June 30, 2013
Anna Scott
Anna Scott.
Nama wanita itu Anna Scott. Ini nyata, itu memang nama seseorang.
Seorang wanita yang jatuh cinta kepada seorang pemuda.
Wanita pemberani, menurutku.
Tanya kenapa?
Bukan berarti aku sedang menyisihkan wanita pemberani dan tangguh lainnya dari daftarku, seperti ibuku misalnya.
Hanya saja Anna Scott ini berbeda.
Tahu apa bedanya?
Ia berani meminta dan memohon kepada pemuda yang dicintainya untuk mencintainya.
Rumit?
Yap, rumit.
Tapi Ia membuatnya terlihat mudah namun... menyesakkan.
Nama pemuda itu William Thacker.
Mungkin karena ketakutannya yang berlebihan, Ia takut menerima Anna.
Anna terkenal, sangat terkenal. Seorang superstar.
Sedangkan William hanya seorang pemilik toko buku di sudut kota London.
Semua orang mengenal Anna Scott, sedangkan ibu William sendiri malah sering lupa nama anaknya.
Ini yang membuat William takut, sangat takut. Terlalu takut, mungkin.
Ia takut perasaan yang dipendamnya pada Anna tidak akan sebanding dengan ketenaran yang bisa Anna dapatkan di mana saja.
Anna Scott dan William Thacker.
Mereka berdua berdiri berhadapan di dalam toko buku milik William.
Keduanya sedang bercakap dengan suara pelan.
Dalam keramaian yang hampir hening itu, pengakuan muncul.
Anna Scott mungkin seorang superstar...
Namun dengan perasaan rendah hati, diucapkannya sebaris dialog yang mampu mencuri perhatianku.
"Afterall, I'm just a girl... standing in front of a boy... asking him to love her."
William Thacker terdiam, sedikit berpikir tentang apa yang ingin dikatakannya.
Diamnya yang sesaat menimbulkan kesedihan bagi Anna.
William belum siap, Ia belum siap bersanding dengan Anna dan embel-embel ketenarannya.
William menolaknya karena Ia ingin melindungi dirinya dari patah hati.
Anna Scott sedih, aku tahu Ia sedih.
Tapi Ia tetap tersenyum.
Ia tidak menyalahkan William Thacker yang enggan membalas pernyataannya.
Malahan Ia memutuskan untuk pergi dari toko buku tempatnya berdiri.
...dan William Thacker juga enggan untuk mengejarnya.
Ia membiarkan ketakutannya menang dengan membiarkan Anna Scott pergi dari hadapannya.
Ini cerita karangan yang terjadi di salah satu distrik di London, Notting Hill namanya.
Cerita tentang Anna Scott dan William Thacker.
Cerita yang hanya sepenggal ini bukan akhirnya.
Rumit? Tidak.
Cerita karangan selama hampir 2 jam bersetting di negara Sang Ratu bukan cerita yang rumit.
Hanya saja, mengesankan.
Anna Scott mengesankan.
Entah Anna Scott atau Julia Robert yang memainkan karakternya, mereka sama-sama menjadi scene stealer.
Aku memang bukan Anna Scott.
Aku juga bahkan belum pernah meminta dan memohon kepada seorang pemuda seperti yang Anna Scott lakukan pada William Thacker.
Tapi, aku tahu rasanya memutuskan untuk pergi dari hadapan seseorang karena terlalu sakit untuk menatapnya balik.
Kali ini jangan tanya kenapa, aku hanya tahu saja...
June 26, 2013
A Poem by Clementine von Radics
I am not the first person you loved.
You are not the first person I looked at
with a mouthful of forevers.
We have both known loss like the sharp edges of a knife.
We have both lived with lips more scar tissue than skin.
Our love came unannounced in the middle of the night.
Our love came when we’d given up on asking love to come.
I think that has to be part of its miracle.
This is how we heal.
I will kiss you like forgiveness.
You will hold me like I’m hope.
Our arms will bandage and we will press promises between us like flowers in a book.
I will write sonnets to the salt of sweat on your skin.
I will write novels to the scar of your nose.
I will write a dictionary of all the words I have used trying
to describe the way it feels to have finally,
finally found you.
And I will not be afraid
of your scars.
I know sometimes
it’s still hard to let me see you
in all your cracked perfection,
but please know:
whether it’s the days you burn
more brilliant than the sun
or the nights you collapse into my lap
your body broken into a thousand questions,
you are the most beautiful thing I’ve ever seen.
I will love you when you are a still day.
I will love you when you are a hurricane.
P.S: I do not own the words though I can't help but posted because it is just wonderful. As wonderful as butterflies inside my tummy.
Damn you, butterflies.
The original writing is here
I am not the first person you loved.
You are not the first person I looked at
with a mouthful of forevers.
We have both known loss like the sharp edges of a knife.
We have both lived with lips more scar tissue than skin.
Our love came unannounced in the middle of the night.
Our love came when we’d given up on asking love to come.
I think that has to be part of its miracle.
This is how we heal.
I will kiss you like forgiveness.
You will hold me like I’m hope.
Our arms will bandage and we will press promises between us like flowers in a book.
I will write sonnets to the salt of sweat on your skin.
I will write novels to the scar of your nose.
I will write a dictionary of all the words I have used trying
to describe the way it feels to have finally,
finally found you.
And I will not be afraid
of your scars.
I know sometimes
it’s still hard to let me see you
in all your cracked perfection,
but please know:
whether it’s the days you burn
more brilliant than the sun
or the nights you collapse into my lap
your body broken into a thousand questions,
you are the most beautiful thing I’ve ever seen.
I will love you when you are a still day.
I will love you when you are a hurricane.
June 21, 2013
Hujan Turun
Tulisan ini untuk ikut kompetisi
@_PlotPoint: buku Catatan si Anak Magang Film "Cinta Dalam Kardus"
yang tayang di bioskop mulai 13 Juni 2013.
Senja itu hujan turun. Lagi. Genangan
tenang di jalan bekas hujan tadi pagi dibuat beriak. Suara rintikannya
bersahut-sahutan tak karuan membentuk melodi yang absurd. Di sepanjang jalan,
orang-orang berpayung warna-warni, membiarkan tetesan demi tetesan tergelincir
dari payung mereka. Mereka takut basah, katanya.
Lain mereka, lain aku. Aku tidak takut
basah. Aku tidak berlindung di balik payung atau di bawah halte bus hanya untuk
menunggu hujan reda. Bukan berarti aku menyukai hujan. Hanya saja, aroma udara
di saat hujan turun terasa familiar bagiku. Menguar, seolah menyapa setiap
jengkal di otakku untuk membangkitkan memori lama. Dan aku, tidak keberatan
jika hujan membuatku mengingat serta mengenang.
Hujan mengingatkanku pada lelaki itu.
Lelaki beraroma pinus yang pernah singgah walau sementara. Aku masih ingat kala
Ia datang. Pada malam pergantian tahun, perasaannya diutarakan begitu saja.
Tidak peduli muka macam apa yang sedang aku pasang di hadapannya, Ia lantunkan
deretan kata yang begitu indah, yang hingga detik ini tidak pernah aku lupakan.
Ia membuat perasaanku gegap gempita layaknya kembang api pada pukul 12 malam.
Sampai-sampai, suara terompet kalah gemuruh dengan apa yang mendesak di dada.
Singkat kata, aku bahagia.
Sebulan berlalu, kami seperti sepasang
merpati yang saling mencumbu. Sedikit naïf, mungkin. Kalau saja Eros melihat
kami berdua, mungkin dia bisa cemburu. Seolah tak terpisahkan, kami seperti
menyatu. Bermain di lapangan, mencium aroma rumput yang baru dipotong dan
dikelilingi tanah padat berwarna jingga menjadi tempat kami mengukir cerita. Base, tongkat kasti dan bola softball seolah menjadi saksi bisu cinta
konyol kami.
Bulan kedua; aku begitu menyayanginya,
mungkin hampir mencintainya. Aku selalu suka caranya menggandeng tanganku.
Tiba-tiba dan tanpa aba-aba. Kelima jemarinya selalu bisa mencari celah dan
menempatkannya di setiap sela jemari-jemariku. Tangan kami nampak serasi satu
sama lain, walaupun tidak semua orang berkata begitu. Ah, aku sudah tak terlalu
mempedulikan mereka. Waktu itu aku hanya peduli hangat tangannya yang menjalar
dari setiap jemarinya. Iya, waktu itu. Sebelum semuanya terjadi…
Lelaki beraroma pinus itu tidak lagi
sama. Aku merasakannya. Senyumnya yang sering Ia sematkan di kepalaku di hampir
tiap hari mendadak menghilang. Air mukanya menjadi susah terbaca. Pertengkaran
demi pertengkaran kecil berubah menjadi sesuatu yang sering kami ungkit hanya
untuk saling membuktikan siapa yang benar. Sampai akhirnya kami bersepakat
bahwa kepingan hati kami tidak lagi sama dan sesuatu yang dipaksakan tidak akan
mendatangkan kebaikan.
Dia pergi di kala senja. Lelaki beraroma
pinus itu menunjukkan punggungnya seraya berjalan menjauh. Meninggalkan aku
yang masih tersayat butiran hujan yang turun tanpa henti. Aku berusaha sekuat
mungkin menghalangi air mata jatuh dari kelopaknya, namun hujan menyuruhku
untuk menyembunyikannya bersama dengan tetesannya yang jatuh ke atas pipiku.
Singkat kata, aku berduka.
Aku bukan pembenci hujan. Aku juga tidak
akan mengingkari jika hujan datang. Aroma petrichor selalu mengingatkanku pada
lelaki beraroma pinus yang pernah singgah walau sementara. Aku tidak akan takut
jika hujan datang lagi esok hari. Bagiku, hujan adalah teman. Ia mungkin
mengoyak luka, namun Ia juga membantuku mengenang.
Sudah cukup ceritanya. Awan sepertinya
sudah kehabisan air untuk ditumpahkan ke bumi. Anehnya, aku masih basah kuyup
terhujani memori tentangnya, yang ada dalam kardus.
June 15, 2013
The Messages
Lelaki itu menghilang. Lelaki dengan tawa elektriknya yang setiap hari dia dendangkan ketika bersamaku. Mungkin dia sedang sibuk, pikirku menenangkan diri. Tentu saja aku sedang tidak tenang. Hampir 5 hari tidak aku dengar kabar tentangnya. Aku mulai berpikir sesuatu yang buruk terjadi padanya.
Hai. Semoga kau baik-baik saja.
Jempolku menari-nari diatas layar sentuh itu. Memutuskan untuk menghapus kalimat terakhir.
Hai.
Aku memandangi layar di hadapanku cukup lama, sampai cahayanya meredup dan gelap.
Sial. Aku pikir aku punya keberanian untuk sekedar mengirim pesan kepadanya. Yang ada, aku kembali membenamkan wajahku ke bantal. Takut-takut sambil sedikit berharap masih ada kenekatan yang menempel di otak kananku.
Aku mengambil nafas panjang, lalu menghembuskannya lagi. Mengambil, lalu menghembuskan. Berulang kali. Rasa-rasanya jantungku berdegup terlalu kencang sehingga persediaan oksigen seakan terasa selalu kurang.
Hai.
Aku menyentuh tombol Send sambil memejamkan mata. Bodoh. Aku kembali membenamkam wajahku ke bantal.
Aku pikir dengan mengirimkan pesan, perasaan nyeri itu hilang sendirinya. Tapi, ternyata tidak. Tidak segampang itu.
6 menit, 9 menit, 12 menit, 21 menit...
Mataku masih tidak lekang menatap layar. Tiap menitnya aku hitung. Semoga di menit berikutnya sudah ada pesan masuk. Tapi, nihil. Dan seketika aku merasa bodoh. Lebih bodoh dari yang tadi.
Seketika aku merutuki diriku sendiri. Bersikap realisitis pada logika yang terpampang. Siapa gerangan yang bersedia membalas pesan bercantumkan sapaan sekenanya setelah argumen kami 5 hari yang lalu? Argh.
Niat beranjak dari dekapan bantal aku urungkan. Sebaliknya, dengan air muka cemas aku memandangi layar sentuh yang menggelap.
Masih belum ada balasan.
Jemariku gatal. Beradu dengan otakku yang seolah meneriakkan supaya aku tetap menunggu pesan baru. Tapi, jemari menang. Otakku mencoba menerima kekalahannya dengan tidak ikhlas.
Masih marah? Berhenti ya? Nanti aku belikan susu rasa coklat kesukaanmu :)
Kali ini tanpa pikir panjang, aku langsung menekan tombol Send. Semoga kali ini dibalas, harapku penuh.
10 menit... 16 menit...
Kamu dimana? Sedang apa?
12 menit...
Dungu, jangan bertingkah dungu..
7 menit...
Terserah kamu lah ~
Dengan geram aku menekan tombol Send. Hampir sejam aku mengahabiskan waktu di depan telepon genggamku hanya untuk memikirkan kata-kata apa yang hendak aku kirim dan berharap mendapatkan balasan dari seberang.
Tapi, nihil. Aku merasa bodoh, dan menyedihkan. Seharusnya sedari awal aku mendengarkan otakku untuk tidak mengiriminya pesan terlebih dahulu.
Semua sudah terlambat. Pesan-pesan itu sudah terkirim tanpa ada kemungkinan untuk dibalas.
Is this goodby|
Belum selesai aku mengetik pesan, pesan baru masuk. Darinya. Lelaki yang suaranya berirama elektrik.
Hai. Semoga kau baik-baik saja.
Jempolku menari-nari diatas layar sentuh itu. Memutuskan untuk menghapus kalimat terakhir.
Hai.
Aku memandangi layar di hadapanku cukup lama, sampai cahayanya meredup dan gelap.
Sial. Aku pikir aku punya keberanian untuk sekedar mengirim pesan kepadanya. Yang ada, aku kembali membenamkan wajahku ke bantal. Takut-takut sambil sedikit berharap masih ada kenekatan yang menempel di otak kananku.
Aku mengambil nafas panjang, lalu menghembuskannya lagi. Mengambil, lalu menghembuskan. Berulang kali. Rasa-rasanya jantungku berdegup terlalu kencang sehingga persediaan oksigen seakan terasa selalu kurang.
Hai.
Aku menyentuh tombol Send sambil memejamkan mata. Bodoh. Aku kembali membenamkam wajahku ke bantal.
Aku pikir dengan mengirimkan pesan, perasaan nyeri itu hilang sendirinya. Tapi, ternyata tidak. Tidak segampang itu.
6 menit, 9 menit, 12 menit, 21 menit...
Mataku masih tidak lekang menatap layar. Tiap menitnya aku hitung. Semoga di menit berikutnya sudah ada pesan masuk. Tapi, nihil. Dan seketika aku merasa bodoh. Lebih bodoh dari yang tadi.
Seketika aku merutuki diriku sendiri. Bersikap realisitis pada logika yang terpampang. Siapa gerangan yang bersedia membalas pesan bercantumkan sapaan sekenanya setelah argumen kami 5 hari yang lalu? Argh.
Niat beranjak dari dekapan bantal aku urungkan. Sebaliknya, dengan air muka cemas aku memandangi layar sentuh yang menggelap.
Masih belum ada balasan.
Jemariku gatal. Beradu dengan otakku yang seolah meneriakkan supaya aku tetap menunggu pesan baru. Tapi, jemari menang. Otakku mencoba menerima kekalahannya dengan tidak ikhlas.
Masih marah? Berhenti ya? Nanti aku belikan susu rasa coklat kesukaanmu :)
Kali ini tanpa pikir panjang, aku langsung menekan tombol Send. Semoga kali ini dibalas, harapku penuh.
10 menit... 16 menit...
Kamu dimana? Sedang apa?
12 menit...
Dungu, jangan bertingkah dungu..
7 menit...
Terserah kamu lah ~
Dengan geram aku menekan tombol Send. Hampir sejam aku mengahabiskan waktu di depan telepon genggamku hanya untuk memikirkan kata-kata apa yang hendak aku kirim dan berharap mendapatkan balasan dari seberang.
Tapi, nihil. Aku merasa bodoh, dan menyedihkan. Seharusnya sedari awal aku mendengarkan otakku untuk tidak mengiriminya pesan terlebih dahulu.
Semua sudah terlambat. Pesan-pesan itu sudah terkirim tanpa ada kemungkinan untuk dibalas.
Is this goodby|
Belum selesai aku mengetik pesan, pesan baru masuk. Darinya. Lelaki yang suaranya berirama elektrik.
Maaf. Br ad plsa. Jd, yg marah sp skrg?
Aku tersenyum simpul melihat deretan kata yang dia kirimkan untukku. Aku merasa lebih bodoh sekarang. Segera aku hapus separuh kalimat yang belum sempat aku selesaikan. Seketika rasa marah itu lenyap entah kemana.
Sorry, I'm such a possessive bastard..
Kali ini aku tidak perlu menunggu sampai 5 menit, pesan masuk seketika. Layaknya 2 orang yang sedang bercakap, kami saling bertukar cerita.
You really are.
:)
Jadi, segini aja marahnya?
Mau minta lebih?
Nope. I didn't mean to. Kamu ga betah aku diemin kan?
Ugh, you wish.
Haha :)
Ga lucu ah -_-
Kamu lucu, bodoh. Susu rasa coklatnya jadi gratis?
Aku ga janjiin kamu susu rasa coklat.
Dasar. Td km blg gt biar aku ga marah. Ya kan?
Tadi kok. Km balesnya kelamaan.
:)
Jadi skg kebanyakan pulsa? Cmn ngirim emote aja?
:))
-_-
:)))
DUNGU!
Iya, bodoh?
Jangan kemana-mana..
Emgnya aku mau kemana?
Uhm, mksdnya jgn ngilang lg.
Oh.
Janji?
Aku gabisa janji.
Knp? :(
Soalnya... Aku takut gabisa nepatin janji.
Oh.
Maaf.
Iyah, aku paham.
:)
So.. Is this goodbye?
Do you want it to be?
No..
Then don't ever say something like that..
Sorry.
No one knows what the future holds.
Only God knows why.
I wonder why Cupid stabbed his arrows to both of us.
Maybe to make us realize that we are worth it.
I miss U.
:)
U don't miss me, do U?
Ra-ha-sia.
Stupid.
Idiot.
Let's meet up :)
Let's :)
Surabaya, 15 Juni 2013.
Diluar gelap. Segelap layar telepon genggam yang menunggu pesan baru masuk dari seberang.
June 11, 2013
Namanya Laut
Lelaki itu bernama Laut.
Iya, seperti itu aku memanggilnya.
Jadi, anggap saja namanya Laut.
Aku suka dia.
Maksudku, aku suka Laut.
Ya, aku memang suka Laut.
Aku suka waktu air-air Laut bertemu dengan pasir di garis pantai.
Bukankah itu suatu pemandangan yang indah?
Aku mau bermain dengan Laut.
Ingin sekali.
Seperti dulu aku pernah bermain dengan Matahari.
Tapi, aku takut.
Aku takut tenggelam.
Jadi, boleh jika aku hanya menikmati Laut dari sini?
Dari bibir pantai di bawah lambaian pohon nyiur.
Menikmati Laut dari kejauhan.
Menyapanya ketika Matahari timbul dan terbenam.
Aku mau menikmati Laut saja, tanpa menjadi basah.
Iya, seperti itu aku memanggilnya.
Jadi, anggap saja namanya Laut.
Aku suka dia.
Maksudku, aku suka Laut.
Ya, aku memang suka Laut.
Aku suka waktu air-air Laut bertemu dengan pasir di garis pantai.
Bukankah itu suatu pemandangan yang indah?
Aku mau bermain dengan Laut.
Ingin sekali.
Seperti dulu aku pernah bermain dengan Matahari.
Tapi, aku takut.
Aku takut tenggelam.
Jadi, boleh jika aku hanya menikmati Laut dari sini?
Dari bibir pantai di bawah lambaian pohon nyiur.
Menikmati Laut dari kejauhan.
Menyapanya ketika Matahari timbul dan terbenam.
Aku mau menikmati Laut saja, tanpa menjadi basah.
June 9, 2013
Hujan Bulan Juni
Sapardi Djoko Damono
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
Subscribe to:
Posts (Atom)