Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!
“Love
is our true destiny. We do not find the meaning of life by ourselves alone. We
find it with another.”- Thomas Merton
Aku mematut diriku di
depan cermin. Memperhatikan setiap riasan yang menempel di wajahku layaknya
kanvas yang dilukis seorang masterpiece. Aku perhatikan setiap
detailnya dengan teliti. Mulai dari bulu mata palsu yang bertengger di pinggir
kelopak mataku, yang ukurannya cukup tebal sehingga untuk berkedip rasanya
butuh usaha ekstra. Belum lagi perona pipiku. Warna peach ini rasanya terlalu pucat. Aku terlihat lebih seperti mayat
hidup daripada seorang pengantin perempuan. Apa perlu aku tambahkan sedikit
lagi supaya pipiku terlihat lebih cerah. Tapi bagaimana nanti kalau aku malah
terlihat seperti badut yang mau pergi ke pesta ulangtahun?
“Tahan napas.”
Aku menahan napas,
mengikuti perintah Nora yang berada di belakangku. Ia sedang berusaha menutup
resleting gaun pengantinku. Oh, Tuhan. Semoga dietku selama 6 bulan kemarin
memberikan hasil yang memuaskan.
“Duh, Kay. Kok nggak
bisa ditutup sih. Kamu gendutan ya?”
Aku membelalakan
mata. Panik.
“Relax,
sweetheart. I’m just playing with your mind.” Nora terkikik geli sembari dengan
mudahnya menutup resleting gaunku.
“Nora, nggak lucu,”
gumamku kesal. “Ini bukan waktu yang tepat buat bercanda.”
Nora malah terpingkal
melihatku kesal. Aku mengernyitkan dahi. Ada yang salah dengan saraf adik
perempuanku satu-satunya ini. Di saat aku mengalami panic attack di hari pernikahanku, ia malah tidak hentinya bercanda
dan tertawa.
“Nervous?”
“How
could you be not nervous on your wedding day?”
Jelas sekali aku
gugup. Ini pertama kalinya aku menikah dan pastinya aku berharap ini untuk yang
terakhir, tentu saja. Karena ini semua serba pertama jadi mana aku tahu apa
yang harus aku lakukan. Untung saja aku dan Eric sepakat menyewa Wedding Organizer untuk mengurus
segalanya. Setidaknya aku menciptakan sendiri pernikahan impianku. Menikah di
pinggir pantai sambil disaksikan beberapa pasang mata orang-orang terdekat. Thanks God, The Bay has it all.
Berawal dari melihat
foto promo The Bay di Facebook page, aku sontak berteriak
kegirangan dalam hati. Memasang “Make it
Happen” sebagai taglinenya seolah
memberikan aku kesempatan untuk mewujudkan pernikahan impianku di tepi pantai.
Menurutku, pernikahan
itu hal paling romantis. Ketika dua orang anak manusia bersepakat bersama
sampai maut memisahkan, well, tidak
ada hal lain yang lebih sakral dari itu bukan? Diiringi deburan ombak sebagai
latar belakang musiknya dan aroma air laut yang selalu mempunyai kekhasannya
sendiri, menambah kesan bahwa alam juga ikut bersorak menyetujui. Dank, I’m such a cheesy.
“Udah cantik, Kay.
Nggak usah diapa-apain lagi. Riasannya udah sempurna,” kata Nora ketika
melihatku gelisah sendiri di depan meja rias. Adik perempuanku itu seakan tahu
apa yang sedang aku pikirkan.
“Alis mataku udah
simetris? Kalo nggak simetris kan nggak lucu, Nora. Nanti dipikirnya aku nggak
bisa dandan yang bener,” ujarku. “Blush
on nya kurang tebel nggak? Apa ketebelan? Duh, Nora. Aku nggak pengen
kelihatan kayak hantu yang mukanya pucat atau badut yang mau dateng ke pesta
anak umur 5 tahun.”
Aku terduduk di depan
meja rias. Dari balik pantulan kaca, aku bisa melihat Nora berkacak pinggang di
belakangku sembari memutar bola matanya. Aku sadar aku bisa jadi begitu
menyebalkan ketika gelisah seperti ini.
“Kayla Sosromiharjo,
dengerin aku.” Nora meletakkan kedua tangannya di bahuku. “Mau kamu pakai
piyama sambil bawa boneka anjing kesayanganmu buat jalan di altar, Eric nggak
bakalan komentar. Ujung-ujungnya dia juga bakalan bilang I do.”
Aku mendengus kesal.
Nora ada benarnya juga.
“Dianya sih nggak
komentar. Bapak ibunya yang komentar macem-macem. Calon mantu macam apa dateng
ke pernikahannya sendiri kayak mau pesta piyama.”
Nora tertawa geli
mendengar ucapanku barusan.
“Jujur ya Kay, aku
masih nggak habis pikir kenapa si Eric masih pengen nikahin kamu.”
“Eh, kok gitu
ngomongnya? Kok kamu malah nggak dukung aku nikah sama Eric?” Aku terkesiap.
“I’m
your little sister. It’s not like I’m going to support you all the time, right?”
Nora menghela
napas. “Bukan maksudnya membuka luka lama sih Kay. Tapi apa yang sudah kamu
lakuin ke Eric setahun yang lalu itu bukan hal yang gampang buat dilupain lho.
Mangkannya aku bilang aku masih heran aja sama Eric kenapa dia masih bisa
mutusin buat nikahin kamu setelah kejadian itu.”
Aku terdiam. Apa yang
diutarakan Nora barusan sebenarnya juga sudah mengusikku sedari awal Eric
meminta aku untuk menikah dengannya. Tapi, aku masih belum ada nyali untuk
menanyakan itu padanya langsung. Lagipula, rasanya aneh saja ketika kekasih
yang kamu cintai setengah mati dan kalian sudah menjalin hubungan selama lebih
dari 4 tahun masih memintamu menikah dengannya ketika tahu kalau kau sudah
mengkhianatinya.
Aku memang bukan
orang yang sempurna. Aku akui itu. Komitmen merupakan momok terbesar bagiku sejak
dulu. Tidak heran kalau jangka waktu hubunganku dengan para pria mantan
kekasihku itu tidak lebih dari 3 bulan, hanya seumur jagung. Herannya, Eric
mampu menepis itu semua. Aku sendiri tidak menyangka akan bersama dengannya
sampai 4 tahun lebih. Mungkin karena itu, aku butuh penyegaran. Rasa bosan itu
dosa paling jahat yang pernah aku punya. Eric adalah sosok pria sempurna yang
tidak pernah berhenti memberikan sayangnya untukku, bahkan setelah ia tahu aku
berselingkuh darinya. Oleh karena itu, aku merasa seperti pendosa besar yang
sudah tidak layak punya harapan untuk diampuni lagi.
***
1 tahun yang lalu
“Eric…
Maaf…” kataku lirih.
Kami
berdua berada di dalam mobil, terdiam semenjak tadi. Tidak ada seorangpun yang
berani memunculkan suara ke permukaan. Aku tahu kami berdua sedang kalut dengan
pikiran masing-masing.
“Kenapa
sih Kay? Ada yang salah ya dari aku? Aku kurang apa?”
Kali
ini giliran suara Eric yang terdengar lirih di telingaku. Demi Tuhan, aku tidak
sanggup melihat matanya. Aku tidak sanggup melihat mata orang yang aku cintai
itu terluka karena tindakan bodohku.
“Engga,
Eric. Kamu nggak salah apa-apa. Yang salah itu aku.”
“Kamu
nggak bahagia sama aku? Kamu sudah bosen ya sama aku?”
Tangisku
meledak begitu saja. Rasanya aku ingin jatuh ke pelukan Eric, membenamkan
wajahku ke dadanya. Aku rela meneriakkan kata maaf berkali-kali sebanyak apapun
yang dia inginkan. Aku hanya ingin Eric tahu aku menyesal.
Tiba-tiba
aku merasakan tangannya mengusap kepalaku perlahan, seperti berusaha
menghentikanku menangis. Eric memang tidak pernah suka melihatku menangis, ia
pernah berucap itu kepadaku. Sekarang, ia malah menarik tubuhku ke pelukannya.
Rasanya hangat. Tapi aku masih belum bisa menghentikan tangisku, malah kian
menjadi.
“Kay,
bilang ke aku kalau kamu nggak bahagia sama aku. Tapi, tolong. Jangan selingkuh
dari aku. Rasanya sakit, Kay…”
***
“Eh, malah bengong.”
Suara Nora
membangunkanku dari lamunan.
“Udah, omonganku yang
barusan nggak usah dipikirin. Kan akunya yang heran, kok kamunya yang malah
kepikiran. Mestinya aku dong yang kepikiran,” ujarnya sambil setengah tertawa.
Aku tahu Nora
berusaha mencairkan suasana tapi aku masih terbayang kejadian setahun yang
lalu. Aku belum bisa tertawa.
“Aduh Kay, udah deh.
Repot nih punya kakak perempuan yang super sensitif. Apa-apa masuk ke otak,
terus dipikirin,” kata Nora. “Eh iya, kayaknya ada yang kurang deh, Kay.”
“Ha? Apa yang kurang
Nora?”
Perkataan Nora
barusan berhasil menyita perhatianku.
“Kalung ibu. Kalung
ibu yang mutiara itu lho Kay. Udah aku kasih ke kamu bukan sih? Itu kan something borrowed mu.”
“Belum. Aku nggak
nerima apa-apa kok dari tadi.”
“Ah yang bener, Kay?”
Air muka Nora berubah pias.
“Beneran, Nora. Kamu
taruh mana tadi?” Aku mulai panik.
“Tadi seingetku udah
aku kasih ke kamu jadi tinggal kamu pakai.”
“Engga, Nora. Duh,
udah tinggal 15 menit lagi nih. Gimana kalau kalungnya nggak ketemu.”
Nora mulai memutar
otak.
“Aku coba cari di
kamar ibu ya? Kamu cari disini. Nanti kalau udah ketemu, saling kasih kabar
aja, ya? Oke?” kata Nora sambil berlari keluar.
Kalau urusan sama
Nora pasti ada saja masalahnya. Aku heran, sepertinya anak itu memang terlahir
dengan bakat sebagai pembawa masalah.
Aku mulai mencari di
atas kasur. Tidak ada. Tumpukan baju ganti juga tidak luput dari mataku. Tidak
ada juga. Di atas meja rias, nihil. Kali ini giliran laci meja rias yang aku
geledah seperti seorang perampok. Kalung mutiara itu tetap tidak ada. Tapi, aku
menemukan sesuatu yang lain. Sebuah amplop.
“Kayla. Thanks, God. Akhirnya ketemu nih,” sahut
Nora tiba-tiba tanpa mengetuk pintu.
Biasanya aku akan
berteriak ke arah Nora karena ia gemar membuka pintu seenaknya tanpa mengetuk
terlebih dahulu, namun tidak kali ini. Perhatianku teralihkan pada sebuah
amplop putih yang diperuntukkan untukku.
“Nora…” kataku seraya
menunjukkan amplop itu padanya.
“Dari siapa?”
Aku menggeleng
perlahan. “Eric?” tebakku tiba-tiba.
Wajah Nora berubah
peduli. Kami berdua tidak tahu isi amplop itu tentang apa, namun seolah-olah
Nora dan aku menyimpan hipotesa yang sama. Sebuah perkiraan yang paling dibenci
di muka bumi ini ketika hari pernikahan.
Eric melarikan diri
dari pernikahan. Eric tidak jadi menikah denganku. Hanya 2 topik itu saja yang
bermain-main lucu di kepalaku. Entah yang mana, intinya sama saja. Eric tidak akan
ada di depan altar untuk menungguku mengucap janji bersamanya.
“Kay, coba buka deh.
Biar kita tahu isinya.”
Aku sudah mulai
berkaca-kaca. Riasanku tinggal di ujung tanduk, menunggu untuk menjadi
berantakan. Aku tidak akan menyalahkannya kalau Eric membatalkan pernikahan
ini. Ia punya banyak alasan untuk tidak melakukannya. Setidaknya sedari awal,
hal itu merupakan alasan yang paling logis. Apa benar Eric sesakit hati itu
sampai dia tega untuk mempermalukanku di depan keluargaku sendiri?
Aku membuka
amplopnya, lalu suratnya perlahan. Aku benar-benar belum siap.
_________________________________________________________________________________
Dear
Ms. Kayla Sosromiharjo.
I
know you worried about how you look today. But, believe me. You look beautiful even
I haven't seen you yet today. You will always look beautiful no matter what the
circumstance is.
Kayla,
we both know what had happened in the past. I never consider it as a mistake.
Instead, I took it as a lesson; for me and for you. Look where we are now. We
grow because of it and we realized that we actually need each other to create happiness.
Without you, I'm not complete. And now that I found you, I feel as whole. It’s
the feeling that I've never felt towards anyone else before. You turned my
world upside down and I think my heart beats only for you.
Kayla,
I made promises to myself. From the second you walk down the aisle, I promise
you that we would never look back in the past, we look up to the future. I
promise you that I will love you endlessly even your hair starts to turn gray.
I promise you that your happiness will always come first. I can only promise
you that, I hope those promises would be enough.
What
you did in the past is your history. Your future will be my responsibility.
Sincerely,
your husband-soon-to-be
xoxo
P.S:
I really can’t wait to change your last name :)
_________________________________________________________________________________
“Kay, apaan isinya?
Jangan nangis dong. Kamu bikin aku takut deh.”
Aku menggeleng.
“Ini tangis bahagia,
Nora. Nanti kamu bakal ngerti. Now, will
you let me get married?”
***
Langit Bali pukul 5
terlihat bersahabat. Dekorasi yang sudah disiapkan di pinggir pantai menambah
kesan romantis. Kursi-kursi kayu berbantal putih memberikan kenyamanan
tersendiri bagi para tamu. Desir ombak tidak pernah kehilangan suaranya,
terlihat berlari-lari menggapai ombak di depannya. Hari ini jauh melebihi
ekspektasiku tentang sebuah pernikahan impian.
Aku tidak menyangka
akan merasa terharu seperti ini saat berdiri di depan altar bersama Eric, pria yang aku
cintai, pria yang aku kira akan meninggalkan aku, pria yang masih mampu memberi
maaf atas kesalahan terbesar yang pernah aku lakukan. Namun sekarang, kami
berdua sama-sama menggenggam tangan masing-masing, menikmati momen sakral
pernikahan kami.
Kami bertukar
sepasang cincin, emas kecil yang saat ini melingkar di jari manis tangan kanan
kami berdua. Lalu pendeta mulai mengucapkan janji-janji pernikahan seperti yang
biasa terdengar di aula altar gereja. Bergantian, aku dan Eric menyahutinya
dengan “aku bersedia”. Senyuman kebahagiaan terasa melekat dan tidak mau pergi
dari wajah kami.
“You
look beautiful,” ucap
Eric perlahan di sela-sela pendeta berbicara.
“Thank
you,” sahutku
malu-malu layaknya anak perempuan yang baru bertemu teman lawan jenisnya.
“Dan sekarang saya sahkan kalian
berdua sebagai sepasang suami istri.”
Semua orang bersorak
sambil bertepuk tangan. Aku bisa mendengar seruan dan eluan mereka yang turut
berbahagia bersama kami. Aku masih menatap ke arah mata pria itu, sepasang mata
sayu nan sendu dengan bulu mata lentik bertengger di atasanya. Sepasang mata
yang selalu mampu membuatku jatuh cinta setiap harinya.
Eric benar.
Kebahagiaan itu milik kami berdua. Jika satu saja rasanya tidak akan lengkap, maka
berdua terasa penuh. Dan kalau menjadi bahagia saja sesederhana bersama
dengannya, aku berjanji tidak akan menukarnya dengan yang lain.