" Kamu pernah jatuh cinta?"
Aku baru saja selesai menengguk sebotol teh sebelum akhirnya kata-kata absurd itu terlontar dari bibirnya. Hampir saja cairan beraroma melati dan madu itu melompat jauh dari mulutku.
"Uhm, belum," jawabku singkat sambil mengusap daerah nostril. Bukan karena udara malam itu terlalu dingin untuk berada di taman dengan cahaya lampu yang seadanya, namun aku berusaha menutupi sesuatu darinya. Berharap Ia tidak mengetahuinya.
"Kenapa? Takut?" tanyanya tak putus-putus.
Aku tertawa kecil. "Kenapa harus takut? Aku cuman belum siap," jawabku sambil mengedikkan bahu.
Dalam sekejap Ia menoleh ke arahku setelah beberapa lama Ia berkutat dengan pemandangan lampu taman dan bunga bakung yang ada di hadapannya. Penasaran dengan jawabanku. Mungkin?
Aku salah tingkah. Lagi-lagi aku -secara tidak sadar- mengusap daerah nostril yang entah, mungkin hidungku sudah mulai memerah karenanya. Bukan hal yang mudah menatap kedua bola mata teduh itu, yang dihiasi dengan sepasang bulu mata lentik. Hanya Tuhan yang tahu seberapa suka aku memperhatikan kedua matanya.
"Mana ada orang jatuh cinta butuh kesiapan? Jatuh cinta itu tanpa aba-aba."
Aku terkesiap mendengar jawabannya. Menarik.
"Memang itu jatuh cinta? Yakin bukan cuman sekedar suka?"
Laki-laki itu tampak terdiam sebentar. Sedang bersiap untuk mencari sanggahan yang dapat diperdebatkan mungkin. Setidaknya, fase diamnya membuatku memperhatikan lebih. Cara Ia menggaruk dahinya, yang aku tahu tidak sedang gatal. Ia hanya sedang mencoba untuk berpikir. Lucu.
"Tahu. Kamu bisa tahu saja. Menurutku..."
"Entahlah, mungkin aku bukan orang yang gampang jatuh cinta. Menurutku..."
Dia terkekeh. Suara tawanya gurih dan renyah. Tidak, aku tidak sedang membicarakan sepotong ayam goreng. Suara tawanya mungkin alasan kedua kenapa aku bisa suka berada di dekatnya. Untuk membuatnya tersenyum dan tertawa seperti saat ini bukan merupakan perkara yang mudah. Banyak kesiapan yang harus dipersiapkan. Bersiap untuk tidak membiarkan kedua lututku bergetar hebat, misalnya.
"Kalau menurutku sih kamu cuman takut. Aku tidak percaya kalau ada orang yang belum siap jatuh cinta."
Dasar keras kepala.
"Aku bukan takut. Kalau aku takut untuk sekedar jatuh cinta, aku mungkin tidak akan berada disini sekarang. Cinta itu terlalu rumit. Butuh kesiapan khusus kalau memang benar-benar siap." Aku menghela napas, mencoba menyelaraskan oksigen yang masuk dan yang harus diburu keluar guna menyampaikan pendapatku. "Love is such a strong word and I guess I'm one of those who can't easily accept the way it is."
"Jadi, kamu benar-benar belum pernah jatuh cinta?"
"Belum."
"Kapan kamu siap?"
"Entah. Mungkin nanti, mungkin beberapa tahun lagi."
"Darimana kamu tahu kalau kamu siap?"
"Kalau aku dipertemukan dengan orang yang tepat."
"Darimana kamu tahu dia orang yang tepat?"
"Yah nantinya akan tahu dengan sendirinya."
Dia mengangguk-anggukan kepalanya seperti sedang mencerna segala jawaban yang baru Ia dapat dariku. Anak-anak rambut yang berada di sekitaran pangkalnya ikut bergerak ke atas dan ke bawah, naik dan turun. Belum lagi sehembusan angin yang melewati kami yang seakan mencoba menyibakkan rambut laki-laki itu di hadapanku. Oh, aku kelewatan batas. Maaf, aku terlalu suka memperhatikan hal-hal kecil seperti itu. Nampak menyenangkan memperhatikan sesuatu yang bahkan tidak dipedulikan orang lain.
"Jadi, bisa dibilang kamu jatuh cinta tanpa aba-aba kan?" lanjutnya sambil menyeringai. Bisa aku lihat senyum kemenangannya terpancar dari balik sunggingan bibir mungilnya.
Aku terdiam. Tiba-tiba saja aku tidak tahu harus menyanggah apa lagi.
"Kamu tidak bisa memilih dengan siapa kamu jatuh cinta, kamu bisa jatuh cinta dengan siapa saja. Kalau kamu beralasan siap tidak siap, menurutku itu bukan jatuh cinta. Cupid sendiri tidak peduli apakah kamu siap atau tidak kalau tiba-tiba Ia menghujamkan panahnya ke arah kalian berdua. Menurutku, siap atau tidak, kamu harus siap. And out on the street are so many possibilities to not be alone."
Death Cab for Cutie? Aku tidak tahu dia tahu soal Death Cab for Cutie.
"Memang kamu pernah jatuh cinta?"
"Uhm, belum."
"Kenapa? Takut?"
Laki-laki itu terdiam. "Mungkin aku juga belum siap," jawabnya malu-malu.
Kami berdua terbahak di taman malam itu, hanya tinggal beberapa gelintir orang dan pasangan yang ada disana. Aku berani bertaruh, mereka tidak sedang menikmati malam seseru kami.
Angin malam mulai berhembus sepoi-sepoi sambil membawa lalu cerita kami di hari itu. Kami tertawa lalu kembali bertukar pandang tentang sesuatu yang tidak dianggap penting oleh orang kebanyakan. Tapi, hal itu menyenangkan. Setidaknya, aku bisa terus memperhatikan segala hal kecil dari dirinya seraya mengungkap sedikit harapan dari dalam kepada semesta supaya Cupid dapat menghujamkan panahnya ke arah kami berdua.
No comments:
Post a Comment