"Jangan sekalipun mengingini sesuatu yang bukan milikmu."
Tiap intonasi dan ritme perkataan Ayah, gadis kecil rekam dengan jelas di kepalanya. Seakan otaknya terhegemoni bahwa apapun yang keluar dari mulut Ayahnya adalah suatu hal yang bijak dan patut untuk dipercayai tanpa harus mempertanyakan kebenarannya. Di bagian kepalanya yang kecil, gadis kecil masih berpikir bahwa Ayahnya selalu benar, apapun itu.
Hanya saja, merekam perkataan Ayah dan melaksanakannya di kehidupan nyata jelas merupakan 2 hal yang berbeda. Dan, tentu saja dengan tingkat kesulitan yang berbeda pula.
Pagi itu, Ibu mengajak gadis kecilnya berbelanja ke pusat kota. Hari itu ibu ingin membeli baju bagus, katanya. Entah apa definisi bagus di pikiran Ibu, jadi gadis kecil itu hanya mengikutinya saja dari belakang.
Hampir sejam mereka berdua memutari setiap sudut butik baju yang tersedia, kaki gadis kecil itu mulai pegal.
"Ibu, masih lama jalan-jalannya?"
"Sebentar ya sayang, nanti Ibu belikan es krim kalau Ibu sudah dapat baju yang Ibu cari. Kalau kamu lelah, duduk saja disana. Ibu mau lihat-lihat baju disini dulu," rajuk Ibu seraya menunjuk ke arah bangku di dekatnya.
Gadis kecil itu menurut saja. Kepegalan kakinya sudah tidak bisa ditolerir lagi. Percuma saja beradu argumen dengan Ibunya, tidak akan menemukan titik temu.
Tinggi bangku yang tidak sebanding dengan tinggi badannya membuat kaki kecilnya berayun-ayun di atas marmer. Jemari kakinya terasa nyeri, sepatu warna merah jambunya Ia lepas begitu saja. Tinggallah kaos kaki putihnya yang masih menggantung. Lega, pikirnya. Kesepuluh jemarinya perlu bernapas juga.
Sembari matanya mengikuti kemana arah Ibunya pergi dan menghilang di balik butik, gadis kecil itu melemparkan tatapan matanya ke seluruh penjuru sudut bangunan. Barang-barang mewah yang dijajakan tidak pelak membuatnya terkesima. Namun, hampir semua orang di kota ini memiliki barang mewah. Bukankah hal itu menjadikan barang mewah tidak lagi mewah? Dan hal itu membuat barang-barang mewah itu tidak lagi special.
Matanya lelah, Ia mengantuk. Hampir sesaat sebelum Ia memejamkan mata, pandangannya terpaku pada sebuah selendang berwarna jingga. Selendang itu melenggang indah di atas pohon kayu plastik di etalase toko. Mata gadis kecil itu berbinar. Belum pernah Ia melihat selendang seanggun dan seindah itu. Beberapa orang lalu lalang melewati selendang yang sengaja dijajakan di bagian toko paling depan. Mereka sama sekali tidak melirik, bahkan mungkin untuk mengamati keindahannya dari dekat saja mereka enggan.
Gadis kecil itu mengenakan sepatu merah jambunya. Ia berlari kecil ke arah etalase butik dimana selendang jingga itu singgah. Ia lupa pada ibunya yang masih tersesat di dalam butik baju yang sepertinya Ibunya pun tidak ingin diselamatkan oleh siapapun kecuali dirinya sendiri.
Gadis kecil itu terpana di depan etalase kaca yang saat ini menjadi pembatas antara dirinya dan selendang jingga itu. Demi Tuhan, Ia ingin sekali memilikinya. Warna jingga mungkin bukan warna kesukaannya, bahkan juga bukan warna yang cocok untuk dipadankan dengan warna merah jambu yang biasa Ia pakai sehari-hari.
Gadis itu berpikir keras. Terlalu keras untuk gadis seusianya yang saat itu sedang bertarung dengan keinginannya dan pundi-pundi uang koin di kantung bajunya. Uangnya tidak cukup.
Ia melihat dan menghapal lagi deretan angka yang tertera di dekat selendang jingga itu. Untuk sebuah selendang seanggun selendang jingga itu, angka-angka tersebut bukanlah sebuah jumlah angka yang sedikit. Namun, tetap saja... Koin-koin yang tersembul dari balik kantung bajunya setidaknya hanya cukup untuk membeli setangkai permen.
Gadis itu menelan pil kekecewaan saat Ia melihat seorang perempuan dewasa sedang mengagumi keindahan selendang itu dari dekat. Perempuan itu nampak cantik ketika Ia mengalungkan selendang jingga itu di lehernya. Tentu saja, selendang itu yang membuat perempuan itu nampak lebih cantik, walaupun sebenarnya perempuan itu tidak sedang terlihat cantik.
"Kamu kemana saja? Ibu khawatir. Jangan sekali-sekali pergi jauh-jauh dari Ibu. Mengerti?"
Pekikan tinggi Ibunya membuyarkan lamunan gadis kecil itu. Namun, Ia tidak peduli. Telunjuk mungilnya meminta Ibunya melihat apa yang dia lihat. Selendang jingga.
"Kamu mau selendang berwarna jingga itu?"
Gadis kecil itu mengangguk pelan.
Ibunya tersenyum simpul.
"Gadis kecil, selendang jingga itu tidak cocok untukmu. Kamu masih terlalu kecil untuk mengenakannya."
"Tapi, aku suka..."
Ibunya tersenyum lagi. Memang harus banyak senyuman yang dikeluarkan untuk membujuk seorang gadis kecil.
"Suka juga bukan berarti kamu harus memilikinya."
"Tapi aku mau ibu... Belikan aku..." rengeknya.
"Setahu ibu, jingga juga bukan warna kesukaanmu kan? Nanti kamu menyesal."
Gadis kecil itu mulai mengeluarkan jurus pamungkasnya. "Mau Ibu... Mau... Aku suka..." Ia mulai bersandiwara sambil mengeluarkan tetesan air mata dari sudut kelopaknya.
"Kita cari di toko lain saja ya? Kita cari warna yang sama dan selaras dengan warna merah jambu kesukaanmu. Coba pikir, warna apa saja yang sama dengan warna merah jambu?" sahut Ibunya sambil menggandeng tangan putri kecilnya.
"Jingga," jawabnya singkat.
Ibunya tersenyum lagi, "bagaimana dengan warna putih? Atau warna creme? Oh, Ibu tahu. Merah kan warna kesukaanmu."
Gadis kecil itu tertarik saat Ibunya menyebut kata "merah". Iya, dia lebih suka warna merah daripada jingga.
"Tapi selendang itu bagus, aku suka."
"Iya, bagus memang. Ibu setuju. Tapi kalau warnanya tidak sama dengan warna merah jambu yang biasa kau pakai, nantinya hanya kau gantungkan saja di dalam lemari. Kasihan kan?"
Gadis kecil itu menatap Ibunya dalam-dalam.
"Jadi," katanya lagi, "daripada selendang jingga itu kau beli lalu kau acuhkan di dalam lemari, ada baiknya biarkan orang lain yang memilikinya. Seseorang yang cocok dengan warna jingganya."
"Mau membeli selendang saja sesulit itu ya bu?"
Ibunya tertawa kecil, "Tentu saja. Kalau memilih baju tidak sesulit itu, kita tidak akan berada di gedung ini selama 3 jam."
Gadis kecil itu tertawa renyah. Ibunya selalu saja bisa mencairkan suasana.
Tiba-tiba saja Ia ingat rekaman intonasi dan ritme perkataan Ayah.
"Jangan sekalipun mengingini sesuatu yang bukan milikmu."
Memang benar, melaksanakan perintah Ayahnya tidak semudah merekam intonasinya. Tapi Ibunya juga benar. Hanya karena gadis kecil itu menyukai sesuatu yang dilihatnya, bukan berarti Ia harus memilikinya. Banyak pertimbangan yang harus dipikirkan matang-matang. Yaa, seperti membeli sebuah selendang misalnya.
Ayah dan Ibunya selalu benar. Gadis kecil itu sampai heran. Harus berapa banyak perkataan-perkataan bijak lainnya yang harus Ia telan bulat-bulat untuk menjadi dewasa. Setidaknya, Ia sadar tidak akan selamanya Ia menjadi seorang gadis kecil. Suatu saat nanti Ia akan tumbuh menjadi seorang perempuan dewasa. Seorang perempuan yang cocok mengalungkan selendang di lehernya. Entah yang berwarna jingga atau mungkin warna lainnya.
"Jadi, kamu mau es krim rasa apa?" tanya Ibunya pada gadis kecil yang tangan kirinya masih berayun dalam gandengan tangan wanita favoritnya.