June 5, 2017

Tentang Sebuah Pintu (2)




Aku pernah bercerita tentang sebuah pintu, beberapa tahun yang lalu.

Sebelum kau melanjutkan membaca ceritaku kali ini, mungkin kau ingin tahu apa yang sudah aku tulis sebelumnya.

Aku sudah membukakan pintu. Iya, seorang aku. Tak hanya membukakan pintu saja, aku bahkan telah mempersilakan kau untuk masuk dan tinggal di dalamnya.

Nyatanya, sebelum aku mempersilakanmu masuk, aku pernah hampir membukakan pintu untuk yang lain. Aku pernah pula mengintip dari balik lubang pengintip untuk menilik siapa yang sedang mengetuk. Pernah juga aku mempersilakan yang lainnya masuk terlalu dalam tapi ia malah menghancurkan perabotanku dan pergi dengan lalu.

Aku katakan padamu, membukakan pintu untukmu bukan hal yang mudah. Ini seperti halnya anak kelas 4 SD yang diberikan soal matematika kalkulus selevel universitas dari gurunya. Iya, sesulit itu.

Bagi beberapa orang, membukakan pintu itu hal yang sederhana. Kau hanya cukup membuka kunci lalu memutar kenop atau menarik gagang pintu. Hal yang mudah, semua orang dapat melakukannya. Tapi tidak bagiku. Aku terlalu pemilih untuk mempersilakan tamuku yang mana yang boleh masuk lalu bertamu dan singgah. Aku tidak akan membiarkannya melewati batas antara teras rumah dengan ruang tamu begitu saja. Tidak tanpa seijinku.

Sedikit yang kau perlu tahu. Dulu pintuku hanya sebuah pintu kayu, tanpa pengaman atau lubang kunci. Ketika kau tarik gagangnya sedikit saja, maka pintuku akan terbuka. Lalu sore itu seseorang memutuskan bertamu, mengetuk dan tentu saja kubukakan. Tapi kami hanya bercakap sambil berdiri untuk beberapa lama lalu ia pamit pergi. Aku tutup kembali pintuku. Tak lama, pintu kayu polos itu pun berubah menjadi pintu kayu jati dengan kenop dan kuncinya. Seseorang yang lain kembali datang dan berlalu dan tentu saja aku kembali mengganti pintuku. Begitu seterusnya setiap kali tamu bertandang dan mengetuk, yang entah kemudian memutuskan untuk masuk atau hanya memainkan ketukannya di daun pintu, setiap kali satu persatu dari mereka pergi dan berlalu aku selalu menambahkan perangkat keamanan di pintuku..

Hingga kau yang datang mengetuk..

Aku masih ingat malam itu ketika kau memutuskan untuk datang ke depan rumahku dan mengetuk. Jalanan masih sedikit basah karena sisa hujan sore sebelumnya. Aku juga masih ingat berapa banyak jenis kunci yang aku pasang ketika kau bertandang. Terlalu banyak.

Kau mengetuk, lembut. Hampir tak terdengar. Aku mengintipmu dari balik lubang pintu. Waktu itu aku sedang tidak ingin menerima tamu. Membiarkanmu berlalu begitu saja, pikirku.

Tapi, ketukan di pintuku tidak berhenti. Kau masih mengetuk pintu dengan lembut dan sabar. Seolah menungguku untuk membukakannya untukmu. Aku masih ingat ketika aku berteriak kepadamu supaya kau mencari pintu lain saja untuk diketuk. Namun kau malah bersikukuh berdiri di depan dan malah memperkenalkan dirimu. Bukan orang yang gampang diajak berkompromi, dengusku kesal.

Lalu kau pun mulai bercerita dan bercerita. Sesekali kau mengeluarkan lelucon yang setengah lucu, yang aku balas dengan setengah tertawa dari balik pintu. Dan di tiap candaan dan narasi yang kau serukan, aku belajar untuk menghapal kode-kode kunci yang aku buat sendiri. Satu per satu, angka demi angka, huruf demi huruf. Terlalu banyak..

Sampai akhirnya pintuku pun terbuka..

Aku dan kau akhirnya bertatap muka dan kau menyapaku dengan sederhana.

"Hai."

Aku mengangguk sembari tersenyum tipis sebelum akhirnya aku mengajakmu untuk duduk di sofa. Aku masih berharap apa yang aku lakukan bukan hal yang salah; mempersilakanmu masuk.

Aku memperhatikanmu yang memperhatikan sekelilingmu. Kau memutar bola matamu ke seluruh penjuru ruang tamuku. Perasaanku tidak enak. Kau pasti tahu kalau vas bunga chrysantemum ku pecah di ujungnya bahkan bunganya pun layu. Lukisan gadis bali ku pun tak simetris, cenderung miring. Belum lagi jika kau sadar pengharum mawar di ruanganku tak lagi terisi. Aku langsung khawatir, apa setelah kau tahu aku seberantakan ini kau masih akan tetap tinggal?

"Boleh aku meminta segelas air?" pintamu.

Aku terkesiap.

"Dengan ruangan seberantakan ini kau masih meminta segelas air?"

Kau pun tersenyum lebar.

"Aku meminta segelas air karena aku terlalu lelah bercerita sedari tadi menunggumu membukakan pintu," jawabmu sembari tersenyum lebar.

Aku masih menatapmu dengan heran. Di otakku ada sejuta pertanyaan mulai dari kau yang bersikukuh mengetuk sampai kau yang tak ingin pergi setelah tahu isi ruanganku.

Seolah tahu apa yang ada di pikiranku, kau pun mulai buka suara.

"Bukan ruanganmu saja yang berantakan. Lain kali kalau kau ada kesempatan dan berkenan, cobalah ketuk pintuku. Kalau kau yang mengetuk, akan langsung kubukakan."

Aku mengerjap-ngerjapkan mataku seolah tak percaya dengan yang baru saja ku dengar. Apa kau bahkan memasang kunci dan pengaman di pintumu? Apa ruanganmu pun seberantakan milikku? Apa kau setelah ini masih yakin untuk tidak ingin pergi?

"I'm not used to normal. I'm used to disaster. I don't know, but you're sort of exciting, sort of a challenge. I'm accustomed to working for it.." pikirku dalam hati.

Aku bangkit berdiri, namun kau menarik tanganku.

"Mau kemana?" tanyamu.

"Mengambilkanmu segelas air," jawabku.


September 19, 2015

May Happiness be with You Forever



Lucu, ketika kita sedang jatuh cinta dan mengabaikan setiap logika. Entah mengapa, segalanya jadi lebih masuk akal walau otak hanya dijejali filosofi-filosofi manis penuh bualan yang memanjakan telinga. Seperti kemarin misalnya.

Saya jatuh cinta.

Waktu itu saya meyakinkan diri saya bahwa saya tidak pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya dengan siapapun. Waktu itu juga saya bilang ke diri saya sendiri bahwa Ia orang yang membuat saya berhenti mencari. Waktu itu bahkan, saya, tanpa pikir panjang, rela menanggalkan dan meninggalkan apapun yang saya percayai untuk bisa bersama dia dan menghabiskan sisa hidup saya bersamanya. Waktu itu saya sedang jatuh cinta. Titik.

Memabukkan memang. Rasanya seperti masuk ke sebuah bar dan meminta kepada sang bartender untuk membuatkan minuman yang paling membuat kepayang, dan saya terbuai sembari menikmati setiap teguknya. Mau selantang apapun orang di sekitar saya menyuruh saya berhenti meminumnya, selama bagi saya minuman itu bisa melegakan dahaga saya, saya tidak akan berhenti. Iya, saya waktu itu memang sekeras kepala itu.

Segalanya terasa manis, semanis buah ceri. Seperti janji-janjinya. Namun, sebenarnya saya benci ceri, terlalu manis. Seperti janji-janjinya.

Ia sempat membuat saya percaya bahwa saya adalah sesuatu yang Ia butuhkan. Katakanlah, tulang rusuknya yang hilang, atau bisa dibilang pasangan puzzle yang selama ini dia cari. Dan saya telan mentah-mentah semua omong kosong yang pernah Ia utarakan. Sekosong omongannya yang berjanji tidak akan kemana-mana dan akan tetap tinggal sampai nanti kita menua bersama.

Sebuah omong kosong yang sempat merupa janji.

Kejatuhan kami tidak terelakkan lagi, atau lebih tepatnya hanya saya saja karena dia tidak. Saya jatuh lebih dalam dari yang saya pikirkan. Saya pernah terseok, lalu sempat mencoba bangkit. Kembali jatuh dan diseret ribuan mil jauhnya, saya tetap bangun. Karena waktu itu saya sempat percaya apapun yang sedang saya perjuangkan akan berbuah manis.

Buah yang saya tunggu akhirnya datang, namun tak semanis yang saya inginkan.

Rasanya sakit begitu tahu Ia pergi begitu saja tanpa memperhitungkan apa yang pernah kami lewati bersama. Ia pergi dengan alasan. Padahal tadinya dia bilang tidak ada alasan untuk jatuh cinta kepada saya, yang mana berarti dia juga tidak punya alasan untuk pergi dari saya. Tapi, memang sedari awal dia ingin pergi. Ada atau tidak ada alasan untuk pergi, saya juga tidak bisa meminta seseorang untuk tetap tinggal, bukan?

Bagi saya, sebuah hubungan akan berhasil kalau keduanya saling memperjuangkan satu sama lain. Kalau hanya satu saja, apa gunanya?

Kemudian saya putuskan untuk pergi karena dia sudah lama berhenti untuk berjuang bagi kami. Lagipula buat apa saya tetap tinggal dan menunggu sesuatu yang belum pasti akan kembali. Saya tidak menyalahkan keadaan atau waktu atau kami berdua. Benar katanya, semua terjadi begitu saja. Cara kami bertemu, cara kami mencinta, juga cara kami melambaikan tangan. Tidak ada satupun yang kami rencanakan akan terjadi.

Setidaknya kami pernah bersama. Setidaknya kami pernah membuat satu sama lain bahagia. Dan itu bukan sesuatu yang harus disesali. Kalaupun kali ini kami tidak lagi bergandengan tangan, setidaknya cerita kami berdua sudah tuntas. Ia memutuskan untuk membuka lembaran baru, sedangkan saya akan kembali mencari.

Jadi, terima kasih. Itu saja.

Dan, semoga bahagia selalu bersamanya selamanya.

Gravitasi yang Sempurna



Dia, gravitasi yang sempurna.
Pernah membiarkanku jatuh sampai sejatuh-jatuhnya.
Karena aku fikir, ilalang akan membenamkan aku dalam pelukannya.

Dia, gravitasi yang sempurna.
Pernah memberikanku sepasang sayap di punggung,
sembari membuatku percaya, aku seorang bidadari yang turun ke bumi.

Dia, gravitasi yang sempurna.
Pernah melambungkan hatiku sampai langit ketujuh,
dan meyakinkan aku kedua tangannya menengadah tanpa lelah di bawah.

Dia, gravitasi yang sempurna.
Membuatku jatuh dan kembali jatuh,
Sekalipun luka gores mulai bernanah di sekujur tubuh.

Dia, gravitasi yang sempurna.
Tadinya.
Sampai akhirnya, Ia sendiri belum berani mempersiapkan dirinya untuk jatuh ke dalam tarikan gravitasiku.