Pagi itu terdengar suara pintu diketuk. Bukan hal yang biasa
bagi rumah gadis kecil untuk mendengar suara ketukan pintu di hari yang begini
pagi.
“Hai, gadis kecil. Mau bermain?”
Gadis kecil yang masih belum melepaskan tangannya dari kenop
pintu nampak terkejut oleh suara yang belum pernah Ia dengar. Sedang berdiri di
hadapannya seorang anak laki-laki kecil dengan bola di tangan kanannya dan
robot-robotan di tangan kirinya. Dahi gadis kecil mengerut, dia berpikir
mencoba mengingat tetangga mana yang mempunyai seorang anak laki-laki seperti
yang ada di hadapannya saat ini.
“Ah, kau terlalu lama berpikir. Kita bisa main di halaman
depanmu.”
Sembari menjepit bolanya diantara lengan dan tubuhnya, anak
laki-laki kecil itu menarik pergelangan gadis kecil. Gadis kecil itu tersentak
kaget saat tangannya ditarik oleh anak laki-laki kecil tersebut. Dengan sekejap
gadis kecil menghentakkan tangannya dan membuat si anak laki-laki kecil itu
membuat raut wajah keheranan.
“Siapa kamu?” tanya gadis kecil padanya.
Anak laki-laki kecil itu tertawa lepas sambil menggaruk
kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. Lebih tepatnya Ia salah tingkah karena
Ia lupa belum memberitahu sesuatu tentang dirinya kepada gadis kecil.
“Kau belum tahu aku? Haha pantas saja, aku lupa memperkenalkan
diri padamu. Aku laki-laki kecil. Aku tidak tinggal di sini, aku tinggal di
sebelah gang rumah mu. Tidak heran melihatmu ternganga saat aku mengajakmu
bermain.”
Gadis kecil masih belum dapat membuat simpulan senyuman yang
biasa diajarkan ibunya tanda Ia telah menyambut baik perlakuan orang lain
kepadanya. Tersisa sedikit rasa takut dan tanda tanya yang masih bertengger di
balik kerutan di dahinya.
“Kau punya mainan? Aku pikir ada baiknya apabila kau
mengajak mainanmu ikut serta. Bukankah menyenangkan kita bisa bermain bersama?
Kau bisa bermain dengan bonekamu sewaktu aku sibuk bermain dengan robotku. Atau,
jika kau mau, aku bisa saja membuat cerita khayalan antara bonekamu dan
robotku.”
Gadis kecil seketika tertegun mendengar pernyataan laki-laki
kecil di hadapannya. Seketika pikirannya melayang pada boneka beruangnya yang
dia simpan di kamar. Bukan tidak mau Ia memainkan boneka beruang coklatnya itu,
tapi kondisinya sudah rusak dan tidak mungkin apabila gadis kecil mengajaknya
main di luar. Walaupun kadang gadis kecil masih senang melihat dan mengamati
boneka beruang coklatnya dari jauh, jauh karena ibunya meletakkannya jauh di
rak paling atas dimana gadis kecil tidak mampu menjangkaunya.
“Aku tidak punya boneka.” Ucapnya bohong.
“Ah, sedih sekali. Padahal aku sebenarnya sudah menyiapkan
banyak cerita untuk robot dan bonekamu apabila kita memainkannya bersama.”
Gadis kecil itu tersenyum mendengar perkataan laki-laki
kecil. Ia tidak jauh lebih polos dari dirinya.
“Um, mungkin ini pertanyaan yang aneh. Tapi apa kau punya
mainan anak laki-laki?” tanya laki-laki kecil.
Kedua tangannya Ia sembunyikan dibalik badannya sambil
menggoyang-goyangkan kaki kanannya di atas tanah. Laki-laki kecil itu terlihat
menyesal setelah menanyakan hal yang seharusnya tidak Ia tanyakan kepada gadis
kecil. Apa dia punya mainan anak laki-laki? Tentu saja Ia tidak punya, Ia
seorang gadis kecil dimana mainannya hanya berkisar benda-benda yang
menunjukkan sisi-sisi feminitas seorang perempuan.
Tidak peduli dengan sikap laki-laki kecil yang salah tingkah
dan alih-alih menjawab pertanyaannya, gadis kecil malah bercerita sesuatu
kepada laki-laki kecil.
“Aku pernah ingin membeli sebuah mobil mainan yang dijual di
kota. Warna merahnya yang menarik membuatku ingin memilikinya dan seakan-akan
mobil merah itu juga ingin dimiliki olehku. Tapi, sayangnya ibu tidak
memperbolehkanku membelinya. Jadi, apa boleh buat. Mungkin jika aku beruntung,
mobil merah itu masih tersimpan rapi di etalase toko. Hanya dengan melihatnya
setiap saat aku pergi ke kota dengan ibu, aku cukup bahagia.”
“Wow, sepertinya Ia mobil yang menarik. Sedih sekali kau
tidak bisa memilikinya. Lalu apa kau punya mainan lainnya?” tanya laki-laki
kecil itu yang terlihat tertarik mendengar gadis kecil mengulang suaranya
dengan cerita yang berbeda.
“Err… Aku tidak tahu apakah ini pantas disebut mainan, tapi
aku pernah punya sebuah balon kuning. Setiap sore aku selalu meminta ibu
mengikat benangnya di tangan kiriku lalu aku akan pergi berkeliling sambil
memamerkan balon kuningku. Tapi tidak lama, gas helium di dalamnya habis dan
begitu pula aku. Kesenanganku untuk bermain dengannya juga habis. Apa itu
pantas disebut mainan?”
Gadis kecil kini balik bertanya pada laki-laki kecil setelah
laki-laki kecil berulang kali menanyakan sesuatu padanya.
“Entahlah. Tapi, menurutku apapun yang dapat membuatmu
senang, kau bisa menyebutnya mainan. Setidaknya Ia menemani setiap soremu dulu.
Walaupun sekarang heliumnya habis, tapi kadang kaupun pasti merindukannya hanya
untuk berkeliling sambil membawanya di pergelangan tangan kirimu. Kau pasti
sedih sekali saat balon kuningmu pergi.”
Gadis kecil itu mengangguk-angguk tanda mengerti mendengar
penjelasan teman barunya. Sepertinya dia bukan orang yang menakutkan untuk
sekedar diajak bermain.
“Sepertinya kita tdak bisa bermain.” Ucap gadis kecil
tiba-tiba.
“Kenapa kau berkata seperti itu?”
tanya laki-laki kecil itu, nadanya terdengar sedih saat Ia melontarkan
pertanyaan.
“Kita tidak bisa bermain bersama
kalau hanya kau yang punya mainan. Tidak adil untukku kalau harus merepotkanmu
dan meminjam mainanmu setiap saat padahal kau sedang asyik menggunakannya.”
Laki-laki kecil itu tidak sanggup
mnyembunyikan wajah sedihnya. Untuk beberapa saat Ia terlihat seperti akan
menangis. Hal ini membuat gadis kecil salah tingkah dibuatnya. Ia ingin maju
beberapa langkah dan mengusap punggung laki-laki kecil itu dan meminta maaf
padanya kalau Ia tidak bisa mengabulkan permintaan laki-laki kecil untuk
menemaninya bermain bersama, tapi Ia terlalu malu untuk membuat keputusan.
Laki-laki kecil itu sesaat
menatap gadis kecil. Bukan tatapan yang lama, namun kedua pasang mata mereka
tertahan untuk beberapa detik. Lalu laki-laki kecil itu berbalik memunggungi
gadis kecil itu dan berjalan menjauh. Gadis kecil merasa bersalah telah mambuat
laki-laki kecil itu pergi. Ia ingin memanggil namanya, namun tenggorokannya
seperti tersekat dan gadis kecil itu hanya mampu berdiri mematung di depan
pintunya.
Tanpa gadis kecil kira, laki-laki
kecil itu meletakkan bola dan robot mainannya di pinggir trotoar dan seketika
Ia berbalik berjalan ke arah gadis kecil sembari mengulurkan tangannya.
“Kau benar, tidak adil bagimu jika
sewaktu aku bermain dengan mainanku dan kau tidak memainkan apapun. Maka aku
akan membuatnya sederhana, aku meletakkan mainanku di trotoar dan tidak akan
sedetikpun menghiraukannya sewaktu kita bermain bersama. Tanpa mainan pun kita
masih bisa bermain. Kau mau bermain denganku?”
Gadis kecil pun kembali tertegun
mendengar perkataan laki-laki kecil. Kali ini seulas senyuman mampu Ia bentuk di
bibirnya yang mungil.
Dengan keinginan dan kesadarannya sendiri, gadis kecil
itupun menyambut untaian tangan dari teman barunya yang berniat bermain
bersamanya sedari awal laki-laki kecil itu mengetuk pintu rumahnya.