Aku pikir gereja pukul 1 pagi akan selalu sepi, tapi aku
salah. Aku masih duduk terpaku di salah satu bangku mengamatimu. Kau dengan
jari-jari yang saling terkunci rapat satu sama lain sembari mengatupkan mata.
Bibirmu bergeming, kau terlihat khusyuk. Perhatianku hanya tertuju padamu.
Cahaya lampu terlihat samar dan cahaya lilin hanya sanggup membiaskan sedikit
lekuk wajahmu. Aku berada beberapa bangku di belakangmu, maka hanya punggungmu
lah yang sebagian besar menyita area pandangku. Aku mengaguminya, aku mengagumi
punggungmu.
Entah sudah berapa lama kau duduk dengan posisi seperti itu.
Sempat aku berpikir kalau kau sebenarnya tertidur. Selang beberapa detik
kemudian, kau membuka mata. Layaknya seorang yang mendapat transplantasi kornea
baru, kau membiasakan matamu; mengerjap-ngerjapkannya di depan cahaya lilin.
Sedangkan aku masih terdiam, separuh terpaku.
“Aku pikir gereja pukul satu pagi akan selalu sepi, tapi aku
salah,” katamu memecah keheningan.
Aku tertegun. Aku tidak tahu kalau kau menyadari
keberadaanku.
“Kau terlihat begitu khusyuk. Aku tidak mau mengganggumu,”
sahutku.
Kau menoleh ke arahku, beranjak dari tempatmu duduk lalu
menghentikan langkahmu tepat di seberang bangkuku. Saat itu yang membatasi kita
hanya sebuah lorong kecil di antara bangku gereja.
“Aku sedang berdoa,” katamu seraya menatap lilin yang berada
jauh di depan, di dekat altar.
“Memohon sesuatu?” tanyaku.
“Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?”
Aku tersentak kaget. Bukan karena kau menoleh ke arahku,
namun aku tidak menyangka pertanyaanku dibalas lagi oleh pertanyaan olehmu.
“Bukankah itu guna doa?” tanyaku lagi yang lebih terdengar
seperti jawaban atas pertanyaan yang kau utarakan.
“Kau pernah berdoa?”
Entah ada apa dengan hari itu, berada di gereja pukul 1 pagi
dan hanya kita berdua. Hari yang terlalu pagi untuk dijejali
pertanyaan-pertanyaan yang terdengar retorika di telingaku.
“Pernah,” jawabku. “Uh, maksudku… Ya, aku berdoa,” ralatku
segera.
“Apa isi doamu?” Kau bertanya padaku seolah aku bukan seorang
asing yang mengamatimu sedari tadi. Kau bertanya padaku seolah kita sudah
saling mengenal sebelumnya. Apa aku harus menjawab pertanyaanmu kali ini? Ya,
tentu saja. Dua orang asing bertemu di gereja pada pukul satu pagi dan terlibat
sebuah konspirasi tanya jawab bukan suatu hal yang harus segera diakhiri bukan?
“Banyak. Kadang aku meminta kesehatan, memohon perlindungan,
berharap segala hal dimudahkan…”
Kau tertawa mengejek. Aku tersinggung. Aku belum sempat
menyelesaikan kalimatku tapi kau sudah terkesan tidak ingin mendengar lebih
jauh lagi. Apa yang salah?
“Tidak salah,” sahutmu seolah mampu membaca apa yang ada di
otakku barusan. “Namun, bila kau berdoa untuk memohon sesuatu, kau berada di
sisi iman yang salah.”
Aku terdiam. Malu. Perkataanmu waktu itu ada benarnya juga.
“Tapi, bukankah setiap orang selalu memohon sesuatu di
setiap doanya?” tanyaku membela diri.
“Ya,” jawabmu singkat.
“Jadi, kau menuduh semua orang yang memohon dalam doanya
berarti mereka berada di posisi yang salah?” cecarku berusaha mencari
pembenaran.
“Tidak, bukan begitu..” Kau memutar posisi dudukmu. Kali ini
bukan lilin yang berada di hadapanmu, tapi aku. Kau berusaha mencari mataku.
Aku masih berusaha menyembunyikannya di balik kegelapan malam yang remang.
“..memohon sesuatu dalam doamu bukan suatu hal yang salah.
Namun jika kau hanya berdoa sembari memohon supaya Tuhan mengabulkan
permintaanmu… itu bukan guna sebuah doa.”
Kau menghela napas, lalu melanjutkan argumenmu lagi, “Tuhan
bukan ibu peri yang bisa merubah seorang Upik Abu menjadi Cinderella lalu
merubah tanaman buah labu menjadi sebuah kereta kencana. Ya, aku tahu dan kau
pun pasti tahu Tuhan dengan mudahnya dapat melakukan itu semua. Tapi bukan
seperti itu cara kerjanya.”
Kau terdiam. Lagi. Menjejali otakku yang hanya mampu
berpikir seadanya bekerja lebih keras dari biasanya.
“Lalu? Jelaskan maksudmu,” pintaku.
“Tuhan punya kuasa. Namun, kuasanya bukanlah kuasa
mengabulkan sebuah permohonan. Kalau kau ingin permohonanmu terkabul, mengapa
kau tidak menggosok lampu ajaib dan berharap jin berwarna biru keluar dari
sana?
Bagiku, kuasa Tuhan adalah menjamin bahwa apa yang terjadi
di dalam hidupmu adalah hal-hal terbaik yang kau terima. Terlepas itu merupakan
kejadian yang baik maupun buruk. Dan, apabila manusia seperti kita berpikir
bahwa akhirnya suatu permohonan yang kita doakan dengan sungguh-sungguh dan
berulang-ulang menjadi nyata, itu bukan karena kita yang memohon. Itu karena
rencana Tuhan yang bekerja atas hidup kita, karena memang Dia sudah
merencanakan itu semua. Jauh sebelum kita merapal doa di tengah malam seperti
ini.”
Aku terpatung mendengar kalimatmu barusan. Ada secuil hati
kecilku yang membenarkan semua perkataanmu. Bagaimana bisa aku tidak
memikirkannya selama ini? Kemana saja aku?
“Kalau memang menurutmu Tuhan tidak mengabulkan sebuah
permohonan, lalu apa isi doamu?” tanyaku penuh selidik. Tahukah kau? Aku
menganggapmu menarik. Tidak dengan fisik yang terlihat samar dengan cahaya
remang-remang gereja, namun dari cara kau menyampaikan pendapatmu. Kau terlihat
pintar di hadapanku.
“Aku berbicara. Aku curahkan semua kejadian yang telah aku
alami. Aku berterimakasih atas semua kejadian hari itu yang sudah aku lewati.
Baik dan buruknya.”
Baiklah, kau terdengar amat naïf dan munafik kali ini. Aku
tidak terlalu menyukainya.
Kau tertawa. “Aku terdengar menyebalkan barusan, bukan?
Seolah aku manusia sempurna yang masih bisa berterimakasih saat ada kejadian
yang terjadi di hidupku yang tidak sesuai dengan harapanku.” Lalu kau terkekeh
begitu saja. “Tentu saja tidak. Aku pernah merasa marah, kadang karena terlalu
sakit hatinya, aku menghilang dari hadapanNya untuk sementara waktu. Memutuskan
untuk tidak berbicara kepadaNya.
Namun ternyata aku merasa hampa, aku merasa ada yang kurang. Kosong. Lalu yang kulakukan berikutnya, hanyalah bersujud lalu menangis kemudian memohon ampun karena aku bertingkah tidak tahu diri dan egois. Well, we’re human. We think we have the control of our lives, but apparently we don’t.”
Aku tersenyum getir. Entah kau bisa melihatnya atau tidak.
Aku berharap kau tidak melihatku.
Mendengarmu berkata seperti itu membuatku merasa malu. Malu atas semua pemikiran dan argumen skeptisku tentang doa. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali aku sungguh-sungguh mengumandangkan doa. Seingatku, aku memang hanya bersungguh-sungguh berdoa ketika aku meminta sesuatu. Bodohnya aku. Kau benar. Mungkin lain kali aku membeli lampu ajaib dan berharap jin biru mengabulkan 3 permintaanku dengan segera.
“Sudah hampir pukul dua pagi. Tidak terasa kita meluangkan
waktu untuk berbincang di hari sepagi ini.”
Berbincang? Aku lebih banyak mendengarkanmu dan
opini-opinimu. Kalau kita berbincang, seharusnya aku juga menimpali semua
perkataanmu, namun aku hanya mampu bertanya. Berharap seluruh pertanyaan yang
ada di kepalaku pagi itu dapat terjawab semua. Namun ternyata tidak.
“Aku tidak bermaksud menggurui. Kau bisa memilih bagaimana
kau percaya dengan konsep doa itu sendiri. Bahkan konsep Tuhan menurutmu.
Percayai apa yang ingin kau percayai.”
Aku mengangguk lemah. Kepalaku masih diselubungi sejuta
pertanyaan. Aku berharap kau tidak segera beranjak.
“Kau akan berada di sini lagi besok?” tanyaku tiba-tiba
berusaha menahanmu untuk pergi.
“Ya. Jika kau membutuhkanku.”
Aku tersenyum lega mendengar jawabanmu. “Ya, aku
membutuhkanmu. Ajari aku cara berdoa. Aku sudah lupa.”
Dan kaupun mengangguk.