Barangkali playlist
saya sudah bosan memutar lagu yang sama selama hampir 3 hari ini. Kalau
saja ia punya nyawa mungkin ia akan berpikir, “Gimme a break! This song? Again?”
Dan selanjutnya, saya mungkin akan memberikan senyum masam saya untuknya. Kalau
ditanya alasan, saya bisa saja menjawab, “Lagunya enak.”, “Sabar dikit lah.
Minggu depan paling juga udah ganti lagu lagi.” atau “Shut up.”
Bukankah kita semua juga seperti itu. Ada saat dimana kita
memutar playlist tanpa peduli lagu apa yang sedang dimainkan dan membiarkan
telinga kita menelan mentah-mentah setiap melodi yang didengungkan. Ada juga
waktu dimana kita bermaksud untuk mendengarkan lagu namun jempol kanan tak
urung berhenti menekan tombol forward, seolah otak dan telinga kita tidak dalam
kata mufakat. Saya di posisi berikut; repeating the same song, over and over
again. Been there, right?
It tells about a one-night stand love where the guy still
wanted the girl to stay with him.
Nope, I’m not doing a one-night stand love if it’s that what
you’re thinking. Sebagai pendengar, kita juga punya hak untuk
menginterpretasikannya menurut asumsi kita sendiri bukan. Bagi saya, ini lebih
tentang meminta seseorang untuk tetap tinggal. Memintanya untuk tidak
meninggalkan kita karena ketika mereka beranjak, yang tertinggal bersama kita
hanyalah kenangan dan mungkin segelintir rasa takut. Takut untuk berhadapan
dengan kenyataan bahwa tanpa mereka, hari tidak akan pernah sama lagi. And how are you gonna cope with that?
Saya orang yang percaya bahwa kebahagiaan adalah sesuatu
yang kita ciptakan sendiri. We create our own happiness. Kita sendiri yang
mengizinkan perasaan kita untuk merasakan bahagia. Anehnya, di setiap perasaan
bahagia itu datang, saya tak henti-hentinya berpikiran buruk. How much time do I
have left to feel this? Karena sayangnya, saya juga orang yang percaya bahwa
kebahagiaan itu tidak kekal. Cepat atau lambat semuanya kembali fana.
Meminta mereka untuk tetap tinggal dan tidak pergi adalah
cara saya untuk tetap bahagia. Namun saya juga tahu, setiap orang mempunyai
waktunya sendiri untuk bersama saya. Ada yang hanya beberapa bulan, dan mungkin
ada yang sampai berpuluh-puluh tahun. Semakin lama orang tersebut bersama saya,
semakin besar luka yang harus saya hadapi nantinya kalau-kalau waktu mereka
bersama saya habis. Dan saya selalu mempersiapkan diri saya untuk itu. Walaupun
kenyataannya, sesiap apapun saya, jika waktunya tiba saya tidak akan siap.
Some people struggle to let others in and they mistaken by
the society as an introvert and a weirdo. But maybe they just can’t bear with
the pain whenever those people walk away from their lives, it always leaves a
big scar in their heart; something they need to cope with, not only for few
days but for the rest of their lives.
I don't want you to leave, will you hold my hand?