December 17, 2013

Mending Mendung




Hari ini mendung, sayang.
Awan berhenti berarak diganti pekat yang amat sangat. Matahari juga enggan menunjukkan kuatnya, sepertinya Ia sedang beristirahat. Biar kelabu saja yang menaungi siang, pikirnya. Angin bergerak menggeliat dari selatan, dinginnya mampu membuat gigi bergemeretak seraya menemani daun-daun yang dipaksa jatuh dari tangkainya ke tanah. Semesta sedang bersepakat dalam pekat, bisikku.

Hari ini mendung, sayang.
Diamlah dalam rumah barang sebentar. Temani aku dengan secangkir teh yang dari wadahnya bisa aku lihat panasnya yang menguar. Duduklah di sebelahku, lingkarkan tanganmu ke belakang leherku dan kita ciptakan cerita kita hari itu. Biar saja dingin yang mengusik tulang. Selama tanganmu masih melingkar, dingin tidak akan membuatku gusar.

Hari ini mendung, sayang.
Tetaplah tinggal, jangan pergi. Aku tidak ingin melepaskan dekapanmu terlalu dini. Nanti aroma pinusmu tidak bisa aku ciumi lagi. Tetaplah seperti ini, jangan berganti. Aku percaya tidak ada lelaki lain yang mampu membuatku mabuk separah ini. Aku masih yakin, nona kesayanganmu masih tetap perempuan yang gemar menatap bulu matamu dari sebelah kiri. Perempuan itu disini.

Hari ini mendung, sayang.
Abaikan dering telepon yang ribut itu. Izinkan aku mendistraksimu dengan sebuah kecupan yang aku daratkan lembut ke pipimu. Lalu yang kau balas dengan kecupan kecil di keningku. Rasanya nyaman, mengetahui bahwa kau masih akan tetap duduk, tak beringsut sejengkal pun. Janji sayang, jangan pergi dari hadapanku.

Hari ini mendung, sayang.
Saat kau hinggap dipelukku sebelum mentari kembali datang. Lucu rasanya saat kau kembali pulang ke kandang, ke tempat awal kau datang. Kita bukan sesuatu yang menjanjikan. Kau dan aku bukan hal yang patut diperjuangkan. Pesanku untukmu, sayang... Datanglah hanya jika kau berniat untuk tinggal, bukan untuk pergi kemudian.

Hari ini mendung, sayang.
Hari dimana aku bisa menciumi aroma pinusmu tanpa bosan. Saat dimana kau melingkarkan tanganmu tanpa takut ketahuan. Mending mendung, bukan?


23.09 P.M.

Lucu rasanya.
Ketika mendung bisa membuatmu bercerita banyak.
Cerita tentang kisah yang belum pernah kau miliki.

December 11, 2013

Bukan Hujan Bulan Juni

Aku bukan seorang penggemar hujan. Ya, sebut saja begitu. Aku menganggap hujan tidak lebih dari sekedar butiran air yang menjatuhkan diri mereka dengan sengaja ke atas tanah, lalu meninggalkan genangan air setelahnya. Sesederhana itu aku mendefinisikan hujan. Jadi, izinkanlah aku untuk tidak menjadi satu dari banyak umat manusia yang memuja-muji harum aroma petrichor dan tetesan hujan yang mereka dramatisasikan menjadi sebuah senandung rindu.

Pagi itu hujan turun lagi di bulan Juni. Seingatku, kemarin hujan sudah jatuh. Ah, hujan yang berkepanjangan seperti ini membuatku rindu matahari. Ya, aku tidak lebihnya seperti anak SD yang sudah tidak sabar mendengar bel sekolah tanda pelajaran selesai; menunggu musim hujan berakhir, tentu saja.

Lelaki berpayung kuning itu sedang menantang hujan di luar sana. Aku memperhatikannya dari balik jendela dapur selagi aku mengaduk secangkir earl grey yang aromanya mengingatkan aku akan musim panas dan aroma bunga matahari. Ia terlihat kebingungan, seperti sedang kelimpungan mencari sesuatu. Kasihan, hujan sepertinya sedang tidak ingin bersahabat dengan siapapun. Anginnya terlalu kencang dan butiran-butiran air yang jatuh pun terasa menyayat kulit.

"Tuan? Hei, tuan berpayung?” panggilku dua kali karena hujan yang begitu deras seolah menelan bulat-bulat gema suara di sekitarnya. “Apa yang sedang kau lakukan? Ada yang bisa aku bantu?”

Lelaki berpayung itu menoleh ke arahku. Wajahnya pucat kedinginan, semoga saja Ia tidak terjangkit hipotermia.

“Aku… sedang… mencari… alamat rumah,” jawabnya terbata-bata.

Aku merasa iba terhadapnya. Walaupun payung kuningnya sedari tadi melindunginya dari guyuran air hujan, namun wajah dan badannya terlihat kuyup. Hujan meninggalkan bekas airnya di sekujur tubuh lelaki itu.

“Kemari, masuklah dulu ke dalam rumah. Hangatkan dulu tubuhmu, lalu aku akan membantumu mencari yang kamu cari.”

Aku mempersilakannya masuk dan duduk di ruang tamu. Lelaki itu nampak kepayahan. Yang Ia butuhkan sekarang hanya sebuah handuk kering dan minuman yang bisa menjaganya agar tetap hangat.

“Teh atau kopi?” tanyaku.

“Kopi. Terimakasih”

Dari balik dapur, aku bisa mendengar suara menggigilnya yang berusaha Ia tahan sebisa mungkin. Lihat apa yang bisa hujan perbuat bagi orang lain? Menghangatkan? Tidak, hujan hanya mampu membuat berjuta-juta anak Adam kedinginan di luar sana, lelaki berpayung itu salah satunya.

Aku meletakkan secangkir kopi di meja sambil memberikan kepadanya sebuah handuk kering. Ia mengucapkan terimakasih sekali lagi, aku memberinya senyuman sebagai balasan.

“Rainer.”

“Ya?” Aku mengernyit keheranan. Barusan, guruh menggelegar tanpa didahului petir sebagai pertanda. Seperti berusaha bersaing dengan suara dentingan hujan yang terjatuh di atas genteng rumah.

“Rainer, namaku Rainer. Kalau kamu?”

“Oh. Sorena,” sahutku sambil menjulurkan tangan. Lelaki berpayung yang tubuhnya kuyup itu membalasnya. Sambil tersenyum, aku kembali menyesap earl grey yang mendingin. Hanya pandangan dari lelaki itu yang entah mengapa terasa hangat. Ini kali pertama aku bertemu dengannya namun wajahnya terasa familiar. Seperti telah mengenalnya selama bertahun-tahun. Jika seandainya tiba-tiba ada yang bertanya mengapa, aku akan menjawab dengan entah. Entah apa yang membuat jantungku berdegup tak beraturan namun terasa nyaman di saat bersamaan – terasa seperti sebuah dekapan.

“Nama kamu bagus.”

“Terimakasih,” kataku. Lelaki itu hanya tertunduk saja tanpa berani menatap ke arahku. Bukan tidak sopan, dia malu. Sekilas aku melihat guratan di sisi kiri dan kanan bibirnya seperti tertarik. Dia tersenyum.

“Ibu seorang penggemar senja,” lanjutku. “Kata beliau aku dilahirkan tepat sebelum senja berlabuh. Menurut beliau, nama itu cocok untukku jadi aku menurut saja. Lagipula, saat kita bayi, kita bisa apa selain menerima nama yang sudah dipilihkan. Cukup percaya nama itu benar, itu saja sudah cukup.”

Lelaki itu mengangguk, sekali. Pendiam sekali.

“Jadi… hujan? Kau lahir saat hujan datang?”

Lelaki itu mendongakkan kepalanya, wajahnya penuh bias keheranan. “Uh, oh, tidak. Aku justru lahir ketika matahari sedang tinggi-tingginya. Tidak ada hujan sama sekali hari itu. Tapi, aku bangga dengan namaku. Seperti katamu, cukup percaya saja kalau itu benar.”

Guruh menggelegar sekali lagi di ujung cerita lelaki itu. Hujan sepertinya sedang tidak ingin berhenti dalam waktu dekat ini.

Aku berdiri menatap ke balik jendela. Jalanan sudah mulai tergenang. Menyebalkan.

“Seharusnya hujan sudah berhenti. Ini sudah bulan Juni. Kemana matahari?”

“Mungkin dia sedang tidur.”

Aku terkejut mendengar jawaban lelaki itu. Aku pikir aku hanya sedang berbicara dengan diriku sendiri, tidak menyangka dia akan menyahuti kalimat retorika barusan.

“Bangunkan dia,” balasku. “Bilang padanya, aku sudah merindukannya sejak Maret mulai beranjak.”

“Jangan salahkan matahari yang tidak datang di bulan Juni. Mungkin hujan yang tidak mau pergi.”

“Kenapa hujan tidak mau pergi? Suruh dia pergi. Ini sudah bulan Juni. Aku mau matahari.”

“Kenapa hujan tidak mau pergi? Entahlah. Mungkin Empunya Semesta belum mengingini hujan untuk pergi, mungkin Dia belum ingin mendatangkan matahari, atau mungkin hari ini bukan hari bulan Juni.”

Aku hendak menyanggah kalimatnya barusan namun otakku berhenti tepat di akhir kalimatnya. “Bukan bulan Juni”?

“Sorena, seperti kita yang tidak punya hak menolak sebuah nama, seperti itu hujan juga tidak tahu mengapa ia harus jatuh ke bumi. Awalnya mereka hanya genangan air di lautan yang terangkat ke atas, tanpa tahu mereka hanya dipersiapkan untuk jatuh ke bumi. Mereka tidak punya hak untuk menolak, mereka hanya percaya hal itu benar, itu sudah cukup.”

Dia bukan lelaki pemalu dan pendiam di awal aku menyuguhkan secangkir kopi untuknya. Kata-katanya barusan seolah melumatku dalam-dalam.

“Sepertinya hujan sudah mulai reda.” Lelaki itu berdiri, menatap ke luar jendela. Tidak mempedulikan aku yang masih ternganga.

“Terimakasih suguhan kopi dan handuk keringnya. Dan oh…”

Ia mengeluarkan sesuatu dari balik jaketnya yang masih setengah kering.

“Aku bermaksud memberikan segenggam bunga matahari ini ke rumah yang hendak aku datangi. Namun sepertinya, aku akan mencarinya lagi esok hari. Cuaca sedang tidak bersahabat.” Lelaki itu mengulurkan tangannya yang menggenggam erat 5 tangkai bunga matahari. “Untukmu, sebagai ucapan terimakasih.”

Aku menerima seikat bunga berwarna kuning itu. Tenggorokanku masih tercekat, sampai-sampai untuk mengucapkan terimakasih kembali kepada lelaki berpayung itupun aku tak sanggup. Sampai Ia memunggungkan punggungnya dan menghilang di balik kabut.

Udara di luar masih dingin, tinggal gerimis kecil yang masih bersahabat dengan awan pekat. Earl grey yang tinggal setengah cangkir juga sudah mendingin sedari tadi. Namun, kehangatan dari sorot mata lelaki itu masih tetap tinggal di dadaku. Wajahnya yang familiar juga masih belum lekang dari otakku. Dan satu lagi yang belum hilang, “bukan bulan Juni”?
***
Dia bukan seorang penggemar hujan. Ya, sebut saja begitu. Dia menganggap hujan tidak lebih dari sekedar butiran air yang menjatuhkan diri mereka dengan sengaja ke atas tanah, lalu meninggalkan genangan air setelahnya. Sesederhana itu dia mendefinisikan hujan. Jadi, izinkanlah dia untuk tidak menjadi satu dari banyak umat manusia yang memuja-muji harum aroma petrichor dan tetesan hujan yang kami dramatisasikan menjadi sebuah senandung rindu.

Aku mencintainya semenjak senja berlabuh di ufuk barat sampai gerimis kecil berjatuhan ke bumi yang mengharuskannya untuk segera pulang. Senja dan gerimis yang bertautan di taman 18 tahun lalu.

“Bantu aku membuat istana pasir. Kamu ambil pasir di sebelah sana, lalu kamu bawa kembali kesini. Nanti, setelah itu kita bisa bisa menghiasnya dengan bunga matahari bersama-sama. Oh iya, kamu mau main ayunan? Nanti kita main ayunan juga ya? Tapi jangan ajak aku main jungkat-jungkit, aku benci selalu berada di atas dan tidak bisa turun. Astaga, aku lupa. Namaku Sorena. Kamu?”

Namanya Sorena dan dia senang berbicara tentang dirinya sendiri. Pertemuan pertama kami begitu membekas di hati, setidaknya bagiku. Aku masih ingat bagaimana paras ayunya berpadu dengan semburat jingga yang menciptakan sebuah keindahan lugu seorang anak perempuan. Sayangnya, gerimis kecil membuat ibunya memanggil dari kejauhan memintanya segera pulang. Hari itu aku belajar bahwa senja sedang mengajarkanku untuk mencinta dan gerimis menunjukkan aku bagaimana cara merindu.

 Sorena, perempuan yang aku cintai sejak usiaku masih 8 tahun. Dimana seharusnya anak seumuranku lebih menyibukkan otaknya dengan pelajaran pecahan dibanding harus berurusan dengan rasa. Aku tidak tahu kalau sesuatu itu bernama cinta sampai aku melihatnya menangis di depan pusara ibunya. Aku masih tidak tahu kalau sesuatu itu bernama cinta sampai aku merasa aku harusnya mendekat kepadanya dan mendekapnya, menghangatkan dalam sebuah pelukan. Aku masih tidak tahu kalau sesuatu itu bernama cinta sampai aku sadar bahwa dia lebih nyaman bersandar dalam pelukan laki-laki lain. Aku masih tidak tahu kalau sesuatu itu bernama cinta sampai aku patah hati.

Aku patah hati sedangkan Sorena masih punya hati lain untuk dicintai.

Namun, hati laki-laki itu jahat. Ia permainkan hati Sorena tinggi-tinggi hanya untuk dibanting dengan keras ke tanah. Selebihnya, laki-laki itu meminta hati perempuan lain untuk menjadi pendamping hatinya sampai mati. Padahal, hati Sorena dan lelaki itu juga pernah berikrar yang sama di depan altar, berikrar sehidup semati.

Sorena yang malang. Hatinya patah di bulan Juni. Emosinya meletup-letup sebanding dengan injakan pedal gas di mobil yang disetirnya malam itu. Pohon yang berdiri tanpa dosa di pinggir jalan ditabraknya tanpa aba-aba. Sorena terluka. Kepalanya berdarah, parah. Terlalu banyak darah, di setir, tempat duduk, kaca depan, dashboard. Darah dimana-mana. Lantunan doa aku komat-kamitkan sepanjang perjalanan ke rumah sakit untuk menyusulnya. Jangan bawa Sorena pergi dulu, Tuhan.

Anterograde amnesia. Begitu kata dokter yang menangani Sorena. Waktu itu telinga dan otakku sedang tidak siaga. Dokter di hadapanku mencecarku dengan begitu banyak istilah medis yang aku bahkan lupa untuk mengejanya kembali. Hilang ingatan, singkatnya. Hilang ingatan tanpa kemampuan untuk menciptakan memori baru, jelasnya. Aku tersenyum dalam sebait doa. Terimakasih untuk tidak jadi membawanya pergi, ucapku.

Disinilah aku sekarang, di setiap pagi walau bulan berganti masih di tempat sama aku berdiri. Aku yang berinisiatif untuk menciptakan memori baru bagi Sorena walau rasanya percuma. Perempuan itu tidak akan mengingatku meski hari kemarin kami sudah saling bertukar nama, dan hal itu terus berulang di tiap pagi. Memori hari kemarin hanya akan tersimpan sampai Ia memejamkan mata, namun begitu Ia membuka mata di pagi hari yang diingatnya hanya bulan Juni. Ya, memori Sorena yang malang terhenti di bulan Juni.

 Desember bukan Juni. Hujan seperti tidak ingin berhenti untuk sekedar beristirahat dari penatnya. Kasihan Sorena, Ia akan selalu mengira hujan datang di bulan Juni. Bulan dimana seharusnya Ia dapat menyaksikan bunga mataharinya bermekaran di taman. Dan aku hanya akan menjadi lelaki berpayung kuning yang dijamunya dengan kopi hangat, yang diberikannya sebuah handuk kering untuk mengeringkan rambutku yang basah dan yang memberikannya bunga matahari di ujung pertemuan kami. Seperti itulah dia akan mengingat dan juga melupa tentang aku.

Sudah hampir 20 hari berhujan aku mempecundangi diriku di depan rumahnya ditemani hipotermia yang belakangan ini sering datang terlalu dini. Tubuhku sudah berteriak, menyuruhku untuk beristirahat di hari berhujan bulan Desember. Napasku pendek-pendek dan tak jarang aku kehilangan oksigen untuk dihirup. Ini bukan pertanda yang bagus. Bukan pertanda bagus bagi pagi Sorena. Jika aku sakit, kepada siapa dan apa dia akan menumbuhkan memori baru?

Namanya pneumonia dan ia menggerogoti paru-paruku pelan-pelan. Napasku masih pendek-pendek dan kadang diselingi dengan batuk berdarah, namun aku tetap menguatkan tekadku untuk bangun di tiap pagi. Menyusun adegan baru perkenalan kami di setiap harinya. Aku tidak akan bosan jika hanya bertukar nama dengan Sorena, mendengarkannya bercerita tentang dirinya sendiri atau bahkan memperhatikannya menyesap secangkir earl grey kesukaannya. Bagaimana aku bisa bosan dengan suatu keindahan yang aku dambakan sejak lama?

Hujan lagi di lain pagi di bulan Desember. Bukan, bukan hujan bulan Juni. Bagi Sorena, mungkin hujan ini hujan bulan Juni dan dengan secangkir earl grey di tangannya Ia akan merutuki datangnya hujan yang tidak mau berhenti. Seperti hujan yang tidak bisa menolak ke bagian bumi sebelah mana ia akan jatuh dan menggenang, seperti itu aku tidak punya hak untuk menolak kesempatan yang diberikan Tuhan untuk menemani Sorena di setiap pagi dan aku lebih dari sekedar bahagia melakukannya lagi dan lagi. Ternyata, kadang untuk bahagia, kita tidak harus melakukan hal yang benar-benar benar, cukup percaya itu benar. Ironis? Iya. Namun, dalam otakku masih ada sejuta adegan yang bermain-main lucu, menunggu untuk aku pentaskan di depan perempuan yang membenci hujan itu. Semoga aku masih punya sejuta hari untuk memainkan setiap perannya satu per satu.


Payung kuningku masih teronggok di dekat pintu, seperti penasaran cerita macam apalagi hari ini yang aku reka hanya untuk berkenalan dengan perempuan di seberang jalan itu, perempuan yang masih membenci hujan. Senja masih datang beberapa jam lagi namun gerimis sudah sedari tadi menjejakkan dirinya ke bumi. Hari ini aku belajar, selalu ada rindu dan cinta yang tersemat di setiap waktu walau hanya beberapa yang mampu menafsirkannya di setiap butiran air dan kepingan oranye lewat lantunan semesta. Dan izinkan aku untuk menjadi satu dari berjuta umat manusia yang mendramatisasikan melodi hujan menjadi sebuah senandung rindu.

December 5, 2013

Once Upon a Time



We grow up.
People separated.
Heart torn apart.
We grow up.

We were innocence.
In the mornings when we think about nothing but our friends' names and what kind of game that we were going to play along.
In the afternoons when we were climbing the biggest tree around the block.
In the evenings when we were trying to catch fireflies in the fields, not far from home.
And later at nights when we cuddled in our bed and there's always someone who covered us up with a warm blanket.
We were innocence.

We are here.
Growing up, surrender to the time that makes us older than yesterday.
Trying to standing with our own two feet.
Sometimes we stumble and fall.
Sometimes, somehow, some thing drag us down to the core.
We cry, we grasp for air.
We wish that we won't be suffocated.
By the thing that we called as monster that chained us down and hide on the back of our mind.
It stays, won't go.
Then say,
"We are here."

Scared? Me too.
But, don't you remember?
At least, we were innocence.
Once upon a time.

When monster was only an antagonist character from bedtime stories..