"Selamat pagi, bodoh."
Aku masih mengatupkan kedua kelopak mataku seraya menempelkan gadget berlayar sentuh itu ke telinga kananku. Separuh nyawaku masih melayang-layang entah dimana, belum sepenuhnya kembali ke raga yang saat ini terperangkap, enggan beranjak dari atas kasur. Sedangkan separuhnya lagi masih mencoba menerka-nerka suara dari seberang.
Suaranya familiar, berirama elektrik seperti suara yang beberapa hari lalu tertanam semenjak obrolan kami di taman.
"Hm... Iya. Pagi, dungu."
Dia terkekeh dari kejauhan. Tidak menyeramkan. Malah lebih mirip seperti bunyi alarm di pagi hari yang membangunkan aku dari mimpi yang semalaman sudah aku rangkai. Suara tawanya masih seperti ayam goreng; renyah.
"Kamu tidak terbiasa bangun sepagi ini ya? Suaramu masih bau bantal," lanjutnya lagi dengan suara kekehan yang sepertinya tidak pernah habis dia keluarkan. Mungkin rasa syukur di pagi hari lebih tepat dipanjatkan kepada yang Empunya waktu, yang mana Ia masih mau menghendaki pagi datang dan mempersilakan aku mendengarkan suara yang sedari malam kemarin aku harapkan.
Aku melirik ke arah jam dinding. Jarum detik dengan sigapnya menghitung waktu yang berganti kian cepat bagiku, berbeda dengan jarum jam yang masih belum beranjak dari angka 5. Aku mengusap-usap mata, berusaha menjauhkannya dari kotorannya yang membuatnya melekat, tak mau terbuka.
"Kenapa?" tanyaku asal.
Di seberang hanya terdengar gumaman lagu I Will Follow You Into the Dark, tanpa memperdulikan pertanyaanku. Lelaki itu gemar sekali menyenandungkan lagu-lagu Death Cab for Cutie. Mungkin dari situ kesamaan kami bermuara, berujung pada perkenalan yang lebih manis.
"Sedang apa kamu?" tanyanya polos.
Aku berdecak. Bukan kagum, namun kesal. Pertanyaan macam apa yang dilayangkan di pagi buta sesaat setelah aku membuka mata; apa yang sedang aku lakukan? Aku sedang mencoba mengumpulkan ke-8 nyawaku lainnya yang entah sedang berada dimana saat ini. Aneh.
"Aku habis sembahyang," jawabnya lagi yang seolah tidak memperdulikan pertanyaannya di awal, "tiba-tiba langsung teringat kamu." Laki-laki itu terkekeh. "Aku jadi malu."
Aku tersenyum simpul dari balik selimut. Bisa aku bayangkan mukanya yang memerah sembari tangan kirinya menutupi wajahnya yang tersipu malu. Aneh.
"Terimakasih," sahutku. "Terimakasih sudah mengingatku sepagi ini."
"Aku memasukkanmu ke dalam doa. Tidak apa-apa kan?" selorohnya.
Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Antara terharu dan tersanjung dengan pernyataannya barusan. Entah polos atau terlalu jujur, aku tidak tahu harus menyebutnya apa kali ini. Namun, aku bukan seseorang yang gemar memperdebatkan hal kecil. Siapa aku layak mempertanyakan setiap doa yang sedang dibumbungkan tinggi ke angkasa?
"It's okay," jawabku singkat.
Kami terdiam untuk beberapa saat. Bukannya kami tak tahu harus berkata apa dan membahas apa, namun pikiran kami seolah sedang bereaksi sendiri-sendiri. Ini bukan diam yang canggung, ini diam yang penuh dengan reaksi.
"Uhm..." lelaki itu mulai membuka suara. "Bukannya kamu harus pergi sembahyang juga hari ini?"
"Oh, iya. Aku hampir lupa hari ini hari Minggu," ujarku sambil menepuk dahi. Jam dinding yang masih terpatri diam di kamar aku lirik. Tarian-tarian jarum di atas angka itu mulai menunjukkan hampir pukul setengah 6 pagi. Itu berarti, kurang lebih 30 menit sebelum akhirnya aku bersiap mengenakan baju yang layak untuk berkunjung ke rumahNya pagi itu.
"Titipkan salam. Dariku. Untuk Tuhan mu."
Ada perasaan nyeri setelahnya. Rasa itu seperti kali pertama ibu mengajariku memotong wortel. Aku yang terlalu bersemangat berada di dapur untuk pertama kalinya, harus merelakan jari telunjukku mengucurkan darah karena sayatan tajam dari pisau dapur. Waktu itu aku kurang berhati-hati memperhatikan bentuk dan rupa wortel. Aku berpikir jari telunjukku serupa dengan wortel yang akan aku potong. Alhasil aku menangis sekencang-kencangnya sambil berharap kucuran darah tidak terbuang percuma dari telunjuk anak perempuan yang berusia 6 tahun.
Rasanya yang hampir sama membuatku ingin menangis. Tapi, aku bukan anak perempuan 6 tahun yang sedang belajar memotong wortel lagi. Anak perempuan itu sudah menjelma menjadi seorang gadis di usia awal 20-an. Usia dimana aku mulai mengerti bahwa dengan menangis tidak akan menyelesaikan masalah.
"Iya, nanti salammu aku sampaikan. Tenang saja," jawabku sambil tersenyum pahit dari balik selimut. "Kalau nanti aku memasukkanmu ke dalam doa, tidak apa-apa?" tanyaku tanpa aba-aba.
Lelaki itu terkekeh dari seberang. Aneh.
"Kenapa harus kenapa-kenapa? Itu tadinya yang ingin aku pinta darimu. Tapi, aku takut meminta terlalu banyak, karena itu, aku pikir sebatas salam saja akan cukup."
Aku ikut terkekeh mendengar pengakuannya. Aneh. Seakan baru kali ini aku bertemu dan bercakap dengan seseorang yang mampu membuatku jatuh dan terbang lagi dalam durasi waktu yang hampir bersamaan. Aneh. Pernyataan-pernyataanya yang cukup absurd membuatku seolah aku sedang berbicara dengan diriku sendiri. Aneh.
"Hei, jangan lupa."
"Salam kan? Iya, pasti aku sampaikan."
"Bukan," katanya." Katupkan tanganmu rapat-rapat supaya Tuhan mu bisa mendengar doamu," guraunya.
Aku tersenyum. "Kalau begitu, buka tanganmu lebar-lebar supaya doamu juga cepat sampai," sahutku dengan nada konyol.
Lalu kami berdua terkekeh bersamaan sebelum akhirnya Ibu meneriaki namaku untuk cepat bergegas dan turun dari kasur.
No comments:
Post a Comment