Tulisan ini untuk ikut kompetisi
@_PlotPoint: buku Catatan si Anak Magang Film "Cinta Dalam Kardus"
yang tayang di bioskop mulai 13 Juni 2013.
Senja itu hujan turun. Lagi. Genangan
tenang di jalan bekas hujan tadi pagi dibuat beriak. Suara rintikannya
bersahut-sahutan tak karuan membentuk melodi yang absurd. Di sepanjang jalan,
orang-orang berpayung warna-warni, membiarkan tetesan demi tetesan tergelincir
dari payung mereka. Mereka takut basah, katanya.
Lain mereka, lain aku. Aku tidak takut
basah. Aku tidak berlindung di balik payung atau di bawah halte bus hanya untuk
menunggu hujan reda. Bukan berarti aku menyukai hujan. Hanya saja, aroma udara
di saat hujan turun terasa familiar bagiku. Menguar, seolah menyapa setiap
jengkal di otakku untuk membangkitkan memori lama. Dan aku, tidak keberatan
jika hujan membuatku mengingat serta mengenang.
Hujan mengingatkanku pada lelaki itu.
Lelaki beraroma pinus yang pernah singgah walau sementara. Aku masih ingat kala
Ia datang. Pada malam pergantian tahun, perasaannya diutarakan begitu saja.
Tidak peduli muka macam apa yang sedang aku pasang di hadapannya, Ia lantunkan
deretan kata yang begitu indah, yang hingga detik ini tidak pernah aku lupakan.
Ia membuat perasaanku gegap gempita layaknya kembang api pada pukul 12 malam.
Sampai-sampai, suara terompet kalah gemuruh dengan apa yang mendesak di dada.
Singkat kata, aku bahagia.
Sebulan berlalu, kami seperti sepasang
merpati yang saling mencumbu. Sedikit naïf, mungkin. Kalau saja Eros melihat
kami berdua, mungkin dia bisa cemburu. Seolah tak terpisahkan, kami seperti
menyatu. Bermain di lapangan, mencium aroma rumput yang baru dipotong dan
dikelilingi tanah padat berwarna jingga menjadi tempat kami mengukir cerita. Base, tongkat kasti dan bola softball seolah menjadi saksi bisu cinta
konyol kami.
Bulan kedua; aku begitu menyayanginya,
mungkin hampir mencintainya. Aku selalu suka caranya menggandeng tanganku.
Tiba-tiba dan tanpa aba-aba. Kelima jemarinya selalu bisa mencari celah dan
menempatkannya di setiap sela jemari-jemariku. Tangan kami nampak serasi satu
sama lain, walaupun tidak semua orang berkata begitu. Ah, aku sudah tak terlalu
mempedulikan mereka. Waktu itu aku hanya peduli hangat tangannya yang menjalar
dari setiap jemarinya. Iya, waktu itu. Sebelum semuanya terjadi…
Lelaki beraroma pinus itu tidak lagi
sama. Aku merasakannya. Senyumnya yang sering Ia sematkan di kepalaku di hampir
tiap hari mendadak menghilang. Air mukanya menjadi susah terbaca. Pertengkaran
demi pertengkaran kecil berubah menjadi sesuatu yang sering kami ungkit hanya
untuk saling membuktikan siapa yang benar. Sampai akhirnya kami bersepakat
bahwa kepingan hati kami tidak lagi sama dan sesuatu yang dipaksakan tidak akan
mendatangkan kebaikan.
Dia pergi di kala senja. Lelaki beraroma
pinus itu menunjukkan punggungnya seraya berjalan menjauh. Meninggalkan aku
yang masih tersayat butiran hujan yang turun tanpa henti. Aku berusaha sekuat
mungkin menghalangi air mata jatuh dari kelopaknya, namun hujan menyuruhku
untuk menyembunyikannya bersama dengan tetesannya yang jatuh ke atas pipiku.
Singkat kata, aku berduka.
Aku bukan pembenci hujan. Aku juga tidak
akan mengingkari jika hujan datang. Aroma petrichor selalu mengingatkanku pada
lelaki beraroma pinus yang pernah singgah walau sementara. Aku tidak akan takut
jika hujan datang lagi esok hari. Bagiku, hujan adalah teman. Ia mungkin
mengoyak luka, namun Ia juga membantuku mengenang.
Sudah cukup ceritanya. Awan sepertinya
sudah kehabisan air untuk ditumpahkan ke bumi. Anehnya, aku masih basah kuyup
terhujani memori tentangnya, yang ada dalam kardus.
No comments:
Post a Comment