January 30, 2012

Ding Dong Ding, Wanna Play?


Pagi itu terdengar suara pintu diketuk. Bukan hal yang biasa bagi rumah gadis kecil untuk mendengar suara ketukan pintu di hari yang begini pagi.

“Hai, gadis kecil. Mau bermain?”

Gadis kecil yang masih belum melepaskan tangannya dari kenop pintu nampak terkejut oleh suara yang belum pernah Ia dengar. Sedang berdiri di hadapannya seorang anak laki-laki kecil dengan bola di tangan kanannya dan robot-robotan di tangan kirinya. Dahi gadis kecil mengerut, dia berpikir mencoba mengingat tetangga mana yang mempunyai seorang anak laki-laki seperti yang ada di hadapannya saat ini.

“Ah, kau terlalu lama berpikir. Kita bisa main di halaman depanmu.”

Sembari menjepit bolanya diantara lengan dan tubuhnya, anak laki-laki kecil itu menarik pergelangan gadis kecil. Gadis kecil itu tersentak kaget saat tangannya ditarik oleh anak laki-laki kecil tersebut. Dengan sekejap gadis kecil menghentakkan tangannya dan membuat si anak laki-laki kecil itu membuat raut wajah keheranan.

“Siapa kamu?” tanya gadis kecil padanya.

Anak laki-laki kecil itu tertawa lepas sambil menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. Lebih tepatnya Ia salah tingkah karena Ia lupa belum memberitahu sesuatu tentang dirinya kepada gadis kecil.

“Kau belum tahu aku? Haha pantas saja, aku lupa memperkenalkan diri padamu. Aku laki-laki kecil. Aku tidak tinggal di sini, aku tinggal di sebelah gang rumah mu. Tidak heran melihatmu ternganga saat aku mengajakmu bermain.”

Gadis kecil masih belum dapat membuat simpulan senyuman yang biasa diajarkan ibunya tanda Ia telah menyambut baik perlakuan orang lain kepadanya. Tersisa sedikit rasa takut dan tanda tanya yang masih bertengger di balik kerutan di dahinya.

“Kau punya mainan? Aku pikir ada baiknya apabila kau mengajak mainanmu ikut serta. Bukankah menyenangkan kita bisa bermain bersama? Kau bisa bermain dengan bonekamu sewaktu aku sibuk bermain dengan robotku. Atau, jika kau mau, aku bisa saja membuat cerita khayalan antara bonekamu dan robotku.”

Gadis kecil seketika tertegun mendengar pernyataan laki-laki kecil di hadapannya. Seketika pikirannya melayang pada boneka beruangnya yang dia simpan di kamar. Bukan tidak mau Ia memainkan boneka beruang coklatnya itu, tapi kondisinya sudah rusak dan tidak mungkin apabila gadis kecil mengajaknya main di luar. Walaupun kadang gadis kecil masih senang melihat dan mengamati boneka beruang coklatnya dari jauh, jauh karena ibunya meletakkannya jauh di rak paling atas dimana gadis kecil tidak mampu menjangkaunya.

“Aku tidak punya boneka.” Ucapnya bohong.

“Ah, sedih sekali. Padahal aku sebenarnya sudah menyiapkan banyak cerita untuk robot dan bonekamu apabila kita memainkannya bersama.”

Gadis kecil itu tersenyum mendengar perkataan laki-laki kecil. Ia tidak jauh lebih polos dari dirinya.

“Um, mungkin ini pertanyaan yang aneh. Tapi apa kau punya mainan anak laki-laki?” tanya laki-laki kecil.

Kedua tangannya Ia sembunyikan dibalik badannya sambil menggoyang-goyangkan kaki kanannya di atas tanah. Laki-laki kecil itu terlihat menyesal setelah menanyakan hal yang seharusnya tidak Ia tanyakan kepada gadis kecil. Apa dia punya mainan anak laki-laki? Tentu saja Ia tidak punya, Ia seorang gadis kecil dimana mainannya hanya berkisar benda-benda yang menunjukkan sisi-sisi feminitas seorang perempuan.

Tidak peduli dengan sikap laki-laki kecil yang salah tingkah dan alih-alih menjawab pertanyaannya, gadis kecil malah bercerita sesuatu kepada laki-laki kecil.

“Aku pernah ingin membeli sebuah mobil mainan yang dijual di kota. Warna merahnya yang menarik membuatku ingin memilikinya dan seakan-akan mobil merah itu juga ingin dimiliki olehku. Tapi, sayangnya ibu tidak memperbolehkanku membelinya. Jadi, apa boleh buat. Mungkin jika aku beruntung, mobil merah itu masih tersimpan rapi di etalase toko. Hanya dengan melihatnya setiap saat aku pergi ke kota dengan ibu, aku cukup bahagia.”

“Wow, sepertinya Ia mobil yang menarik. Sedih sekali kau tidak bisa memilikinya. Lalu apa kau punya mainan lainnya?” tanya laki-laki kecil itu yang terlihat tertarik mendengar gadis kecil mengulang suaranya dengan cerita yang berbeda.

“Err… Aku tidak tahu apakah ini pantas disebut mainan, tapi aku pernah punya sebuah balon kuning. Setiap sore aku selalu meminta ibu mengikat benangnya di tangan kiriku lalu aku akan pergi berkeliling sambil memamerkan balon kuningku. Tapi tidak lama, gas helium di dalamnya habis dan begitu pula aku. Kesenanganku untuk bermain dengannya juga habis. Apa itu pantas disebut mainan?”

Gadis kecil kini balik bertanya pada laki-laki kecil setelah laki-laki kecil berulang kali menanyakan sesuatu padanya.

“Entahlah. Tapi, menurutku apapun yang dapat membuatmu senang, kau bisa menyebutnya mainan. Setidaknya Ia menemani setiap soremu dulu. Walaupun sekarang heliumnya habis, tapi kadang kaupun pasti merindukannya hanya untuk berkeliling sambil membawanya di pergelangan tangan kirimu. Kau pasti sedih sekali saat balon kuningmu pergi.”

Gadis kecil itu mengangguk-angguk tanda mengerti mendengar penjelasan teman barunya. Sepertinya dia bukan orang yang menakutkan untuk sekedar diajak bermain.

“Sepertinya kita tdak bisa bermain.” Ucap gadis kecil tiba-tiba.

“Kenapa kau berkata seperti itu?” tanya laki-laki kecil itu, nadanya terdengar sedih saat Ia melontarkan pertanyaan.

“Kita tidak bisa bermain bersama kalau hanya kau yang punya mainan. Tidak adil untukku kalau harus merepotkanmu dan meminjam mainanmu setiap saat padahal kau sedang asyik menggunakannya.”

Laki-laki kecil itu tidak sanggup mnyembunyikan wajah sedihnya. Untuk beberapa saat Ia terlihat seperti akan menangis. Hal ini membuat gadis kecil salah tingkah dibuatnya. Ia ingin maju beberapa langkah dan mengusap punggung laki-laki kecil itu dan meminta maaf padanya kalau Ia tidak bisa mengabulkan permintaan laki-laki kecil untuk menemaninya bermain bersama, tapi Ia terlalu malu untuk membuat keputusan.

Laki-laki kecil itu sesaat menatap gadis kecil. Bukan tatapan yang lama, namun kedua pasang mata mereka tertahan untuk beberapa detik. Lalu laki-laki kecil itu berbalik memunggungi gadis kecil itu dan berjalan menjauh. Gadis kecil merasa bersalah telah mambuat laki-laki kecil itu pergi. Ia ingin memanggil namanya, namun tenggorokannya seperti tersekat dan gadis kecil itu hanya mampu berdiri mematung di depan pintunya.

Tanpa gadis kecil kira, laki-laki kecil itu meletakkan bola dan robot mainannya di pinggir trotoar dan seketika Ia berbalik berjalan ke arah gadis kecil sembari mengulurkan tangannya.

“Kau benar, tidak adil bagimu jika sewaktu aku bermain dengan mainanku dan kau tidak memainkan apapun. Maka aku akan membuatnya sederhana, aku meletakkan mainanku di trotoar dan tidak akan sedetikpun menghiraukannya sewaktu kita bermain bersama. Tanpa mainan pun kita masih bisa bermain. Kau mau bermain denganku?”

Gadis kecil pun kembali tertegun mendengar perkataan laki-laki kecil. Kali ini seulas senyuman mampu Ia bentuk di bibirnya yang mungil. 

Dengan keinginan dan kesadarannya sendiri, gadis kecil itupun menyambut untaian tangan dari teman barunya yang berniat bermain bersamanya sedari awal laki-laki kecil itu mengetuk pintu rumahnya.

No comments:

Post a Comment