Matahari kini sudah tidak terik lagi melontarkan sinarnya dan daun-daun juga telah berhenti berguguran. Musim sudah cepat berganti. Terlalu cepat bahkan sampai-sampai gadis kecil itu tidak sadar bahwa tahun akan segera berganti (lagi). Diluar tumpukan salju seolah menghalangi segumpal keceriaan yang biasa bertebaran di jalan. Begitu juga dengan gadis kecil itu. Ia hanya terduduk memandangi jendela sambil tangannya menyangga kepalanya. Ia ingin sekali keluar dan bermain salju hari itu, walaupun tanpa teman bukan masalah besar baginya. Namun, kata-kata ibu yang melarangnya untuk bermain di cuaca seburuk ini berlawanan dengan keinginan gadis kecil itu.
“Jangan pergi keluar. Cuaca sedang buruk.”
“Tapi, aku ingin bermain bu.”
“Main saja dengan mainan-mainan mu yang ada di kamar. Suhu di kamar malah dapat membuatmu lebih hangat.”
Ah, tetap saja tidak seasyik bermain di luar. Lagipula, tidak ada satupun mainan yang menarik yang bisa dimainkan. Semenjak balon kuningnya pergi dibawa orang, gadis kecil itu masih belum berniat untuk memainkan sesuatu, ia bahkan tidak tertarik dengan mainan lagi. Oh bukan, bukan. Ia hanya belum mendapat mainan yang tepat untuk dimainkan bersama lagi.
“Gadis kecil, siapkan baju terbaikmu. Kita akan berangkat ke gereja setelah ini.” Teriak ibu dari dalam kamarnya.
Gadis kecil itu menoleh ke arah suara ibunya. Lalu dengan lantang ia berteriak, “Tapi di luar cuaca sedang buruk, bu. Apa tidak bisa kita ke gerejanya di kamar saja? Cuaca lebih hangat di dalam sana.”
Ibu melongokkan kepalanya dari dalam kamar sambil membedaki mukanya yang masih ayu. Ia menahan tawa atas tingkah gadis kecilnya. Ia tahu gadis kecilnya ingin membalas perkataanya karena Ia tidak mengizinkannya keluar untuk bermain.
“Gadis kecil, di dalam gereja cuaca juga hangat. Kita tidak ber-gereja di lapangan, sayang. Kau tidak akan kedinginan.” Jawabnya sambil tertawa kecil.
“Tapi bu, waktu itu Pendeta bilang Tuhan ada dimana-mana. Kenapa kita tidak menyembah-Nya lewat kamar saja? Tuhan juga tidak akan keberatan, bukan?
Ibu kembali melongokkan kepalanya keluar dari kamar. Dipandangnya gadis kecilnya yang masih termangu memandangi salju yang berjatuhan di luar. Ia tersenyum simpul sambil melentikkan bulu matanya.
“Gadis kecil, kamu tidak salah. Tapi Tuhan sedang rindu padamu. Masakan kau tega membiarkan-Nya menahan rindu-Nya untuk bertemu denganmu?”
Gadis kecil itu menghela napas panjang. Napas yang terlalu panjang untuk gadis sekecil dia. Ia suka berdebat, apalagi dengan ibunya. Seolah-olah jumlah oksigen yang baru Ia hirup menandakan bahwa Ia bersiap menyanggah perkataan ibunya.
“Dia masih bisa bertemu denganku minggu depan, saat cuaca tidak seburuk sekarang ini. Lagipula, Pendeta juga bilang beberapa minggu lalu kalau kita bisa bertemu dengan-Nya kapan saja. Kalau aku saja sanggup menahan diriku sendiri untuk tidak bermain dengan mainanku selama berbulan-bulan, kenapa Tuhan tidak bisa menahan diri-Nya untuk tidak bertemu denganku barang sehari?” Gadis kecil itu kembali berteriak dengan lantang dari tepi jendela. Ia tidak menoleh, ia masih memperhatikan gumpalan-gumpalan uap air yang jatuh dari awan yang bercampur dengan nucleator lalu membentuk butiran-butiran kristal es di luar rumahnya.
Ibunya mengerutkan dahi mendengar gadis kecilnya mampu berkata seperti itu. Ibu menghela napas panjang sambil merapikan alis matanya. Tidak, ia tidak sedang marah ataupun menyiapkan sanggahan untuk gadis kecilnya. Ia hanya akan berkata sekutip.
“Jadi, kau tidak keberatan jika Tuhan menyamakanmu dengan mainan? Tidak lebih?”
Gadis kecil itu terkesiap. Bola matanya membesar, alisnya terangkat dan kedua tangannya yang menyangga kepalanya ia letakkan di atas meja. Ia keheranan mendengarkan perkataan ibunya.
“Apa Tuhan punya mainan?” tanya gadis kecil sambil menoleh ke belakang mencari longokan kepala ibunya. Tapi Ia masih tetap duduk di tepian jendela, tidak beranjak se-inch pun.
Ibunya hanya tersenyum kecil. Gadis kecil tidak mampu melihatnya. Ibunya tersenyum sambil tetap mematut dirinya di depan cermin dan mulai memoles bibirnya yang mungil.
Gadis kecil itu tetap menoleh dan menunggu ibunya menjawab pertanyaannya.
Ibu lalu melongokkan kepalanya keluar. Ia terkejut gadis kecilnya juga menoleh untuk melihatnya. Mata mereka saling beradu pandang. Gadis kecil itu tetap menunggu ibunya mengucapkan sepatah kata. Ibunya tetap memandang gadis kecil, seolah membiarkan gadis kesayangannya tetap terheran-heran.
“Tuhan punya banyak mainan. Tuhan punya apa saja. Tapi, mainan bukan hal yang penting buat Tuhan. Jadi, mainan-mainan Tuhan, Tuhan biarkan tergeletak di kamar-Nya. Tuhan lebih memilih bertemu dengan kita setiap hari ketimbang bermain dengan mainan-mainan-Nya yang ada di kamar. Tuhan senang sekali kalau kita mau bertemu dengan-Nya. Entah saat kita baru bangun tidur ataupun saat kita mau tidur. Entah saat kita mau makan, ataupun sesudah makan. Entah saat kita mau bermain di luar ataupun bermain di kamar. Sekarang kau pilih, kau mau menjadi mainan Tuhan atau menjadi gadis kecil yang bisa bertemu dengan Tuhan setiap hari?”
Gadis kecil itu bangkit dari tempat duduknya, Ia mendatangi ibunya yang masih merias wajahnya di kamar.
“Ibu, mana pakaian terbaikku? Aku mau bertemu dengan Tuhan. Aku mau berpakaian yang rapi.”
Ibunya tersenyum sambil menyerahkan gaun kecil bagi gadis kecilnya.
“Ini. Kenakan dengan benar. Walau Tuhan tidak melihat bagaimana bentuk pakaianmu atau bagaimana kau mengenakannya, tetap kenakan pakaian yang pantas saat bertandang ke rumah-Nya. Tapi, ingat. Tuhan lebih mementingkan niatmu saat Ia bertemu denganmu.”
Gadis kecil itu tersenyum sambil melihat pakaian yang diberikan ibunya. Sebuah gaun mungil berwarna hijau muda yang cukup membuat gadis kecil itu tertarik untuk mengenakannya. Ia sudah lupa bahwa tadinya Ia berniat berdebat dengan ibunya. Tapi, ibunya ada benarnya juga dan Ia tidak sanggup melawan perkataan ibunya. Ia tidak mampu kalau harus mendebatkan sesuatu yang benar.
“Ibu, boleh aku tanya sesuatu?” tanya gadis kecil itu sebelum pergi.
“Tanyalah apa saja, sayang.”
“Berhubung Tuhan menelantarkan mainan-Nya di kamar, apa aku boleh minta satu mainan-Nya? Aku kesepian tidak ada mainan di kamar. Apa boleh bu? Apa Tuhan tidak marah kalau aku minta satu mainan-Nya?”
Ibu kembali tersenyum dibuatnya. Gadis kecilnya selalu tidak kehabisan kata-kata untuk menyimpulkan bibirnya.
“Minta apa saja pada Tuhan, anakku. Jika memang Tuhan berkehendak memberikannya padamu, maka Ia akan memberikannya padamu. Dan, tidak. Dia tidak akan marah apabila kamu memintanya dengan baik-baik. Sekarang, cepat ganti baju di kamar. Tuhan sudah menunggu kita di gereja. Kau tidak mau membuat-Nya menunggu lebih lama lagi bukan?”
Gadis kecil itu melompat kegirangan mendengar jawaban ibunya. Ia berlari menuju kamarnya dan bergegas mengganti bajunya.
“Tuhan, apa bisa aku minta salah satu mainan-Mu? Tapi, itu jika boleh. Kalau tidak, aku tidak akan memaksa. Hanya saja, aku bingung saat aku merasa kesepian tidak bisa bermain dengan apapun. Apalagi jika ibu melarangku bermain di luar. Baiklah Tuhan, semoga boleh saja. Aku tunggu mainan-Mu.” Doa gadis kecil itu dalam hati.
Ia mengganti bajunya dengan pakaian terbaik yang tadi sudah diberikan ibunya. Ia mematut dirinya di depan cermin. Warna hijau muda ternyata cocok dengan warna kulitnya. Membuat gadis kecil itu tampak cantik dan Ia tidak sabar untuk segera pergi ke gereja bersama ibunya.
“Tuhan, sabar ya. Sebentar lagi aku selesai…”
Dan gadis kecil itu mulai membedaki mukanya.
No comments:
Post a Comment