terlihat lebih cerah. Tapi bagaimana nanti kalau aku malah terlihat seperti badut yang mau pergi ke pesta ulangtahun?

“Tahan napas.”

Aku menahan napas, mengikuti perintah Nora yang berada di belakangku. Ia sedang berusaha menutup resleting gaun pengantinku. Oh, Tuhan. Semoga dietku selama 6 bulan kemarin memberikan hasil yang memuaskan.

“Duh, Kay. Kok nggak bisa ditutup sih. Kamu gendutan ya?”

Aku membelalakan mata. Panik.

“Relax, sweetheart. I’m just playing with your mind.” Nora terkikik geli sembari dengan mudahnya menutup resleting gaunku.

“Nora, nggak lucu,” gumamku kesal. “Ini bukan waktu yang tepat buat bercanda.”

Nora malah terpingkal melihatku kesal. Aku mengernyitkan dahi. Ada yang salah dengan saraf adik perempuanku satu-satunya ini. Di saat aku mengalami panic attack di hari pernikahanku, ia malah tidak hentinya bercanda dan tertawa.

“Nervous?”

“How could you be not nervous on your wedding day?”

Jelas sekali aku gugup. Ini pertama kalinya aku menikah dan pastinya aku berharap ini untuk yang terakhir, tentu saja. Karena ini semua serba pertama jadi mana aku tahu apa yang harus aku lakukan. Untung saja aku dan Eric sepakat menyewa Wedding Organizer untuk mengurus segalanya. Setidaknya aku menciptakan sendiri pernikahan impianku. Menikah di pinggir pantai sambil disaksikan beberapa pasang mata orang-orang terdekat. Thanks God, The Bay has it all.


Berawal dari melihat foto promo The Bay di Facebook page, aku sontak berteriak kegirangan dalam hati. Memasang “Make it Happen” sebagai taglinenya seolah memberikan aku kesempatan untuk mewujudkan pernikahan impianku di tepi pantai.

Menurutku, pernikahan itu hal paling romantis. Ketika dua orang anak manusia bersepakat bersama sampai maut memisahkan, well, tidak ada hal lain yang lebih sakral dari itu bukan? Diiringi deburan ombak sebagai latar belakang musiknya dan aroma air laut yang selalu mempunyai kekhasannya sendiri, menambah kesan bahwa alam juga ikut bersorak menyetujui. Dank, I’m such a cheesy.

“Udah cantik, Kay. Nggak usah diapa-apain lagi. Riasannya udah sempurna,” kata Nora ketika melihatku gelisah sendiri di depan meja rias. Adik perempuanku itu seakan tahu apa yang sedang aku pikirkan.

“Alis mataku udah simetris? Kalo nggak simetris kan nggak lucu, Nora. Nanti dipikirnya aku nggak bisa dandan yang bener,” ujarku. “Blush on nya kurang tebel nggak? Apa ketebelan? Duh, Nora. Aku nggak pengen kelihatan kayak hantu yang mukanya pucat atau badut yang mau dateng ke pesta anak umur 5 tahun.”

Aku terduduk di depan meja rias. Dari balik pantulan kaca, aku bisa melihat Nora berkacak pinggang di belakangku sembari memutar bola matanya. Aku sadar aku bisa jadi begitu menyebalkan ketika gelisah seperti ini.

“Kayla Sosromiharjo, dengerin aku.” Nora meletakkan kedua tangannya di bahuku. “Mau kamu pakai piyama sambil bawa boneka anjing kesayanganmu buat jalan di altar, Eric nggak bakalan komentar. Ujung-ujungnya dia juga bakalan bilang I do.”

Aku mendengus kesal. Nora ada benarnya juga.

“Dianya sih nggak komentar. Bapak ibunya yang komentar macem-macem. Calon mantu macam apa dateng ke pernikahannya sendiri kayak mau pesta piyama.”

Nora tertawa geli mendengar ucapanku barusan.

“Jujur ya Kay, aku masih nggak habis pikir kenapa si Eric masih pengen nikahin kamu.”

“Eh, kok gitu ngomongnya? Kok kamu malah nggak dukung aku nikah sama Eric?” Aku terkesiap.

“I’m your little sister. It’s not like I’m going to support you all the time, right?” Nora menghela napas. “Bukan maksudnya membuka luka lama sih Kay. Tapi apa yang sudah kamu lakuin ke Eric setahun yang lalu itu bukan hal yang gampang buat dilupain lho. Mangkannya aku bilang aku masih heran aja sama Eric kenapa dia masih bisa mutusin buat nikahin kamu setelah kejadian itu.”

Aku terdiam. Apa yang diutarakan Nora barusan sebenarnya juga sudah mengusikku sedari awal Eric meminta aku untuk menikah dengannya. Tapi, aku masih belum ada nyali untuk menanyakan itu padanya langsung. Lagipula, rasanya aneh saja ketika kekasih yang kamu cintai setengah mati dan kalian sudah menjalin hubungan selama lebih dari 4 tahun masih memintamu menikah dengannya ketika tahu kalau kau sudah mengkhianatinya.

Aku memang bukan orang yang sempurna. Aku akui itu. Komitmen merupakan momok terbesar bagiku sejak dulu. Tidak heran kalau jangka waktu hubunganku dengan para pria mantan kekasihku itu tidak lebih dari 3 bulan, hanya seumur jagung. Herannya, Eric mampu menepis itu semua. Aku sendiri tidak menyangka akan bersama dengannya sampai 4 tahun lebih. Mungkin karena itu, aku butuh penyegaran. Rasa bosan itu dosa paling jahat yang pernah aku punya. Eric adalah sosok pria sempurna yang tidak pernah berhenti memberikan sayangnya untukku, bahkan setelah ia tahu aku berselingkuh darinya. Oleh karena itu, aku merasa seperti pendosa besar yang sudah tidak layak punya harapan untuk diampuni lagi.

***

1 tahun yang lalu

“Eric… Maaf…” kataku lirih.

Kami berdua berada di dalam mobil, terdiam semenjak tadi. Tidak ada seorangpun yang berani memunculkan suara ke permukaan. Aku tahu kami berdua sedang kalut dengan pikiran masing-masing.

“Kenapa sih Kay? Ada yang salah ya dari aku? Aku kurang apa?”

Kali ini giliran suara Eric yang terdengar lirih di telingaku. Demi Tuhan, aku tidak sanggup melihat matanya. Aku tidak sanggup melihat mata orang yang aku cintai itu terluka karena tindakan bodohku.

“Engga, Eric. Kamu nggak salah apa-apa. Yang salah itu aku.”

“Kamu nggak bahagia sama aku? Kamu sudah bosen ya sama aku?”

Tangisku meledak begitu saja. Rasanya aku ingin jatuh ke pelukan Eric, membenamkan wajahku ke dadanya. Aku rela meneriakkan kata maaf berkali-kali sebanyak apapun yang dia inginkan. Aku hanya ingin Eric tahu aku menyesal.

Tiba-tiba aku merasakan tangannya mengusap kepalaku perlahan, seperti berusaha menghentikanku menangis. Eric memang tidak pernah suka melihatku menangis, ia pernah berucap itu kepadaku. Sekarang, ia malah menarik tubuhku ke pelukannya. Rasanya hangat. Tapi aku masih belum bisa menghentikan tangisku, malah kian menjadi.

“Kay, bilang ke aku kalau kamu nggak bahagia sama aku. Tapi, tolong. Jangan selingkuh dari aku. Rasanya sakit, Kay…”

***

“Eh, malah bengong.”

Suara Nora membangunkanku dari lamunan.

“Udah, omonganku yang barusan nggak usah dipikirin. Kan akunya yang heran, kok kamunya yang malah kepikiran. Mestinya aku dong yang kepikiran,” ujarnya sambil setengah tertawa.

Aku tahu Nora berusaha mencairkan suasana tapi aku masih terbayang kejadian setahun yang lalu. Aku belum bisa tertawa.

“Aduh Kay, udah deh. Repot nih punya kakak perempuan yang super sensitif. Apa-apa masuk ke otak, terus dipikirin,” kata Nora. “Eh iya, kayaknya ada yang kurang deh, Kay.”

“Ha? Apa yang kurang Nora?”

Perkataan Nora barusan berhasil menyita perhatianku.

“Kalung ibu. Kalung ibu yang mutiara itu lho Kay. Udah aku kasih ke kamu bukan sih? Itu kan something borrowed mu.”

“Belum. Aku nggak nerima apa-apa kok dari tadi.”

“Ah yang bener, Kay?” Air muka Nora berubah pias.

“Beneran, Nora. Kamu taruh mana tadi?” Aku mulai panik.

“Tadi seingetku udah aku kasih ke kamu jadi tinggal kamu pakai.”

“Engga, Nora. Duh, udah tinggal 15 menit lagi nih. Gimana kalau kalungnya nggak ketemu.”

Nora mulai memutar otak.

“Aku coba cari di kamar ibu ya? Kamu cari disini. Nanti kalau udah ketemu, saling kasih kabar aja, ya? Oke?” kata Nora sambil berlari keluar.

Kalau urusan sama Nora pasti ada saja masalahnya. Aku heran, sepertinya anak itu memang terlahir dengan bakat sebagai pembawa masalah.

Aku mulai mencari di atas kasur. Tidak ada. Tumpukan baju ganti juga tidak luput dari mataku. Tidak ada juga. Di atas meja rias, nihil. Kali ini giliran laci meja rias yang aku geledah seperti seorang perampok. Kalung mutiara itu tetap tidak ada. Tapi, aku menemukan sesuatu yang lain. Sebuah amplop.

“Kayla. Thanks, God. Akhirnya ketemu nih,” sahut Nora tiba-tiba tanpa mengetuk pintu.

Biasanya aku akan berteriak ke arah Nora karena ia gemar membuka pintu seenaknya tanpa mengetuk terlebih dahulu, namun tidak kali ini. Perhatianku teralihkan pada sebuah amplop putih yang diperuntukkan untukku.

“Nora…” kataku seraya menunjukkan amplop itu padanya.

“Dari siapa?”

Aku menggeleng perlahan. “Eric?” tebakku tiba-tiba.

Wajah Nora berubah peduli. Kami berdua tidak tahu isi amplop itu tentang apa, namun seolah-olah Nora dan aku menyimpan hipotesa yang sama. Sebuah perkiraan yang paling dibenci di muka bumi ini ketika hari pernikahan.

Eric melarikan diri dari pernikahan. Eric tidak jadi menikah denganku. Hanya 2 topik itu saja yang bermain-main lucu di kepalaku. Entah yang mana, intinya sama saja. Eric tidak akan ada di depan altar untuk menungguku mengucap janji bersamanya.

“Kay, coba buka deh. Biar kita tahu isinya.”

Aku sudah mulai berkaca-kaca. Riasanku tinggal di ujung tanduk, menunggu untuk menjadi berantakan. Aku tidak akan menyalahkannya kalau Eric membatalkan pernikahan ini. Ia punya banyak alasan untuk tidak melakukannya. Setidaknya sedari awal, hal itu merupakan alasan yang paling logis. Apa benar Eric sesakit hati itu sampai dia tega untuk mempermalukanku di depan keluargaku sendiri?

Aku membuka amplopnya, lalu suratnya perlahan. Aku benar-benar belum siap.

_________________________________________________________________________________
Dear Ms. Kayla Sosromiharjo.

I know you worried about how you look today. But, believe me. You look beautiful even I haven't seen you yet today. You will always look beautiful no matter what the circumstance is.

Kayla, we both know what had happened in the past. I never consider it as a mistake. Instead, I took it as a lesson; for me and for you. Look where we are now. We grow because of it and we realized that we actually need each other to create happiness. Without you, I'm not complete. And now that I found you, I feel as whole. It’s the feeling that I've never felt towards anyone else before. You turned my world upside down and I think my heart beats only for you.

Kayla, I made promises to myself. From the second you walk down the aisle, I promise you that we would never look back in the past, we look up to the future. I promise you that I will love you endlessly even your hair starts to turn gray. I promise you that your happiness will always come first. I can only promise you that, I hope those promises would be enough.

What you did in the past is your history. Your future will be my responsibility.

Sincerely, your husband-soon-to-be

xoxo

P.S: I really can’t wait to change your last name :)
_________________________________________________________________________________

“Kay, apaan isinya? Jangan nangis dong. Kamu bikin aku takut deh.”

Aku menggeleng.

“Ini tangis bahagia, Nora. Nanti kamu bakal ngerti. Now, will you let me get married?”

***


Langit Bali pukul 5 terlihat bersahabat. Dekorasi yang sudah disiapkan di pinggir pantai menambah kesan romantis. Kursi-kursi kayu berbantal putih memberikan kenyamanan tersendiri bagi para tamu. Desir ombak tidak pernah kehilangan suaranya, terlihat berlari-lari menggapai ombak di depannya. Hari ini jauh melebihi ekspektasiku tentang sebuah pernikahan impian.

Aku tidak menyangka akan merasa terharu seperti ini saat berdiri di depan altar bersama Eric, pria yang aku cintai, pria yang aku kira akan meninggalkan aku, pria yang masih mampu memberi maaf atas kesalahan terbesar yang pernah aku lakukan. Namun sekarang, kami berdua sama-sama menggenggam tangan masing-masing, menikmati momen sakral pernikahan kami.

Kami bertukar sepasang cincin, emas kecil yang saat ini melingkar di jari manis tangan kanan kami berdua. Lalu pendeta mulai mengucapkan janji-janji pernikahan seperti yang biasa terdengar di aula altar gereja. Bergantian, aku dan Eric menyahutinya dengan “aku bersedia”. Senyuman kebahagiaan terasa melekat dan tidak mau pergi dari wajah kami.

“You look beautiful,” ucap Eric perlahan di sela-sela pendeta berbicara.

“Thank you,” sahutku malu-malu layaknya anak perempuan yang baru bertemu teman lawan jenisnya.

“Dan sekarang saya sahkan kalian berdua sebagai sepasang suami istri.”

Semua orang bersorak sambil bertepuk tangan. Aku bisa mendengar seruan dan eluan mereka yang turut berbahagia bersama kami. Aku masih menatap ke arah mata pria itu, sepasang mata sayu nan sendu dengan bulu mata lentik bertengger di atasanya. Sepasang mata yang selalu mampu membuatku jatuh cinta setiap harinya.

Eric benar. Kebahagiaan itu milik kami berdua. Jika satu saja rasanya tidak akan lengkap, maka berdua terasa penuh. Dan kalau menjadi bahagia saja sesederhana bersama dengannya, aku berjanji tidak akan menukarnya dengan yang lain.