Aku bukan seorang penggemar hujan. Ya, sebut saja begitu.
Aku menganggap hujan tidak lebih dari sekedar butiran air yang menjatuhkan diri
mereka dengan sengaja ke atas tanah, lalu meninggalkan genangan air setelahnya.
Sesederhana itu aku mendefinisikan hujan. Jadi, izinkanlah aku untuk tidak
menjadi satu dari banyak umat manusia yang memuja-muji harum aroma petrichor dan tetesan hujan yang mereka
dramatisasikan menjadi sebuah senandung rindu.
Pagi itu hujan turun lagi di bulan Juni. Seingatku,
kemarin hujan sudah jatuh. Ah, hujan yang berkepanjangan seperti ini membuatku
rindu matahari. Ya, aku tidak lebihnya seperti anak SD yang sudah tidak sabar
mendengar bel sekolah tanda pelajaran selesai; menunggu musim hujan berakhir,
tentu saja.
Lelaki berpayung kuning itu sedang menantang hujan di
luar sana. Aku memperhatikannya dari balik jendela dapur selagi aku mengaduk
secangkir earl grey yang aromanya
mengingatkan aku akan musim panas dan aroma bunga matahari. Ia terlihat
kebingungan, seperti sedang kelimpungan mencari sesuatu. Kasihan, hujan
sepertinya sedang tidak ingin bersahabat dengan siapapun. Anginnya terlalu
kencang dan butiran-butiran air yang jatuh pun terasa menyayat kulit.
"Tuan? Hei, tuan berpayung?” panggilku dua kali karena
hujan yang begitu deras seolah menelan bulat-bulat gema suara di sekitarnya.
“Apa yang sedang kau lakukan? Ada yang bisa aku bantu?”
Lelaki berpayung itu menoleh ke arahku. Wajahnya pucat
kedinginan, semoga saja Ia tidak terjangkit hipotermia.
“Aku… sedang… mencari… alamat rumah,” jawabnya
terbata-bata.
Aku merasa iba terhadapnya. Walaupun payung kuningnya
sedari tadi melindunginya dari guyuran air hujan, namun wajah dan badannya
terlihat kuyup. Hujan meninggalkan bekas airnya di sekujur tubuh lelaki itu.
“Kemari, masuklah dulu ke dalam rumah. Hangatkan dulu
tubuhmu, lalu aku akan membantumu mencari yang kamu cari.”
Aku mempersilakannya masuk dan duduk di ruang tamu.
Lelaki itu nampak kepayahan. Yang Ia butuhkan sekarang hanya sebuah handuk
kering dan minuman yang bisa menjaganya agar tetap hangat.
“Teh atau kopi?” tanyaku.
“Kopi. Terimakasih”
Dari balik dapur, aku bisa mendengar suara menggigilnya yang
berusaha Ia tahan sebisa mungkin. Lihat apa yang bisa hujan perbuat bagi orang
lain? Menghangatkan? Tidak, hujan hanya mampu membuat berjuta-juta anak Adam
kedinginan di luar sana, lelaki berpayung itu salah satunya.
Aku meletakkan secangkir kopi di meja sambil memberikan
kepadanya sebuah handuk kering. Ia mengucapkan terimakasih sekali lagi, aku
memberinya senyuman sebagai balasan.
“Rainer.”
“Ya?” Aku mengernyit keheranan. Barusan, guruh
menggelegar tanpa didahului petir sebagai pertanda. Seperti berusaha bersaing
dengan suara dentingan hujan yang terjatuh di atas genteng rumah.
“Rainer, namaku Rainer. Kalau kamu?”
“Oh. Sorena,” sahutku sambil menjulurkan tangan. Lelaki
berpayung yang tubuhnya kuyup itu membalasnya. Sambil tersenyum, aku kembali
menyesap earl grey yang mendingin. Hanya
pandangan dari lelaki itu yang entah mengapa terasa hangat. Ini kali pertama
aku bertemu dengannya namun wajahnya terasa familiar. Seperti telah mengenalnya
selama bertahun-tahun. Jika seandainya tiba-tiba ada yang bertanya mengapa, aku
akan menjawab dengan entah. Entah apa yang membuat jantungku berdegup tak
beraturan namun terasa nyaman di saat bersamaan – terasa seperti sebuah
dekapan.
“Nama kamu bagus.”
“Terimakasih,” kataku. Lelaki itu hanya tertunduk saja
tanpa berani menatap ke arahku. Bukan tidak sopan, dia malu. Sekilas aku
melihat guratan di sisi kiri dan kanan bibirnya seperti tertarik. Dia tersenyum.
“Ibu seorang penggemar senja,” lanjutku. “Kata beliau aku
dilahirkan tepat sebelum senja berlabuh. Menurut beliau, nama itu cocok untukku
jadi aku menurut saja. Lagipula, saat kita bayi, kita bisa apa selain menerima
nama yang sudah dipilihkan. Cukup percaya nama itu benar, itu saja sudah
cukup.”
Lelaki itu mengangguk, sekali. Pendiam sekali.
“Jadi… hujan? Kau lahir saat hujan datang?”
Lelaki itu mendongakkan kepalanya, wajahnya penuh bias
keheranan. “Uh, oh, tidak. Aku justru lahir ketika matahari sedang
tinggi-tingginya. Tidak ada hujan sama sekali hari itu. Tapi, aku bangga dengan
namaku. Seperti katamu, cukup percaya saja kalau itu benar.”
Guruh menggelegar sekali lagi di ujung cerita lelaki itu.
Hujan sepertinya sedang tidak ingin berhenti dalam waktu dekat ini.
Aku berdiri menatap ke balik jendela. Jalanan sudah mulai
tergenang. Menyebalkan.
“Seharusnya hujan sudah berhenti. Ini sudah bulan Juni.
Kemana matahari?”
“Mungkin dia sedang tidur.”
Aku terkejut mendengar jawaban lelaki itu. Aku pikir aku
hanya sedang berbicara dengan diriku sendiri, tidak menyangka dia akan
menyahuti kalimat retorika barusan.
“Bangunkan dia,” balasku. “Bilang padanya, aku sudah
merindukannya sejak Maret mulai beranjak.”
“Jangan salahkan matahari yang tidak datang di bulan
Juni. Mungkin hujan yang tidak mau pergi.”
“Kenapa hujan tidak mau pergi? Suruh dia pergi. Ini sudah
bulan Juni. Aku mau matahari.”
“Kenapa hujan tidak mau pergi? Entahlah. Mungkin Empunya
Semesta belum mengingini hujan untuk pergi, mungkin Dia belum ingin
mendatangkan matahari, atau mungkin hari ini bukan hari bulan Juni.”
Aku hendak menyanggah kalimatnya barusan namun otakku
berhenti tepat di akhir kalimatnya. “Bukan bulan Juni”?
“Sorena, seperti kita yang tidak punya hak menolak sebuah
nama, seperti itu hujan juga tidak tahu mengapa ia harus jatuh ke bumi. Awalnya
mereka hanya genangan air di lautan yang terangkat ke atas, tanpa tahu mereka
hanya dipersiapkan untuk jatuh ke bumi. Mereka tidak punya hak untuk menolak,
mereka hanya percaya hal itu benar, itu sudah cukup.”
Dia bukan lelaki pemalu dan pendiam di awal aku
menyuguhkan secangkir kopi untuknya. Kata-katanya barusan seolah melumatku
dalam-dalam.
“Sepertinya hujan sudah mulai reda.” Lelaki itu berdiri,
menatap ke luar jendela. Tidak mempedulikan aku yang masih ternganga.
“Terimakasih suguhan kopi dan handuk keringnya. Dan oh…”
Ia mengeluarkan sesuatu dari balik jaketnya yang masih
setengah kering.
“Aku bermaksud memberikan segenggam bunga matahari ini ke
rumah yang hendak aku datangi. Namun sepertinya, aku akan mencarinya lagi esok
hari. Cuaca sedang tidak bersahabat.” Lelaki itu mengulurkan tangannya yang
menggenggam erat 5 tangkai bunga matahari. “Untukmu, sebagai ucapan
terimakasih.”
Aku menerima seikat bunga berwarna kuning itu.
Tenggorokanku masih tercekat, sampai-sampai untuk mengucapkan terimakasih
kembali kepada lelaki berpayung itupun aku tak sanggup. Sampai Ia memunggungkan
punggungnya dan menghilang di balik kabut.
Udara di luar masih dingin, tinggal gerimis kecil yang
masih bersahabat dengan awan pekat. Earl
grey yang tinggal setengah cangkir juga sudah mendingin sedari tadi. Namun,
kehangatan dari sorot mata lelaki itu masih tetap tinggal di dadaku. Wajahnya
yang familiar juga masih belum lekang dari otakku. Dan satu lagi yang belum
hilang, “bukan bulan Juni”?
***
Dia bukan seorang penggemar hujan. Ya, sebut saja begitu.
Dia menganggap hujan tidak lebih dari sekedar butiran air yang menjatuhkan diri
mereka dengan sengaja ke atas tanah, lalu meninggalkan genangan air setelahnya.
Sesederhana itu dia mendefinisikan hujan. Jadi, izinkanlah dia untuk tidak
menjadi satu dari banyak umat manusia yang memuja-muji harum aroma petrichor dan tetesan hujan yang kami
dramatisasikan menjadi sebuah senandung rindu.
Aku mencintainya semenjak senja berlabuh di ufuk barat
sampai gerimis kecil berjatuhan ke bumi yang mengharuskannya untuk segera
pulang. Senja dan gerimis yang bertautan di taman 18 tahun lalu.
“Bantu aku membuat istana pasir. Kamu ambil pasir di
sebelah sana, lalu kamu bawa kembali kesini. Nanti, setelah itu kita bisa bisa
menghiasnya dengan bunga matahari bersama-sama. Oh iya, kamu mau main ayunan?
Nanti kita main ayunan juga ya? Tapi jangan ajak aku main jungkat-jungkit, aku
benci selalu berada di atas dan tidak bisa turun. Astaga, aku lupa. Namaku
Sorena. Kamu?”
Namanya Sorena dan dia senang berbicara tentang dirinya
sendiri. Pertemuan pertama kami begitu membekas di hati, setidaknya bagiku. Aku
masih ingat bagaimana paras ayunya berpadu dengan semburat jingga yang
menciptakan sebuah keindahan lugu seorang anak perempuan. Sayangnya, gerimis
kecil membuat ibunya memanggil dari kejauhan memintanya segera pulang. Hari itu
aku belajar bahwa senja sedang mengajarkanku untuk mencinta dan gerimis
menunjukkan aku bagaimana cara merindu.
Sorena, perempuan
yang aku cintai sejak usiaku masih 8 tahun. Dimana seharusnya anak seumuranku
lebih menyibukkan otaknya dengan pelajaran pecahan dibanding harus berurusan
dengan rasa. Aku tidak tahu kalau sesuatu itu bernama cinta sampai aku
melihatnya menangis di depan pusara ibunya. Aku masih tidak tahu kalau sesuatu
itu bernama cinta sampai aku merasa aku harusnya mendekat kepadanya dan
mendekapnya, menghangatkan dalam sebuah pelukan. Aku masih tidak tahu kalau
sesuatu itu bernama cinta sampai aku sadar bahwa dia lebih nyaman bersandar
dalam pelukan laki-laki lain. Aku masih tidak tahu kalau sesuatu itu bernama
cinta sampai aku patah hati.
Aku patah hati sedangkan Sorena masih punya hati lain
untuk dicintai.
Namun, hati laki-laki itu jahat. Ia permainkan hati
Sorena tinggi-tinggi hanya untuk dibanting dengan keras ke tanah. Selebihnya,
laki-laki itu meminta hati perempuan lain untuk menjadi pendamping hatinya
sampai mati. Padahal, hati Sorena dan lelaki itu juga pernah berikrar yang sama
di depan altar, berikrar sehidup semati.
Sorena yang malang. Hatinya patah di bulan Juni. Emosinya
meletup-letup sebanding dengan injakan pedal gas di mobil yang disetirnya malam
itu. Pohon yang berdiri tanpa dosa di pinggir jalan ditabraknya tanpa aba-aba.
Sorena terluka. Kepalanya berdarah, parah. Terlalu banyak darah, di setir, tempat
duduk, kaca depan, dashboard. Darah
dimana-mana. Lantunan doa aku komat-kamitkan sepanjang perjalanan ke rumah
sakit untuk menyusulnya. Jangan bawa Sorena pergi dulu, Tuhan.
Anterograde amnesia. Begitu
kata dokter yang menangani Sorena. Waktu itu telinga dan otakku sedang tidak
siaga. Dokter di hadapanku mencecarku dengan begitu banyak istilah medis yang
aku bahkan lupa untuk mengejanya kembali. Hilang ingatan, singkatnya. Hilang
ingatan tanpa kemampuan untuk menciptakan memori baru, jelasnya. Aku tersenyum
dalam sebait doa. Terimakasih untuk tidak jadi membawanya pergi, ucapku.
Disinilah aku sekarang, di setiap pagi walau bulan
berganti masih di tempat sama aku berdiri. Aku yang berinisiatif untuk menciptakan
memori baru bagi Sorena walau rasanya percuma. Perempuan itu tidak akan
mengingatku meski hari kemarin kami sudah saling bertukar nama, dan hal itu
terus berulang di tiap pagi. Memori hari kemarin hanya akan tersimpan sampai Ia
memejamkan mata, namun begitu Ia membuka mata di pagi hari yang diingatnya
hanya bulan Juni. Ya, memori Sorena yang malang terhenti di bulan Juni.
Desember bukan
Juni. Hujan seperti tidak ingin berhenti untuk sekedar beristirahat dari
penatnya. Kasihan Sorena, Ia akan selalu mengira hujan datang di bulan Juni.
Bulan dimana seharusnya Ia dapat menyaksikan bunga mataharinya bermekaran di
taman. Dan aku hanya akan menjadi lelaki berpayung kuning yang dijamunya dengan
kopi hangat, yang diberikannya sebuah handuk kering untuk mengeringkan rambutku
yang basah dan yang memberikannya bunga matahari di ujung pertemuan kami.
Seperti itulah dia akan mengingat dan juga melupa tentang aku.
Sudah hampir 20 hari berhujan aku mempecundangi diriku di
depan rumahnya ditemani hipotermia yang belakangan ini sering datang terlalu
dini. Tubuhku sudah berteriak, menyuruhku untuk beristirahat di hari berhujan
bulan Desember. Napasku pendek-pendek dan tak jarang aku kehilangan oksigen
untuk dihirup. Ini bukan pertanda yang bagus. Bukan pertanda bagus bagi pagi
Sorena. Jika aku sakit, kepada siapa dan apa dia akan menumbuhkan memori baru?
Namanya pneumonia dan
ia menggerogoti paru-paruku pelan-pelan. Napasku masih pendek-pendek dan kadang
diselingi dengan batuk berdarah, namun aku tetap menguatkan tekadku untuk
bangun di tiap pagi. Menyusun adegan baru perkenalan kami di setiap harinya.
Aku tidak akan bosan jika hanya bertukar nama dengan Sorena, mendengarkannya
bercerita tentang dirinya sendiri atau bahkan memperhatikannya menyesap
secangkir earl grey kesukaannya. Bagaimana
aku bisa bosan dengan suatu keindahan yang aku dambakan sejak lama?
Hujan lagi di lain pagi di bulan Desember. Bukan, bukan
hujan bulan Juni. Bagi Sorena, mungkin hujan ini hujan bulan Juni dan dengan
secangkir earl grey di tangannya Ia
akan merutuki datangnya hujan yang tidak mau berhenti. Seperti hujan yang tidak
bisa menolak ke bagian bumi sebelah mana ia akan jatuh dan menggenang, seperti
itu aku tidak punya hak untuk menolak kesempatan yang diberikan Tuhan untuk
menemani Sorena di setiap pagi dan aku lebih dari sekedar bahagia melakukannya
lagi dan lagi. Ternyata, kadang untuk bahagia, kita tidak harus melakukan hal
yang benar-benar benar, cukup percaya itu benar. Ironis? Iya.
Namun, dalam otakku masih
ada sejuta adegan yang bermain-main lucu, menunggu untuk aku pentaskan di depan
perempuan yang membenci hujan itu. Semoga aku masih punya sejuta hari untuk
memainkan setiap perannya satu per satu.
Payung kuningku masih teronggok di dekat pintu, seperti
penasaran cerita macam apalagi hari ini yang aku reka hanya untuk berkenalan
dengan perempuan di seberang jalan itu, perempuan yang masih membenci hujan.
Senja masih datang beberapa jam lagi namun gerimis sudah sedari tadi
menjejakkan dirinya ke bumi. Hari ini aku belajar, selalu ada rindu dan cinta
yang tersemat di setiap waktu walau hanya beberapa yang mampu menafsirkannya di
setiap butiran air dan kepingan oranye lewat lantunan semesta. Dan izinkan aku
untuk menjadi satu dari berjuta umat manusia yang mendramatisasikan melodi
hujan menjadi sebuah senandung rindu.