September 2, 2014

Ketika Bulan Mengecup Lautan



Bulan gundah, Ia sedang merindu. Namun, dipendamnya rindunya itu erat sepert seorang anak kecil yang menggenggam jemari tangan ibunya karena takut tersesat. Bulan tak ingin rindunya jatuh dan terberai. Ia juga tak ingin menguliti rindunya selembar demi selembar. Ia ingin rindunya utuh, tak berkurang massa dan beratnya namun bilapun bilangan massa dan berat dari rindunya bertambah itupun tak mengapa. Bukan sesuatu yang harus dirisaukan. Namun untuk saat ini bulan gundah. Ia sedang merindu.

Ialah lautan, sang penambah beban pada rindu sang bulan. Selalu diperhatikannya lautan  pada tiap gelap yang  menyelimuti angkasa dari tempatnya berada. Bulan mengagumi lautan dalam hening. Hampir tak pernah ada tegur sapa dari sang bulan kepada pujaannya. Karena itu, rindu yang dikantonginya dalam pundi-pundi semesta berubah dan menjelma menjadi rasi-rasi bintang. Harapnya, semoga lautan tahu bahwa tiap konstelasi bintang dari sudut utara sampai selatan, baik yang menyerupa penunjuk arah maupun deretan gugusan zodiak, mampu mencuri hati Ia yang menjadi tempat bernaung dewa Neptunus.

Bulan gundah karena Ia sedang merindu. Ia ingin menciptakan sebuah kisah bagi dirinya dan lautan yang dipujanya dalam diam. Sudah ratusan kisah Ia dengar dari bibir manusia tentang cerita cinta alam dan semesta. Pernah Ia menguping dongeng seorang ayah kepada anak perempuannya tentang matahari yang terlalu jatuh hati pada bulan sehingga ia rela mati di tiap senja datang agar bulan dapat menghela napas kehidupannya yang pertama. Atau cerita bualan tentang lautan yang tetap mencintai garis pantai, sampai-sampai lautan tak pernah berhenti surut hanya untuk dapat mengecup garis pantai yang selalu menolaknya agar menjauh. Namun tak pernah satupun Ia dengar sebuah kisah tentang dirinya dan lautan. Maka dari itu, Ia ingin menciptakan sebuah kisah. Ia tak terlalu pedulikan gunjingan ataupun sebuah cerita penghantar tidur seperti apa yang akan manusia-manusia itu perbincangkan di bawah sana tentangnya dan pujaannya.

Bulan tak punya kalender, Ia bahkan lupa menghitung. Bulan hanya terus berotasi pada porosnya sembari beredar mengelilingi bumi dan bersama bumi beredar mengelilingi matahari. Entah tanggal berapa hari ini, namun Ia merasa wujudnya nampak sempurna bila dilihat dari bumi. Bulan nampak besar dan megah, Ia terlihat begitu dekat. Sedekat itupula dirinya dengan lautan yang dipujanya.

Sayangnya, dalam sekejap Ia merasa ragu. Ada berjuta alasan tersembunyi mengapa dirinya dan lautan tak pernah menjadi sebuah cerita penghantar tidur, dan kini Ia mengetahuinya. Sedekat apapun kedudukan bulan terhadap lautan, mereka berdua begitu jauh satu dengan yang lainnya. Seperti halnya 2 garis asymptote yang tak peduli seberapapun dekatnya, tidak akan bisa bertemu. Bulan kembali gundah, karena rindunya sudah terasa begitu berat. Sudah berpuluh-puluh rasi bintang di langit malam Ia ciptakan pada setiap rindu yang tak terbalas. Kini, ketika waktu mempertemukan mereka begitu dekat, bulan kehilangan keyakinannya. Mungkin nanti, 29,5 hari lagi Ia akan kembali tampak besar dan megah. Namun untuk kali ini, biarlah Ia mengurungkan niatnya untuk menyapa sang lautan.

Dibiarkannya tubuhnya perlahan mulai terbenam di garis batas lautan. Ia tenggelam dengan beban rindu yang masih Ia panggul. Berat, membuatnya tenggelam lebih cepat. Namun, Ia tidak muncul 29,5 hari sekali dengan wujud yang besar dan megah lalu semua kesempatan itu terbuang sia-sia begitu saja, pikirnya. Bulan bergegas, nalarnya sudah mati. Tak dihiraukannya seruan ikan-ikan kecil dari dasar laut yang melarangnya untuk menyentuh lautan. Ia mendekat ke arah aroma air laut lalu dalam sekejap ditandaskannya wujudnya pada horizon di gelap malam. Tak disangka, lautan pun membalasnya, tak menolaknya sedikitpun. Deburan ombak yang keras seolah menyoraki semesta yang mengizinkan mereka berdua untuk saling mengecup. Yang bulan tak ketahui adalah ketika rasi-rasi bintang yang menghiasi langit malam itu tiba-tiba menghilang. Satu demi satu. Ia sadari kali ini hanya dirinya yang bersandar pada tiang malam yang kelam. Sendirian.

"88 rasi bintang. Aku menghitungnya. Terimakasih."

Belum sempat bulan membalas ucapan terimakasih sang lautan, matahari menyuruhnya untuk berganti. Tenggelamlah Ia pada peluk pujaannya yang telah Ia tukar dengan rindu di pundaknya. Matahari sudah tak sabar memberi tahu manusia bahwa pagi sudah menunggu di ufuk timur.

Bulan pergi tanpa pamit. Namun Ia berjanji untuk kembali lagi dengan wujudnya yang besar dan megah untuk lautan. Kini, terciptalah sudah sebuah kisah bagi bulan dan lautan. Sebuah kisah tentang bulan yang merindukan peluk lautan sehingga dibiarkannya rindunya melayang di langit malam membentuk konstelasi bintang beraneka ragam. Sebuah kisah yang dibiarkan mengambang pada kelamnya malam, yang diceritakan diam-diam. Sebuah kisah tentang ketika bulan mengecup lautan.